CHAPTER 34
Mataku mengerjap pelan dalam cahaya temaram. Kusadari bibir Zanderlah yang membuat aku terbangun.
Aku mengerang protes sambil menepiskannya pelan dari wajahku. Kucek jam di ponsel. Pukul empat dini hari. Astaga.
"Lea ... aku ingin ...."
"Kau sadar ini jam berapa?" tanyaku sambil menepiskannya kembali.
"Aku sedang mau ...." Ia tetap kembali mengecupi.
"Kau tidak ada lelahnya ya?"
"Tidak." Ia terus mengecup. "Jika ada lomba bercinta, aku pasti menang. Tim bilang, aku kemungkinan besar adalah alpha yang tersesat."
Aku memutar bola mata. "Lalu aku adalah mate-mu?"
Ia menatapku berbinar, menyeringai. "Kau luna-ku."
Dia menyerang bibir dan ceruk leher kini. Aku mendesah tanpa sadar.
"Ini masih pagi ...."
"Justru pagi lebih bagus." Ia terus mencecap leher, mulai merayap ke dada.
"Aku masih mengantuk ...."
"Kau tak akan mengantuk lagi nanti. Percayalah."
"Tapi, ah ...."
Kalimatku terhenti saat ia membuka gaun tidurku di bagian atas sambil meremas, mengulum, dan mencecap di dua titik sensitif di sana.
"Zander ...."
Tubuhku menggeliat, tak kuasa menghadapi serangannya. Aku bahkan tak mampu berpikir.
Bibirku membuka, meloloskan desahan. Ia dengan sigap membungkam dengan bibirnya.
Zander memamerkan kemahiran bibirnya sambil merayapi tubuhku dengan jemari. Aku semakin menggeliat dengan desahan yang lepas kendali.
Ia membuka celana, melemparkannya begitu saja. Napasnya mulai memburu saat menarik lepas celanaku.
Zander memainkan jari-jarinya di sana sebelum memosisikan diri di atasku kemudian, di antara kedua paha yang ia kembangkan dengan kedua tangannya. Sambil menatap intens, dia mendorong perlahan, memasuki diriku.
Aku kembali mendesah saat merasakan ia memenuhi diriku. Tak seperti sebelumnya, Zander kini bergerak lembut dan perlahan sambil terus mencumbu, mengatakan hal-hal manis di telinga.
Dia memeluk, membelai, mengecupi sambil terus bergerak pelan. Ia mengerang dan mendesah seraya mulai sedikit memperkuat dorongan.
"Lea, aku mencintaimu. Kau dengar?"
Aku hanya mengerang, tanpa mampu menjawab. Rasanya sangat luar biasa. Kewarasanku seakan hilang entah ke mana.
Zander kembali mengecup dan melumat bibirku. Ia terus berkata sesuatu yang terdengar samar si telinga.
"Menikahlah denganku, Lea. Please ...."
Ia memegangi pinggulku kemudian, lalu mulai mengentak dan menghunjam lebih kuat dan cepat. Aku merasa pusing dan mabuk, campur aduk.
Mataku memejam dan membuka bergantian seiring desahan dan erangan lolos dari mulut. Aku tak tahan untuk tidak membalasnya.
Jemariku mencengkeram punggungnya kuat. Aku mulai bergerak tanpa sadar mengikuti gerakan Zander. Kami saling mengentak cepat.
Seakan paham, ia mengubah posisi kami, membuatku kini ada di atas. Ia membimbing aku untuk terus menghunjamkan diri ke arahnya.
Suara desahan dan erangan semakin intens. Napas kami sama-sama memburu. Aku terus bergerak tanpa henti menggoyangkan pinggul, serta menaik turunkan tubuh di atasnya, seakan itu adalah hari terakhir bercinta dalam hidupku.
"Oh, sh**, f**k, Lea!" Zander terus bergumam dalam erangan.
Baru kali ini aku menatapnya di bawahku, mengerang, membuka dan memejamkan mata sesekali, begitu juga mulut. Tangan Zander terus mengarahkanku untuk mempercepat gerakan menghunjam.
Dalam suatu kesempatan, ia mengubah posisi kami lagi. Tanpa buang waktu, dia mengentak cepat di atas kembali, hingga tubuhku terguncang hebat.
Aku merintih. Ia segera mendekap dan melumat bibirku. Pinggulnya terus menghunjam semakin kuat, hingga mendekati puncak.
Tubuhku mengejang. Kami mengerang hampir bersamaan. Namun, dia belum berhenti.
Dia makin mengentak intens sambil menggeram, hingga akhirnya ikut mengejang kemudian. Ia membuat gerakan memutar dan mengentak perlahan sebelum menghunjam untuk yang terakhir.
Kami sama-sama mendesah penuh kepuasan sebelum ia melepaskan penyatuan dan berbaring di samping kiri. Napasku serta napasnya tersengal di cahaya temaram. Suara air danau baru terdengar lagi, ikut menimpali.
"That's ... making ... love ...."
Ia tertawa kecil mendengar ucapanku yang terengah itu. Kurasakan tangan Zander meraih dan mendekatkan aku ke tubuhnya. Angin sejuk dari jendela balkon yang terbuka menyentuh tubuh berkeringat milik kami.
Ia mengecup lembut keningku. "Aku akan berikan berkali-berkali, cara bercinta apa pun, yang kau mau, Sayang. Jadi, menikahlah denganku."
Aku tak punya alasan apa pun lagi untuk menolaknya. "Bagaimana dengan Mom dan Dad?"
Ia mengusap-usap bahuku lembut. "Aku akan mengurusnya. Aku harus membereskan urusanku dan bicara dengan orang tuaku lebih dulu, jika kau setuju."
Kuhela napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. "Baiklah. Aku bersedia menikah denganmu."
Bibir Zander seketika merekah, lalu memelukku semakin erat. Dia melepaskan sebuah cincin polos dari salah satu jarinya. "Aku belum sempat membeli cincin. Pakai ini dulu sementara. Aku akan membelinya nanti. Ini milik mendiang kakekku. Tolong, jaga baik-baik."
Kuterima cincin itu di tangan dan mengecupnya sebelum menggenggam erat. "Aku akan menjaganya untukmu."
***
"Kau yakin tak mau ikut ke Woodstock bersamaku? Mamamu meminta aku membawamu pulang kembali ke NYC bila bertemu denganmu. Bagaimana jika ia menelepon lagi nanti? Aku harus jawab apa?"
"Katakan saja aku masih ingin menghibur diri untuk melupakan Zane."
Zander mengelus-elus rambutku. "Baiklah. Kabari aku kapan saja nanti saat kau siap kembali ke NYC. Aku akan menjemputmu. Jika tidak, aku akan sering kemari menemuimu."
Aku hanya mengangguk. Ia mengecup keningku sebelum pergi. Langit masih tampak gelap. Suasana masih begitu sunyi.
"Itu kekasihmu?" Kepalaku sontak menoleh.
Seorang remaja muncul dari arah hutan belakang, tak lama setelah Zander pergi ke arah berlawanan, melalui pepohonan yang menuju gerbang utama kabin-kabin sewaan. Dahiku mengernyit.
"Kau ... Kevin?" tanyaku sedikit ragu.
Ia mengangguk, terus berjalan pelan menghampiriku. "Aku baru saja mengecek sepeda Lulu agar kau tak punya masalah saat memakainya. Itu sudah lama menganggur di gudang samping."
Dia mengulurkan tangan ketika tiba di depanku. "Kevin Nelson."
Untuk ukuran remaja, tubuhnya cukup tinggi. Ia memiliki wajah yang terkesan serius.
"Kau belum menjawab."
"Oh." Aku segera menyambut uluran tangannya. "Kalea Jones. Panggil saja Lea. Kau sophomore, senior .... "
"Maksudku soal pertanyaanku tadi. Lelaki tadi kekasihmu?"
Kurasakan ia menjabat tanganku terlalu erat. Aku segera melepaskan dan menurunkan tangan. Kevin mengusap rambut lurusnya yang pirang.
"Dia tunanganku sekarang."
"Oh." Ekspresinya terlihat datar. "Junior. Kau dan Lulu sepertinya setingkat di atasku, bukan?"
"Ah, ya."
"Kau bermain violin dan piano?"
"Mmm ... piano dulu saat kecil, sekarang aku lebih sering bermain violin."
"Aku bermain di tim basket."
"Oh. Lulu sudah bilang soal temanmu."
Ia menatap dalam diam sejenak. Mata abu-abunya mengerjap. "Oh, Charlie, ia sudah lama memang bilang butuh guru privat, tetapi ia belum lama ini sudah menemukannya.
"Aku sedikit terlambat memberitahunya soal dirimu. Kau masih butuh pekerjaan paruh waktu? Ada lowongan di restoran sebenarnya. Aku baru tahu kemarin sore. Aku ingin memberitahumu, tetapi ... sepertinya kau sedang sibuk." Ia menatapku muram.
Kemarin sore? Saat itu aku dan Zander tengah ... dia tak mungkin sedang mendengarkan kami, bukan? Entah kenapa aku jadi merasa gugup bercampur rasa malu.
"Mmm ... lowongan apa? Pelayan? Kasir? Aku tak cukup mahir untuk bekerja sebagai koki."
"Mereka butuh pemain piano."
"Oh, di restoran sini?"
"Ya. Jika kau mau nanti akan kuantar ke sana."
"Baiklah. Aku mau."
"Bila kau ingin belanja kebutuhan sehari-hari, ada minimarket tak jauh dari sini. LP Grocery Store. Hanya perlu sepuluh menit bersepeda ke jalan utama."
"Kebetulan aku memang berencana meneleponmu nanti untuk menanyakan soal itu. Kau bisa menemaniku ke sana?"
"Tentu."
"Apa ada toko atau butik juga di sekitar sini?"
"Ada. Mau kuantar sekalian ke sana? Mereka buka agak lebih siang, tetapi aku bisa meminta mereka membuka lebih cepat khusus untukmu. Aku cukup kenal dekat dengan pemilik dan pegawai di sana."
"Boleh. Aku perlu membeli beberapa gaun atau kaus untuk sehari-hari."
Kevin mengangguk lagi, kini dengan sedikit senyum samar. "Kita ambil sepeda dulu."
"Aku pun harus mengambil dompet dulu," ujarku sebelum buru-buru masuk ke dalam kabin.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro