CHAPTER 30
Luciana benar. Suasana sekitar kabinnya terlihat indah di bawah cahaya lampu-lampu yang menyinari kawasan itu dari kejauhan. Letaknya tak jauh dari tepi danau, di kepung pepohonan. Semakin dekat, tempat itu tampak makin menawan di kegelapan malam.
Pantas Luciana sangat menyukai rumah danau milik Simon. Kabin Ethan terlihat paling ujung dan memencil sendiri. Sekitar beberapa ratus meter jaraknya dari kabin-kabin sewaan yang tersedia lengkap dengan toko-toko dan restoran. Tak jauh dari jalan utama dan hanya butuh beberapa menit untuk berjalan ke sana.
Luciana memarkirkan mobil di tempat parkir. Begitu kami turun dan mengambil tas pakaian di bagasi, seorang lelaki berjanggut kelabu datang menyambut.
"Nona Fox, selamat datang! Kabin telah siap dan sudah dibersihkan oleh putraku, Kevin, begitu Anda memberitahu akan kemari malam ini."
"Istriku, Lucy, telah menyiapkan makanan kecil dan minuman untuk menyambutmu. Toko-toko dan Restoran sudah tutup."
Luciana menyambut uluran tangan lelaki setengah baya itu dan menyalaminya. "Terima kasih, Tuan Nelson. Kenalkan, ini sahabatku, Kalea Jones. Dia yang akan mendiami kabin ini mulai dari sekarang."
"Oh, senang bertemu denganmu, Nona Jones." Ia ganti menjabat tanganku kemudian. "Aku Matt Nelson, Kau boleh memanggilku Matt atau Tuan Nelson. Bebas. Aku penanggung jawab atas semua kabin-kabin di sini. Letak kabinmu agak sedikit memencil dari yang lain. Kuharap kau akan menyukainya dan betah selama di sini."
Aku tersenyum, mengangguk sopan sambil bersalaman dengannya. "Tentu. Aku rasa aku akan betah di sini."
"Mari, aku antarkan kalian ke sana."
Kami segera mengikuti lelaki itu. Ternyata kabin itu ternyata terletak tepat di tepi danau, tersembunyi di antara kepungan pinus dan pohon-pohon lain. Pantas saja jika Ethan dan kekasihnya menyukai tempat ini dan memutuskan membelinya.
"Luar biasa, bukan?" bisik Luciana.
Aku mengangguk dan memberinya senyuman lebar. "Sangat. Tempat persembunyian yang sempurna."
"Aku sudah menjelaskan pada Tuan Nelson soal situasimu. Jadi, kau tenang saja. Ia sekeluarga akan melindungi dan menjaga privasimu di sini."
Kepalaku mengangguk lagi. Aku merasa sebuah ketenangan dan kedamaian di sana. Suara yang terdengar hanya bunyi air yang menghantam tepi danau.
Angin memainkan rambut dan gaunku. Daun-daun pepohonan terlihat bergoyang lembut. Setelah beberapa menit berjalan kaki, kami pun tiba di depan kabin.
Ada area tempat duduk di bagian depan, lengkap dengan perapian kayu yang menghadap ke danau. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Selain pemandangan danau, yang terlihat hanya pepohonan di sekitar. Kabin-kabin lain tak tampak dari situ.
Ini benar-benar tersembunyi dan terpencil. Aku tersenyum puas.
"Baiklah. Nona Fox. Ini kuncinya, saya kembalikan. Aku menjamin sahabat Anda akan aman di sini."
Luciana meraih kunci dari uluran tangan lelaki itu. "Terima kasih, Tuan Nelson. Tunggu sebentar, aku ingin melanjutkan sedikit soal pembicaraan kita sebelumnya." Ia menatapku kemudian sambil mengulurkan kunci dan tas bawaan. "Kau masuk saja lebih dulu. Aku harus bicara sesuatu dengan Tuan Nelson."
Aku mengangguk sambil meraih keduanya dari tangan Luciana. Kupegang kunci sambil menenteng dua tas berisi pakaian yang sebagian besar milik sahabatku itu serta beberapa perlengkapan kebutuhan sehari-hari. Kami memang telah membeli beberapa barang keperluan saat dalam perjalanan menuju Lake Placid.
Saat berangkat ke Woodstock, aku tak membawa banyak pakaian. Karena awalnya hanya berniat datang untuk menghadiri pemakaman saja. Tak terpikir akan lanjut menginap di rumah danau Simon.
Karena itu, Mom pasti akan meneleponku besok pagi dan kemungkinan besar akan menyuruh pulang. Aku bahkan tak membawa kartunya. Hanya ada kartu identitas dan sedikit uang tunai dari Dad di dompetku, ditambah kini beberapa ratus dolar, pemberian Luciana. Nomor ponsel bahkan telah kuganti saat kami berhenti dan sekalian membeli beberapa perlengkapan yang akan kuperlukan.
Aku membuka kabin dengan kunci, mencabutnya kembali, lalu masuk ke dalam. Kututup kembali pintu dengan rapat dan menaruh kuncinya lagi di lubang.
Mulutku sedikit membuka saat melihat pemandangan di dalam. Suasana bernuansa klasik, bernuansa cokelat dengan kayu-kayu mendominasi. Ruangan diisi dengan berbagai perabotan serta beberapa dekorasi buatan tangan. Itu terlihat sangat artistik dan unik. Sofa-sofa tampak sangat nyaman dengan perapian berbahan batu di dekatnya.
Langkahku segera menuju bagian atas, area kamar. Ada tempat tidur bulu besar, yang sepertinya diukir dengan tangan, tampak sangat empuk dan nyaman. Ranjang itu dinaungi dan diberi hiasan pembatas dari cabang-cabang seolah siapa pun akan merasa tidur di tengah hutan.
Ada juga balkon tertutup dengan yang cukup luas dengan jendela kaca geser dan tempat tidur ayun ukuran queen. Sepertinya sangat nyaman saat menikmati angin sejuk sambil tidur siang di sana.
Aku menaruh kedua tas pakaian di ranjang. Kulangkahkan kaki lagi, mengecek bagian kamar mandi. Ada bak rendam, bilik shower, dan ruang ganti terpisah.
Kuputuskan melihat-lihat ruangan lain kemudian. Di bagian dapur terlihat lengkap dengan oven dan lemari pendingin. Di sebelahnya ada ruang makan, berisi meja kayu bulat serta dua kursi. Sebagian jendela di kabin itu memiliki kaca besar yang permanen beserta tirai. Sisanya berukuran agak lebih kecil dan bisa dibuka kapan pun mau untuk membiarkan udara sejuk dari danau masuk.
Aku serasa menemukan surgaku sendiri di sini. Tak ada ocehan atau aturan ketat Mom, juga tidak perlu kudengar lagi larangan Dad jika aku ingin menghabiskan waktu sepuasnya di dapur.
Tidak perlu ada ketakutan apa pun lagi di hidupku. Aku bahkan bisa menjauh dari Zander meski masih bisa kurasakan kerinduan terhadapnya.
Namun, ini harus menjadi awal baru untuk kami berdua. Aku di sini, lalu biarkan dia dengan kehidupannya di sana.
Kuhirup udara kebebasan yang aku rasakan saat ini. Senyum pun mengembang lebar di bibir kini. Mulai sekarang, tak ada yang bisa mengontrolku lagi.
Aku bebas.
***
"Aku sudah menyimpan beberapa nomor penting di kontak barumu. Aku menyimpan namamu dengan kode, agar tak ada yang tahu itu adalah kau. Di kontakmu, namaku tersimpan Hera. Di kontakku, kau kuberi nama Nemesis."
Aku tertawa geli saat mendengar kode nama itu dari Luciana. Namun, kubiarkan ia terus melanjutkan bicaranya.
"Lalu nomor milik Tuan Nelson sekeluarga. Kau bisa menghubungi salah satu dari mereka bertiga jika butuh sesuatu, apa pun. Usahakan tak terlalu sering keluar pada siang hari, mencegah bila ada yang mengenalimu nanti."
Aku hanya mengangguk patuh sambil menaruh dan merapikan pakaian di ruang ganti. Luciana turut membantu kemudian.
"Kau masih bisa memakai celana-celana jinku sementara ini, tetapi saat perutmu mulai membesar, kau pasti butuh busana hamil. Kita akan berbelanja itu nanti. Aku sudah jelaskan soal kondisimu pada Tuan Nelson, istri, dan putranya. Mereka mengerti."
"Hmm, baguslah, aku malas bila harus menjelaskan jika mereka bertanya-tanya soal kehamilanku."
"Mereka tak akan mengganggumu soal itu. Dijamin. Aku hanya memberitahu mereka agar bisa membantu dan menjagamu. Itu saja. Oh ya, soal uang. Aku akan mengirimimu diam-diam nanti.
"Aku mungkin tak akan bisa sering kemari, mencegah yang lain tahu atau mengikutiku ke sini. Kita akan tetap berkomunikasi melalui ponsel. Ingat, hanya jika darurat atau sangat penting. Kau paham, bukan?"
"Ya, aku tahu."
"Lea, kau yakin akan baik-baik saja di sini tanpa aku?" Ia menatap cemas kemudian.
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Ya. Tenang saja. Aku bisa mengobrol dengan Tuan Nelson dan keluarganya, bukan? Jangan cemas."
Luciana mengangguk puas. Ia teringat sesuatu kemudian. "Oh, hampir lupa. Aku cerita soal kau mungkin akan butuh pekerjaan yang berdurasi cepat seperti memberi kelas privat.
"Aku katakan juga pada mereka, kau mahir memainkan violin. Namun, Kevin bilang, ia punya teman sekolah yang sedang butuh guru piano. Aku ingat kau pernah cerita sering bermain itu dulu saat kecil dengan mamamu sebelum kau memutuskan belajar violin. Kau mau?"
"Tentu. Tak ada masalah."
"Itu bagus! Kau bisa menanyakannya langsung besok pada Kevin. Ia anak yang baik. Tuan Nelson sudah sangat lama menginginkan anak, tetapi istrinya mandul. Ia tak mau mencari wanita lain.
"Kemudian mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang anak. Setelah berusaha mencari yang cocok selama bertahun-tahun, mereka menemukan Kevin. Menurut cerita Tuan Nelson, Kevin dibuang begitu saja sejak lahir di sebuah panti asuhan, lalu mereka pun mengadopsinya."
Aku merenung saat mendengar itu. Entah kenapa ada perasaan sedih sekaligus senang terhadap mereka. Sepasang suami istri yang sulit memiliki anak kandung sendiri, tetapi akhirnya bertemu dengan putra orang lain yang dibuang oleh orang tua kandungnya.
Sungguh malang, tetapi untunglah takdir berkata baik. Mereka berakhir dengan saling memiliki sesuatu yang membahagiakan. Aku tak akan melakukan kesalahan seperti ibu kandungnya Kevin.
"Baiklah. Aku akan bicara sekalian memperkenalkan diri dengan istri Tuan Nelson dan Kevin."
"Kau makan saja jika lapar. Nyonya Nelson telah menyediakannya untukmu di lemari makan. Aku sudah memintanya untuk mengantarkan makanan untukmu.
"Jika mau, kau pun bisa belajar memasak dan berbelanja sendiri. Yang terdekat sini hanya ada toko suvenir dan oleh-oleh, tetapi ada restoran bila kau mau makan di luar atau beli untuk kaubawa pulang.
"Minimarket pun ada walau agak sedikit jauh dari sini. Kau bisa menggunakan sepeda milik Nicko. Itu ada di samping kabin. Kevin bilang ia merawatnya dengan baik sejak aku memberikan sepeda milik Ethan padanya."
Aku mengangguk puas sambil menatap pakaian yang kini telah terlipat rapi di ruang ganti. "Aku suka ide-ide itu."
Luciana ikut tersenyum riang. "Baiklah, aku harus pulang sekarang sebelum Simon terbangun dan menyadari aku dan mobilnya telah hilang."
Kami tertawa bersama membayangkan betapa paniknya lelaki itu jika terbangun sebelum Luciana kembali. Aku memeluknya beberapa lama.
"Terima kasih atas semuanya, Lulu. Aku berutang banyak padamu."
"Hei, kau saudariku. Jangan bersikap formal padaku, Lea. Kau tahu aku menyayangimu."
Kami sama-sama merenggangkan pelukan kemudian. Ia menatapku lama.
"Jaga dirimu baik-baik. Aku akan meneleponmu setiap ada kesempatan, oke?"
"Oke. Jaga dirimu juga."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro