CHAPTER 32
Lucy pamit kemudian usai mengajariku membuat beberapa potong ayam goreng renyah dan kue cokelat yang lembut.
Ia memastikanku memakan habis semua ayam goreng itu sebelum pergi. Aku mengunci pintu, lalu kembali ke dapur. Kumasukkan kue cokelat lebih dulu ke kulkas, berencana akan memakannya saat menikmati matahari senja nanti.
Kuambil buah apel dingin, mulai menggigit serta mengunyah pelan sambil berjalan ke balkon. Otakku berpikir, sepertinya aku butuh makanan ringan. Lucy tak menyediakannya.
Itu kesempatan untuk mencoba bersepeda ke minimarket terdekat. Lucy telah memberitahu lokasinya. Ia menyuruhku menghubungi Kevin untuk menemani ke sana jika mau.
Mungkin tidak sekarang. Aku sedang tak ingin ke mana pun, kecuali hanya menikmati siang yang tenang sambil menunggu matahari terbenam. Besok? Akan kupikirkan nanti saja.
Kududukkan diri di tempat tidur ayun. Mataku memandangi danau yang tenang serta pegunungan di belakangnya. Angin lembut segar semilir menerpa kulit wajah. Tirai dan rambutku bergerak ringan.
Entah kenapa aku berharap Zane ada di sini. Ia pasti akan bercerita banyak hal dan mungkin melontarkan beberapa ocehan lucu untuk membuatku tertawa atau sekedar tersenyum.
Kerongkonganku seakan tersumbat. Kupejamkan mata. Tidak, Lea. Jangan menangisinya lagi. Biarkan ia tenang dan damai kini.
Aku tidak tahu apakah ini cinta atau rasa kasihan seperti yang dikatakan Luciana sebelumnya. Namun, hatiku tahu persis, betapa kepergian Zane secara mendadak menyisakan sesuatu yang kosong.
Anehnya, ketika bayangan Zander muncul kemudian, itu seolah mampu mengisi dan memercikkan bara di diriku. Api kemarahan sekaligus gairah yang sulit tertahankan.
Apa mungkin orang bisa merasakan klimaks hanya dengan membayangkan wajah seseorang saja? Hormon sialan.
Sepertinya aku harus mandi. Api di tubuhku perlu didinginkan.
Usai berendam di bak, lengkap dengan cairan aroma terapi yang wangi menyegarkan, aku mengganti baju. Kupilih salah satu gaun Luciana yang hanya sebatas dada saja. Panjangnya sepangkal paha, tetapi cukup lebar.
Gaun itu satu-satunya yang cukup terlihat nyaman untuk bersantai. Lagi pula balkonku tertutup. Aku mengecek ponsel sebelum melangkah ke balkon.
Kubaringkan tubuh sambil memejamkan mata, menikmati angin sejuk semilir. Aku masih punya waktu untuk tidur siang sejenak.
Entah aku tertidur berapa lama. Namun, sesuatu mengejutkanku tiba-tiba. Kubuka mata dan melihat seseorang yang seharusnya tak di sini. Zander.
Kenapa dia bisa ada di sini? Bagaimana ia menemukanku? Luciana berkhianat?
Aku berteriak, tetapi tersadar, mulutku telah dibekap. Kuamati lelaki itu dengan tatapan horor ke arahnya.
Ia terlihat begitu marah dan frustrasi. Dia tampak lebih kacau dari saat terakhir mendatangiku ke rumah waktu itu.
"Kau tak seharusnya melakukan ini, Lea. Aku bahkan harus menyakiti sahabatmu untuk menemukanmu."
Mataku membulat. Apa yang ia lakukan pada Luciana? Aku ingat telah mengecek ponsel seusai mandi, tidak ada panggilan atau pesan apa pun darinya.
Aku mencoba berontak, melepaskan tangannya dari mulutku. Teriakanku tenggelam. Sia-sia.
"Berteriaklah jika kau ingin melihatku melakukan hal yang lebih gila lagi. Mungkin bukan hanya Luciana yang akan kusakiti nanti," ancamnya penuh amarah.
Napasnya tersengal. Mataku mengerjap-ngerjap seraya kepala mengangguk cepat. Aku tak mau bila ia menyakiti Tuan Nelson dan keluarganya.
Ia melepaskan tangan, lalu menarikku ke dalam kamar. Dia membuka kaus dan jin dengan cepat. Mataku melebar menatapnya. Jantung pun seakan berdentum bak meriam.
Terlihat sekali ia sangat tak sabar. Dia bahkan langsung melepaskan lapisan terakhir yang menutup bagian bawahnya.
Aku bergerak mundur saat ia segera menghampiri. "Tidak, Zander. Jangan!"
Namun, dia tak peduli. Aku tak pernah melihat ia semarah ini.
Zander menarik paksa gaun Luciana yang kupakai, ia pun melucuti dalaman bawahku. Napasku tercekat. Dia kasar, tetapi tak sekasar ini sebelumnya.
Dia mendorongku ke kasur, lalu menarik kedua pahaku. Tanpa kata-kata apa pun, ia menyatukan diri dan segera mengentak dan menghunjam kuat.
Aku mengerang dalam guncangan hebat. Kedua lenganku seakan terpancang oleh cekalan yang kuat. Tak ada yang bisa kulakukan selain membiarkan ia melampiaskan kemarahannya saat ini.
Zander menggeram sambil mendesis. Matanya tak lepas dari mataku. Itu tatapan penuh kemurkaan.
Dia mengangkat pinggulku sedikit ke atas, mengarahkan ke arah pinggulnya yang bergerak intens, menghunjam semakin kuat dan dalam. Ia membungkuk dan menunduk kemudian, lalu melumat bibir dengan kasar.
Aku mengerang dalam mulutnya. Desah napasku tak lagi bisa terkontrol. Dengus napasnya pun terdengar memburu.
Desahan segera lolos dari mulutku saat bibirnya melepaskanku. Ia ganti kini merayapi leher dan dada dengan lidah dan napas membara.
Keringat bercucuran di tubuh telanjang kami. Ia menatap lekat-lekat kembali sambil menggeram dan terus mengentak.
"Zander ...." Aku kembali mengerang. Kepalaku pusing oleh perasaan campur aduk yang memenuhi saat ini.
Tangannya kini ganti mendekap erat saat mulai menempelkan tubuhnya di atasku. Ia menindih seraya terus mempercepat gerakan, menghunjamkan diri tanpa henti.
Aku menggigit pundaknya tanpa sadar, bahkan membenamkan kuku di sana. Ia mendesah di telingaku.
"Lea, kau tak boleh meninggalkanku .... Aku melarangmu hidup tanpa aku ...."
Mulutku membuka, memekik tanpa suara saat guncangan semakin cepat dan kuat. Ia pun menggeram.
Ranjang berbunyi, berderit, dan bergeser. Cabang-cabang dekorasi yang menaungi dan mengitari turut bergoyang hebat.
Aku melepaskan erangan, rintihan, serta desahan saat mencapai puncak. Zander masih belum berhenti. Ia memiringkan tubuhku, lalu kembali mengulangi gerakan, mengentak dan menghunjam dalam kemurkaan.
Sepanjang sore itu, ia terus melakukannya tanpa ampun, seakan tengah menghukumku karena meninggalkannya. Langit terlihat merona oleh warna senja. Tirai bergoyang gemulai tanpa suara.
Aku hanya diam mendengarkan suara air menampar tepi danau serta bunyi protes ranjang, di sela dengus napas Zander yang terus memburu. Kubiarkan ia terus mengentak tanpa sepatah pun kata keluar dari mulutku.
***
"Kau seharusnya tak meninggalkanku, Lea. Kau tahu aku akan melakukan apa pun untuk menemukanmu kembali."
Ia memakan kue cokelat yang diambil dari kulkas di atas ranjang. Dia menyodorkan sesendok ke depan mulutku saat aku menatapnya.
Kepalaku menggeleng. "Apa yang kau lakukan pada Lulu? Jika kau benar menyakitinya, aku tak akan memaafkanmu." Aku menyorotkan mata ke arahnya.
Zander menyendok kue cokelat dan melahapnya sekali lagi. "Kau telepon saja dia, Nemesis." Ia berkata itu dengan sikap acuh tak acuh.
Dahiku berkerut. "Bagaimana kau tahu? Bagaimana kau menemukanku di sini? Kau memaksanya? Mengancamnya? Memukulnya?"
Lelaki yang masih bertelanjang dada itu mendongak kini, memandang seraya menyipitkan mata. "Kaukira aku lelaki macam apa, Lea? Aku mungkin kasar, tetapi tak pernah memukul wanita. Mom tak pernah mengajariku seperti itu, tidak juga Dad."
Aku hampir melotot saat mendengar itu. "Tadi kau yang bilang!"
"Menelikung tangan Simon sampai ia meraung kesakitan. Tim menggerung. Sahabatmu itu tak tahan melihat semua itu, hingga memberitahukan keberadaanmu sambil menangis. Kau lihat? Ia memilih memihak Simon dan Tim, bukan kau. Dia tak setia kawan."
Aku melemparkan bantal ke arahnya dengan kesal. Ia menjauhkan kue cokelat dari lemparan.
"Aku bahkan akan melakukan hal sama jika ada di posisinya! Kaulah yang jahat dan tak setia kawan! Bagaimana bisa kau menyakiti Simon dan Tim?"
"Itu ide mereka." Zander memutar bola mata. "Persaudaraan kami tak serapuh yang kau bayangkan." Ia kembali menyendok sisa kue terakhir dan melahapnya. "Kau punya makanan lain? Aku masih lapar. Aku tak ingin memakanmu lagi saat ini. Kau sudah terlihat sangat lelah."
Aku memandanginya antara gemas dan jengkel. Rasanya ingin menangis sambil tertawa dan memukulinya sekuat tenaga. Namun, yang kulakukan malah sebaliknya.
Kuturunkan kaki dari ranjang. "Aku akan buatkan ayam goreng untukmu."
Wajah Zander seketika berseri bak bocah yang dijanjikan akan mendapat permen kesukaannya. "Kau sudah bisa membuatnya sendiri?" Ia membuntutiku dari belakang.
Aku segera mengeluarkan ayam dan mengambil semua bahan yang kuperlukan sesuai petunjuk Lucy sebelumnya. "Aku belajar dengan baik di sini."
Dia hanya ber-oh ria sambil duduk di meja makan. Matanya berbinar saat melihatku memakai celemek.
"Kau bahkan terlihat menawan saat memakai celemek. Kecantikanmu mengingatkanku pada seseorang."
Dahiku berkeruti. "Siapa? Rose?" Aku mendengkus kemudian.
"Calon ibu dari anakku. Kalea Jones."
Jantungku berdetak kencang seketika saat mendengar itu. Apa maksudnya?
"Menikahlah denganku, Lea."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro