CHAPTER 35
Bersepeda ternyata sangat menyenangkan. Meski awalnya masih agak kaku, tetapi aku bisa mengendalikannya setelah sekian lama tak menaiki sepeda.
Seingatku, terakhir kali bersepeda saat berumur sekitar sepuluh tahunan. Aku hanya harus beradaptasi lagi dengan keseimbangan. Tentu saja itu bukan sebuah masalah besar.
Aku menatap senang ke arah keranjang di bagian depan. Beberapa potong pakaian tidur, gaun selutut, kaus, serta blus santai telah terbeli. Semua masih bisa kupakai nanti saat kembali ke NYC.
Entah bagaimana respons Tuan Nathan dan Betty saat Zander memberitahu mereka soal kami nanti. Akankah mereka menyetujui?
Sepeda Kevin kini berjajar denganku. Di setang kirinya tergantung satu tas belanja dari toko berisi camilan dan sekotak es krim yang kubeli.
Kevin ternyata di kenal banyak orang. Ia sempat bertegur sapa cukup lama dengan beberapa pegawai dan pemilik toko di sana. Namun, dia akan kembali terlihat berbeda saat bicara denganku.
Celetukan-celetukannya yang spontan kadang tak urung membuat wajah memanas. Aku tahu mungkin ia tak bermaksud membuatku merasa malu. Namun, tetap saja, ada perasaan aneh saat melihat perbedaan sikapnya itu.
"Berapa lama kau berencana tinggal di Lake Placid?" tanyanya saat dalam perjalanan kembali ke kabin.
"Entah, mungkin beberapa hari, seminggu, sebulan, atau setahun."
Itu tergantung seberapa cepat Zander menyelesaikan urusannya sebelum datang menjemputku, lebih tepatnya. Aku masih berpikir apakah kembali ke NYC setelah melahirkan anak kami saja.
Aku masih tak tahu bagaimana harus menghadapi Mom dan Dad jika mereka tahu soal bayi di perutku. Apa Zander akan memberitahu mereka yang sebenarnya?
"Kau mencintainya?"
"Huh? Siapa?"
"Kekasihmu."
Aku mengerutkan kening. "Dia tunanganku. Kenapa kau mau tahu soal itu?"
Ia terus mengayuh sepedanya pelan, agar mengimbangiku. "Awalnya kukira dia memaksamu saat aku ke kabinmu sore kemarin."
Kenapa dia terus mengingatkanku tentang hal itu? Itu memalukan!
"Namun, pagi ini saat aku datang untuk memeriksa sepeda, perkiraanku salah. Kau terdengar menikmatinya."
"Hei! Kau tahu, kau melanggar privasiku!"
"Seharusnya kau memelankan suaramu atau menutup jendela balkon. Itu bukan salahku jika telingaku berfungsi dengan baik."
"Kau tak seharusnya terus mendengarkan kami waktu itu. Kau bisa saja pergi, bukan?"
"Ya, tetapi aku tak bisa berhenti mendengarkanmu saat itu."
Dia gila atau apa? Aku mulai merasa ia memang tak normal, agak sedikit aneh.
"Kau tahu, kau tak seharusnya mendengarkan itu, bukan?"
Kevin mulai memimpin menuju jalur setapak di antara pepohonan, sama seperti yang kami lalui saat berangkat menuju jalan utama. Ia bilang itu adalah akses tersembunyi yang biasa dia lewati.
"Aku tahu, tetapi seperti yang tadi kubilang. Bukan salahku jika telingaku sangat berfungsi dengan baik dan suaramu membuatku sedikit ketagihan."
Jangan-jangan dia termasuk dalam golongan remaja yang suka menonton film dewasa. Aku mengembuskan napas resah dan mulai merasa tak nyaman.
"Bagaimana denganmu?" tanyaku mencoba menenangkan diri, mengalihkan topik.
"Tentang apa?"
"Your girlfriend. Ceritakan tentangnya."
"Tidak ada. Aku tidak punya."
"Kau bohong, bukan? Tidak mungkin. Kau memiliki wajah cukup menarik menurutku."
"Kau tertarik?"
Setangku sontak bergerak kacau. Aku hampir terjatuh jika tak segera sigap menstabilkan pegangan.
"Apa maksudmu?! Perlu kau tahu, aku bukan seorang cougar! Aku tak tertarik dengan lelaki di bawah umur!"
"Hei, aku akan segera berumur delapan belas tahun! Aku tak keberatan berkencan denganmu. Aku tak bermaksud menghinamu sebagai tante girang atau semacamnya."
"Akan! Tapi kau belum! Aku sembilan belas tahun dan sudah bertunangan, bahkan sedang mengandung anak tunanganku! Tentu saja aku yang keberatan! Kau gila ya?!"
Astaga. Apa Zander dulu juga seperti itu? Entah kenapa aku sangat berang saat ini, merasa seakan sedang diperlihatkan tentang lelaki itu saat remajanya di sosok Kevin.
Aku mengayuh pedal lebih cepat, hingga tiba lebih dulu di belakang kabinku. Kuletakkan kembali sepeda ke posisi semula di dalam gudang.
Kevin tiba kemudian saat aku buru-buru melangkah cepat sambil membawa tas berisi pakaian menuju pintu kabin. Kulihat ia menaruh sepeda sembarang di gudang, menutup pintunya setelah mengambil dan menenteng tas belanja milikku.
Ia berhasil mengejarku sesaat setelah aku membuka pintu. Dia ikut masuk ke dalam.
"Aku hanya bertanya. Kenapa kau begitu marah?" tanyanya sambil membuntutiku.
"Aku hanya tak suka mendengar ide itu dari mulutmu! Bagaimana bisa kau ... kau bahkan mendengarkan ...."
Aku mengambil tas belanja berisi es krim dan camilan dari tangannya. Kubiarkan kalimatku masih menggantung begitu saja.
"Aku hanya berniat memberitahu, aku suka wanita lebih tua. Aku tak tertarik dengan gadis sebaya atau lebih muda dariku. Karena itu, aku belum punya pacar!"
"Kau bahkan belum mencobanya, bukan? Bagaimana kau tahu kau lebih suka yang lebih tua jika kau tak pernah mencobanya dengan yang sebaya?"
"I did!"
Aku memasukkan sekotak es krim ke freezer, lalu beralih meletakkan beberapa camilan ke lemari dapur. Kevin terus mengikuti dengan matanya.
"Tapi itu tak semenarik ketika aku mengintip dan melihatmu dari jauh saat kau pertama kali datang ke sini. Aku juga menyukai suaramu saat ...."
"Jangan diteruskan! Kumohon." Aku memberinya tatapan penuh ketegasan. "Aku tak ingin tahu."
"Bagaimana dengan tunanganmu? Kau sungguh mencintainya? Jika iya, lalu kenapa kau harus kabur darinya dan bersembunyi di sini?"
"Itu BUKAN urusanmu."
"Kau ingin menikahinya? Kau yakin dia juga mencintaimu?"
"YA!"
Rahangnya terlihat bergerak-gerak. Ia diam, memberiku tatapan marah dan kecewa sebelum berbalik meninggalkanku.
Terdengar suara pintu dibanting. Aku segera melangkah cepat ke ruang depan dan menguncinya. Kusandarkan punggung sambil memejamkan mata.
Akankah Kevin menjadi seperti Zander kelak? Apa saja yang dilakukan remaja itu dalam keseharian sebenarnya, selain sekolah serta membantu Tuan dan Nyonya Nelson mengurus kabin-kabin sewaan?
Apa ia terbiasa mendengarkan apa yang dilakukan para penyewa kabin? Bagaimana jika dia akan terus mengawasi atau melakukan aksinya itu lagi terhadapku dan Zander? Jangan-jangan, dia malah sengaja merekam diam-diam? Siapa tahu, bukan? Astaga.
Kubuka mata kembali. Sepertinya aku tak bisa tinggal lebih lama lagi di sini.
***
Luciana berdiri di depan pintu. Ia terlihat gusar, sama seperti saat aku meneleponnya melalui video call secara mendadak, minta untuk dijemput secepat mungkin.
"WHAT HAPPENED, KALEA JONES?!"
Segera kutarik lengan Luciana untuk masuk ke dalam sebelum menutup pintu dan menguncinya. "Kujelaskan di kamar. Kau mau minum atau makan sesuatu dulu? Ambil saja sendiri. Aku membereskan semua pakaian dulu."
"What the hell is going on?!"
Kutinggalkan dia begitu saja tanpa menjawab. Aku segera melangkah dan menaiki tangga menuju kamar, lanjut merapikan, dan memasukkan semua pakaian serta bawaanku ke dalam dua tas, yang dibawa bersama Luciana sebelumnya.
"Lea, ini tidak lucu. Kau berencana di sini sampai melahirkan, bahkan berniat mencari pekerjaan selama berada di tempat ini, tetapi kenapa tiba-tiba ingin pergi? Apa ini karena Zander? Dia menyuruhmu? Mengancammu?"
Aku diam, menatap sekilas Luciana yang tengah berdiri di ambang pintu. Benakku berkecamuk tentang bagaimana cara mengatakan padanya tentang Kevin Nelson.
"Lea! Kau marah padaku karena memberitahu Zander soal tempat ini? Aku terpaksa, Lea! Dia mengancam Simon dan Tim!"
Sejujurnya aku ingin tertawa saat mendengar itu. Jika Zander tak memberitahu alasan sebenarnya, tak mungkin bisa sikapku setenang sekarang.
Aku menyingkirkan kedua tas yang kini telah siap untuk dibawa. Beranjak, kududukkan diri kemudian di tepi ranjang. "Duduklah, Lulu."
Luciana memandangku heran seraya melangkahkan kaki menghampiri. "Kau terlihat aneh hari ini, Lea." Ia duduk di sampingku tanpa mengalihkan tatapan.
"Ini tentang Kevin Nelson." Aku pun menceritakan semua percakapan antara Kevin dan aku tadi pagi.
Luciana mengawasi sambil mendengarkanku dengan berbagai ekspresi. Dia tak memotong sama sekali meski matanya membelalak sesekali.
"Jadi, kini kau paham kenapa aku memintamu segera datang siang ini, bukan? Mungkin aku berlebihan, tetapi aku tak bisa tenang di sini, Lulu. Jujur, ini sungguh membuatku takut dan merasa diawasi terus oleh seseorang di sini."
Luciana mengembuskan napas perlahan. "Aku tak mengira Kevin Nelson ternyata seorang yang seperti itu. Maafkan aku. Kau benar. Kau tak bisa tinggal lebih lama di sini lagi. Aku akan memberitahu Tuan dan Nyonya Nelson bahwa kau akan kembali ke Woodstock sore ini bersamaku dengan alasan masalah telah selesai."
Aku mengangguk. "Semua sudah siap. Aku hanya membawa semua pakaian, termasuk yang baru kubeli tadi pagi serta seluruh perlengkapan yang kita beli sebelumnya."
"Baiklah. Aku harus menemui mereka dulu. Kau tunggu di sini saja sebentar."
***
Kami berangkat menjelang sore usai berpamitan dengan Tuan Nelson dan istrinya. Kevin tak terlihat saat itu. Menurut Lucy, putra mereka pergi untuk mengurus sesuatu sebelum Luciana datang.
Aku tak peduli. Yang terpenting, diriku telah aman dari remaja pengintip itu. Siapa yang akan tahu apa rencana Kevin selanjutnya.
Banyak kejahatan terjadi dimulai dari sesuatu yang sepele. Bisa berawal dari rasa suka sepihak, sampai timbul obsesi, kebencian, atau kemarahan membabi buta. Melihat gelagat Kevin tadi pagi, aku tak mau menunggu hal buruk terjadi.
Luciana menyetir sambil mengoceh soal kejadian saat Zander menggunakan Tim dan Simon, untuk memaksanya memberitahu keberadaanku. Dia bercerita penuh semangat sekalian emosi. Saat kujelaskan alasan sebenarnya, ia pun terlihat lega meski masih tampak kesal.
"Awas saja mereka nanti," gerutunya. "Bisa-bisanya mereka mengelabuiku."
"Hei, mereka pun akan berkata sama, bukan? Kita yang lebih dulu mengelabui mereka."
"Kau benar." Kami sama-sama tertawa kemudian mengingat semua kekonyolan, bahkan rencana menggelikan untuk tinggal lebih lama yang akhirnya harus kubatalkan karena Kevin.
Mendadak mobil oleng saat melewati jalanan yang mulai gelap dan sepi. Luciana berteriak memaki. Namun, benturan terjadi lagi dari luar, hingga berbunyi berdecit sebelum terhenti.
Tubuhku tersentak. Belum sempat bertanya pada Luciana, kami dikejutkan oleh beberapa lelaki berpakaian setelan berdasi serba hitam menghantam kaca jendela dan membuka paksa pintu bagian depan.
Aku menjerit, memberontak, dan melawan. Namun, kekuatanku sungguh tak ada apa-apanya saat melawan mereka.
Mulutku dibekap. Kulihat Luciana pun diperlakukan sama. Kami sama-sama saling meronta dan berusaha teriak.
Gerakan mereka begitu cepat. Aku dan Luciana dimasukkan paksa ke dalam kabin sebuah van hitam yang memepet mobil, langsung diapit oleh beberapa lelaki, di kanan dan kiri. Mobil pun segera melaju, diiringi teriakan kami.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro