Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 5

Liburan musim panas telah tiba. Dad telah menghubungi Tuan Nathan tentang rencana liburanku ke rumah mereka.

Dengan alasan Luciana tak punya tujuan tempat liburan, aku berhasil membuat Mom dan Dad setuju untuk mengajaknya bersamaku. Rencana kami telah tersusun rapi, mendekati Zane, sekaligus melawan Zander.

Zane datang menjemput kami di siang hari, seperti yang telah disepakati sebelumnya. Aku duduk di depan, membiarkan Luciana menempati kursi kabin sendirian bersama tas dan barang bawaan.

"Kau akan senang di sana, Lea. Kami punya peternakan sapi dan beberapa kuda meski sekarang tinggal seekor sebab kuda yang lainnya telah dijual oleh Zander. Mamaku dan Zander yang mengurusnya. Ada pula sebuah perkebunan gula maple, diurus oleh beberapa tetangga yang kami gaji.

"Omong-omong, aku biasanya lebih sering berada di kantor atau hotel bersama papaku. Jadi, kau mungkin akan bersama Zander hampir setiap hari jika di rumah. Jangan cemas, aku pasti akan berusaha untuk meluangkan waktu menemanimu nanti. Kita akan sering bersama saat kau menginap di hotel kami."

Aku hanya menanggapi dengan senyuman dan anggukan saat Zane memulai percakapan di antara kami. Mataku mengawasi pemandangan dari samping jendela atau depan kaca mobil.

"Jika kau mengantuk, tidurlah dulu. Butuh kira-kira empat jam setengah untuk tiba di Vermont," ujarnya lagi seraya tetap fokus menatap jalanan di depan.

Merasa tak enak hati, aku berpikir harus menimpalinya paling tidak sepatah atau dua patah kata. "Ada apa saja di Woodstock?"

"Pemandangan yang sangat indah. Kau harus melihatnya sendiri. Yang jelas, banyak turis berdatangan ke sana hanya untuk mengabadikan momen matahari terbit atau terbenam.

"Hotel kami berjarak satu kilometer dari pusat kota. Banyak pengunjung yang datang selain untuk berburu momen matahari terbit dan terbenam, ada pula yang bertujuan berfoto-foto untuk pernikahan. Kita pun bisa melakukannya juga nanti." Ia menoleh dan memberiku senyuman yang hangat.

"Oh, aku tak pernah tahu soal desa ini sebelumnya. Kurasa itu sangat indah jika bisa membuat banyak orang luar yang datang berkunjung.."

"Sangat. Kau harus melihatnya sendiri agar bisa menikmatinya. Sejujurnya aku lebih menyukai kehidupan di sana daripada kota besar seperti NYC. Di kota kecil atau pedesaan terasa lebih tenang dan damai."

"Hmm, begitu. Bagiku sebenarnya tak masalah di mana pun kita tinggal. Yang penting adalah dengan siapa kita menghabiskan waktu, bukan?"

Zane mengangguk-anggukkan kepala sambil tertawa tanpa suara. "Kau benar sekali. Mmm ... kau tahu, aku dan Zander tidak terlahir kembar, tetapi tidak bisa dipungkiri kami sangat amat mirip, bila dilihat dari wajah dan penampilan. Kau melihatnya, bukan?"

"Ya." Aku masih menerka-nerka apa maksudnya ia membahas itu.

"Sebenarnya, penampilan Zander biasanya tak seperti itu. Adikku itu selalu bertolak belakang denganku. Aku suka tampil rapi, dia justru lebih senang membiarkan rambut gondrongnya bebas tanpa diberi gel atau disisir, memakai kaus, jaket jin, atau hanya celana jin belel dan terkadang ia bertelanjang dada dalam kegiatan sehari-hari.

"Penampilan rapinya hanya jika dia ada acara khusus seperti kunjungan ke rumahmu waktu itu. Ia meniruku hanya di saat-saat formal. Di saat itulah dia akan tampak sangat mirip denganku, hingga kadang kami sulit dibedakan."

"Oh, aku mengerti."

"Satu lagi. Kau mungkin tak memperhatikannya dengan detail. Dia memiliki tato. Beberapa tato lebih tepatnya. Yang paling dia suka sekaligus aku benci adalah tato di kedua pergelangan tangannya.

"Kau mungkin tak melihatnya karena tertutup oleh lengan kemeja saat pertemuan pertama kita waktu itu. Dia juga biasanya akan memakai banyak aksesori seperti gelang, cincin, dan kalung rantai. Itu bukan gayaku. Dia akan melepas itu semua saat menyamar menjadi aku atau meniru penampilanku."

Aku mengerutkan kening. Dalam hati mencoba mengingat, kenapa tak melihat tatonya saat kejadian malam itu. Oh, tentu saja. Apa yang bisa diharapkan dari mataku yang setengah mabuk?

Seakan membaca kebingunganku, ia bersiap membuka mulut lagi. "Aku memberitahumu semua ini agar kau bisa membedakan kami. Maksudku, aku tak mau kau terkecoh oleh penampilannya saat meniruku."

"Oh, jangan kuatir. Aku bisa membedakan kalian meski dia berpenampilan semirip apa pun denganmu."

Dia menatap heran sekilas. "Bagaimana bisa?"

Aku hampir saja menjawab 'dari tatapan mata birunya yang tajam cekung, seakan menyimpan misteri, tetapi memesona'. Namun, segera kuurungkan.

"Jangan cemas. Anggap saja aku tahu apa yang harus kulakukan untuk membedakan kalian."

Dia mengangguk lega. "Baiklah. Itu cukup membuatku lega dan lebih tenang sekarang."

"Kau sepertinya menganggap adikmu sebagai seorang pembuat masalah," celetukku mencoba mengajak bercanda.

Wajahnya justru terlihat serius saat menjawab, "Kau tak tahu. Papa dan mamaku kerap berusaha menutupinya dari orang lain. Namun, kau harus tahu, Lea. Zander sungguh adalah pembuat masalah. Aku tak mau dia menyakiti atau menyusahkanmu nanti. Beritahu aku jika dia mengganggumu. Oke?"

Aku menelan ludah dengan susah payah. Sudah terlambat, Zane. Namun, kuingatkan diriku untuk benar-benar mengingat kata-katanya itu. "Oke."

Kulirik melalui kaca spion tengah, Luciana tampak tertidur. Aku pun memutuskan ikut memejamkan mata. Selain untuk menghindari obrolan lebih lanjut membahas Zander, tak ada lagi rasanya yang ingin kubahas dalam pembicaraan kami.

***

"Selamat datang, Lea!" sambut seorang wanita berambut cokelat sambil membuka pagar kayu.

Rumah di belakangnya terlihat cukup besar meski terkesan sederhana, tetapi pemandangan di sekitarnya sungguh luar biasa. Zane benar. Keindahan Desa Woodstock membuatku jatuh cinta dalam sekejap.

Pemandangan bukit, padang rumput, rumah-rumah khas pedesaan, sungai-sungai jernih yang tadi sempat dilewati, ditambah banyaknya taman di sepanjang jalan. Aku bisa membayangkan betapa indahnya jika datang di musim semi atau gugur.

Pepohonan yang mengapit sepanjang jalan pedesaan sudah pasti akan berwarna-warni merah, oranye, dan kuning keemasan saat musim gugur. Aku bisa melihatnya seolah terpampang di depan mata.

Bila musim semi datang, bunga-bunga cerah akan mulai tumbuh bermekaran. Warna kemerahan, merah muda, kuning, atau bahkan ungu mungkin akan terlihat menghias indah di sepanjang kanan kiri jalan.

"Tadinya aku ingin langsung membawa Lea dan Luciana ke hotel kita. Namun, sepertinya perlu ke sini lebih dulu agar mengenal lingkungan rumah kita, Mom."

"Kerja yang bagus, Nak. Tentu saja Lea harus menemuiku dulu. Biar bisa kulihat betapa cantiknya calon menantuku ini." Ia merangkul dan menepuk-nepuk lembut pipiku dengan gemas membuat aku tersenyum malu.

"Di sini tak ada anak perempuan. Jadi, maklum saja jika aku memanjakanmu nanti," ujarnya sambil menggandengku berjalan menuju rumah. "Oh, temanmu, siapa?"

"Lulu," sahutku cepat.

"Lulu, aku Betty. Ayo, masuklah, anggap saja rumah sendiri."

Aku dan Lulu lantas dibimbing ke dalam rumah. Nyonya Betty menunjukkan kamar kami di lantai atas.

"Oh, di mana Zander?" Ia celingukan sesaat sebelum bergegas menuruni tangga.

Aku mengintip dari jendela, melihat ke bawah. Kulihat Nyonya Betty melangkah mengarah ke samping rumah, diikuti oleh Zane.

"Zander! Di mana adikmu itu? Dia belum kembali setelah membawa kudanya pagi tadi, padahal aku telah menyuruhnya membantu memeras susu sapi!"

"Aku sudah mencoba meneleponnya, tetapi dia mungkin tak membawa ponsel, Mom."

Aku dan Luciana saling berpandangan. Dia memutar bola mata, lalu memilih merebahkan diri di kasur.

"Berapa lama kita akan di sini? Kenapa tidak tinggal di hotel mereka saja?"

Aku beranjak mendekatinya. "Kau tadi dengar alasannya, bukan?"

"Aku sesungguhnya malas berurusan dengan Zander, jika ia seperti yang kau ceritakan. Aku bahkan cukup mendengar tentangnya dari Zane saat di mobil."

Aku mengernyit. "Kukira kau tidur saat itu."

"Pura-pura. Aku sengaja agar kalian dapat kesempatan mengobrol dengan bebas."

Aku mencibir sambil melangkah ke depan meja kaca. Kutatap penampilanku di sana.

Rambut cokelat bergelombang sepunggung, blus putih lengan pendek berenda dengan banyak kancing di bagian depan, ditambah rok hitam bercorak bunga sebatas lutut. Sungguh kontras dengan penampilan Luciana yang mengenakan atasan kuning bertali dipadu dengan celana pendek jin biru.

Sejujurnya aku tak mau memakai baju yang ada di tubuhku saat ini. Namun, ini pilihan Mom dan sepertinya Zane pun menyukainya.

Sepanjang perjalanan di mobil, ia bahkan tak melirik sama sekali ke arah Luciana yang jelas tampak lebih seksi. Bukankah ini aneh?

Lelaki itu makhluk visual. Mereka terbiasa memuja wanita berdasarkan matanya.

"Zander! Ke mana saja kau? Aku memintamu memerah susu! Kau malah pergi hampir seharian menunggang kuda kesayanganmu itu!"

Terdengar lagi teriakan dari Nyonya Betty di luar sana. Aku bergegas mengintip lagi melalui jendela.

Sialnya, aku mengintip bertepatan dengan pandangan Zander ke arah loteng. Napasku seakan tertahan sebelum buru-buru bersembunyi darinya.

"Kenapa?" tanya Luciana heran.

"Zander melihatku mengintip." Aku memukulkan kepalan tangan kanan pelan ke jidat berkali-kali.

*** 

Ada yang nungguin ga ya? Sampai di bab ini, pendapat kalian gimana? 

Gitu aja deh. Jangan lupa tinggalkan jejaknya yaaa. Makasih. Btw, besok giliran saya update The Big Love. Sampai jumpa <3

14/01/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro