CHAPTER 29
Aku melihat Luciana dan Simon tengah berdiri di ujung tangga. Mereka kompak memberiku tatapan kikuk dan canggung.
Tim pun ada di sana, di dekat mereka. Ia menatapku sambil menggigit garpunya.
"Aku sudah berusaha mencegah mereka naik, tetapi siapa yang akan menuruti bocah seperti aku, bukan?" celetuknya kemudian dengan suara tak begitu jelas.
Ia melepas garpu dari gigitannya kemudian. "Pertengkaranmu dengan Z terdengar keras sekali, Lea. Kau tahu, itu tak bagus untuk anak kecil polos seperti aku."
Dia menatap perutku kemudian. "Jadi, kau hamil anak Z? Itu bagus! Aku akan punya adik lebih cepat daripada menunggu papaku dan Lulu memberikannya untukku." Tim mengerjapkan mata kemudian seraya memasang wajah polos.
Wajahku memanas. Aku memutuskan berlalu tanpa merespons ucapan bocah itu.
"Lea."
Aku menoleh. Mau apa lagi bocah itu? Dia tak paham saat ini diriku sedang tak ingin mengobrol dengannya?
"Apa?" tanyaku agak sedikit datar.
"Jangan membuang bayimu. Z sangat menyukai anak kecil. Ia pasti akan jadi ayah yang hebat," ujar Tim sebelum kembali menggigit garpu.
Aku menatap bocah itu seraya membuka dan menutup mulut, tanpa sanggup berkata apa-apa. Kepalaku menoleh cepat ke Luciana dan Simon yang sontak kompak mengalihkan tatapan ke arah lain. Kubalikkan tubuh kembali, lalu melangkah pergi menuju pintu.
"Aku butuh mencari udara segar," ucapku pelan, lalu membuka pintu, dan menutupnya kembali.
***
Kakiku melangkah perlahan menyusuri pinggiran danau. Udara musim panas meniup semilir. Terlihat pantulan cahaya bulan di atas permukaan air yang tenang.
Angin mengibarkan rambut dan gaun selututku. Aku mencoba memutar kembali memori tentang semua yang terjadi di antara aku, Zane, dan Zander.
Kejadian pertengkaran dengan Zander pun seakan ikut terlintas kembali. Benarkah yang kulakukan tadi padanya? Apa dia terluka oleh kata-kataku?
Tanganku menyentuh perut, mengusap lembut. Sesungguhnya aku tak pernah ingin membunuh bayi ini. Namun, entah kenapa bisa kuucapkan kata-kata sekejam itu pada Zander.
Aku mendesah. Benarkah itu karena kebencianku padanya? Atau sebenarnya yang kukatakan itu karena rasa bersalah pada Zane?
Seolah-olah, itu adalah caraku untuk menghukum Zander dan diri sendiri. Semua kekacauan terjadi karena kesalahan kami.
Luciana benar. Zander tak sepenuhnya salah. Aku pun turut menjadi seorang pendosa. Yang kulakukan juga buruk dan hina, tak ada bedanya dengan dia.
Kudengar suara langkah kaki dari arah belakang. Aku menoleh cepat, mengira itu adalah Zander. Namun, perkiraanku ternyata salah.
Luciana melambaikan tangan seraya menghampiri. "Hei! Aku tahu kau ingin sendiri. Namun, maaf, aku tak bisa membiarkanmu sendirian saat ini."
Aku menghela napas. "Ya, aku tahu, kau hanya peduli denganku."
Luciana berdiri di sampingku kini. Rambutnya pun ikut berkibar dipermainkan angin. Ia memasukkan kedua tangan ke saku jin.
"Lea, kalau boleh kukatakan, ucapanmu tadi pada Zander, tentang bayinya, menurutku itu sangat kejam. Meski begitu, aku percaya, kau tak bersungguh-sungguh saat mengucapkannya, bukan? Aku tahu kau. Kau tak akan membunuh bayimu."
"Aku takut, Lulu. Bagaimana jika Mom dan Dad tak menerima bayi ini dan juga Zander? Lagi pula, Zander saja masih belum bisa menjaga dan melindungi dirinya sendiri dari Nyonya Black. Apa mungkin dia bisa bertanggung jawab atas hidupku dan bayi ini kelak?"
"Jangan mencemaskan hal yang belum tentu terjadi, Lea."
"Aku hanya bersiap untuk kemungkinan terburuk, jika Mom dan Dad tak mau menerima kenyataan soal bayiku dan Zander, lalu mereka mengusirku, aku harus bagaimana?"
"Aku percaya Nyonya dan Tuan Zack tak akan membiarkanmu menghadapi masalah sendirian. Mereka pasti akan berbuat yang terbaik demi cucu dan putra mereka yang tersisa."
Aku tercenung. "Bagaimana jika mereka pun marah, kecewa, menganggap aku wanita hina yang mengkhianati putra mereka yang telah tiada? Bagaimana jika mereka mengira akulah yang menjadi penyebab atas kecelakaan Zane?"
"Bagaimana bisa kau berpikir sejauh itu, Lea?"
Aku mendesah. "Bisa saja, bukan? Apalagi kalimat terakhir Zane adalah ingin membicarakan sesuatu dengan Tuan Nathan. Bagaimana jika dia menebak itu adalah tentang pengkhianatanku dengan Zander?
"Zane adalah putra kesayangannya, Lulu. Dia kebanggaan dan andalan keluarga. Bila Tuan Nathan dan semua kerabatnya menduga akulah penyebab tewasnya Zane, menurutmu, apakah mereka masih akan bersikap baik kepadaku?"
"Lalu apa yang akan kau lakukan, Lea? Menggugurkan kandunganmu? Membunuh dan membuang bayi itu? Bagaimana dengan Z? Dia pasti tidak akan menerima hal itu. Kau tahu bagaimana sifatnya. Ia pasti tak akan membiarkanmu melakukannya."
Aku merenung beberapa saat. Mataku memandangi bagian permukaan danau yang terkena cahaya lampu. Sebuah sampan yang tertambat di ujung jembatan penghubung bergoyang pelan.
"Hanya satu jalan terbaik yang terpikir olehku agar orang tuaku, Tuan Nathan, Betty, serta seluruh kerabat mereka tak perlu tahu soal kehamilanku."
"Apa itu?"
"Pergi dan bersembunyi di suatu tempat di mana tak ada seorang pun yang mengenalku, sampai aku melahirkan bayiku."
"Kau gila!" Luciana melebarkan mata dalam remang. "Lalu bagaimana dengan Zander? Kau yakin akan meninggalkannya?"
Mataku mengerjap. "Zane tak mendapatkan kebahagiaan yang ia inginkan, hingga akhir hayatnya, maka Zander dan aku pun tak berhak hidup bahagia bersama."
Aku bergegas melangkah untuk kembali ke dalam rumah. Luciana mengejar dan berusaha menahanku.
"Tunggu dulu, Lea. Biarkan aku berpikir sejenak! Aku mungkin akan menemukan solusi yang lebih baik!"
"Harus secepatnya, Lulu! Aku sungguh tak bisa menghadapi Zander saat-saat ini! Malam ini, aku harus mulai menjalankan rencana ini sebelum Mom menelepon dan menyuruh pulang!
"Aku tak mau ia tahu nanti soal menstruasiku yang kusembunyikan. Lebih baik aku segera menghilang. Ini saat yang tepat. Biarkan semua orang berpikir bahwa aku pergi karena kesedihan yang sangat dalam atas meninggalnya Zane."
"Kau tak bisa pergi begitu saja, Lea! Pertama, kau tak punya cukup uang untuk bertahan hidup sendirian selama mengandung. Kedua, kau belum punya tujuan akan pergi ke mana. Ketiga, bagaimana caramu pergi? Memangnya kau punya uang berapa saat ini?"
Aku mengerang frustrasi. Luciana benar. Yang kupunya hanya kartu milik Mom dan sudah pasti tak bisa kugunakan jika tak ingin terlacak.
Uang tunai. Itu yang aku perlukan.
"Kau punya uang berapa? Pinjamkan padaku dulu."
"Kita bicarakan di kamar saja. Aku punya ide."
Luciana menarik lenganku kini, melangkah kembali menuju rumah. Kami langsung naik ke tangga, melewati Simon dan Tim yang tengah menonton televisi.
"Di mana Z?" tanya Luciana yang menghentikan langkah tiba-tiba.
"Di kamarnya. Ia masih belum keluar sejak tadi," sahut Simon sambil menoleh.
"Z pasti sedih memikirkan bayinya," celetuk Tim tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang tengah menayangkan acara film keluarga.
"Simon, apa Tim sudah belajar malam ini?" Luciana memandangi Simon sambil menaruh tangan kanannya ke pinggang.
Tim mengerang. Ia menoleh akhirnya ke arah Luciana. "Oh, ayolah, Lulu. Teman-temanku tak ada yang punya tugas pelajaran sebanyak aku saat liburan musim panas."
Simon mengerjapkan mata saat mendapat tatapan tajam dari Luciana. Ia mendesah kemudian. "Uh, baiklah. Ayo, Nak. Waktunya belajar atau adik yang kau harapkan dariku dan Lulu akan semakin tertunda lebih lama."
Simon mengedipkan mata ke arah Luciana. Ia segera mematikan televisi, lalu menarik lengan Tim untuk pergi ke kamar yang bersebelahan dengannya, tak jauh dari ruang tamu. Bocah itu terdengar masih menggerutu.
Luciana segera menarikku kembali, melangkah cepat menuju tangga, mengarah ke kamar yang kami tempati. Begitu tiba di dalam, ia segera menguncinya.
"Dengar," ujarnya setengah berbisik, "aku tahu tempat terbaik yang bisa kau tinggali selama kehamilan, hingga kau melahirkan."
"Di mana?" sambarku cepat.
"Di rumah pamanku, Ethan."
Mataku membeliak. "Apa? Tidak mungkin! Dia pasti akan melaporkanku pada Mom!"
Luciana menggeleng. "Bukan rumahnya yang di NYC, maksudku, itu kabin atau pondok yang dulu dibeli untuk kekasih gaynya, Nicko. Ia awalnya ingin menghadiahkannya sebagai kejutan karena Nicko sangat menyukai kabin itu. Namun, kemudian mereka putus saat Nicko memilih bersama lelaki lain. Ethan tak mau lagi ke sana.
"Kabin itu kemudian disewakan. Ada Tuan Nelson beserta istri dan putra mereka dulu yang digaji oleh Ethan untuk menjaga dan merawat kabinnya itu. Mereka sekeluarga memang tinggal tak jauh dari sana dan merupakan pemilik kabin-kabin sewaan di sana. Kabin Ethan dibeli dari mereka.
"Kabin Ethan cukup terpencil dari kabin-kabin lain. Jadi, kau bisa memiliki privasi sendiri di sana. Letaknya ada di tengah hutan, tetapi tak terlalu jauh dari jalan utama, toko-toko, dan restoran yang memang tersedia untuk kenyamanan para penyewa. Aku punya kuncinya."
"Huh? Bagaimana kuncinya bisa ada padamu?"
"Ethan memintaku untuk menjual kabin itu karena tak mau melihatnya lagi. Ia memberikan kuncinya padaku. Aku sudah menyukai kabin itu saat pertama kali melihat foto dan videonya yang diperlihatkan oleh Ethan. Ketika aku ke sana, aku semakin jatuh cinta melihat suasananya. Kau akan tahu alasannya kenapa aku menyukai rumah danau Simon ini."
"Aku tak ingin menjualnya. Jadi, aku bilang aku saja yang membelinya. Aku akan mencicil saat aku bekerja nanti setelah lulus. Kau tahu, Paman Ethan sayang padaku. Ia bilang, aku boleh memakai kabinnya jika mau. Dia hanya tak mau mengingat mantannya saat melihat rumah itu."
Mataku berbinar. "Kau tak pernah cerita soal itu."
"Hei, aku berencana akan menyombongkannya kelak padamu bahwa itu rumah hasil tabunganku." Ia tertawa kecil saat melihatku tersenyum geli. "Kurasa, masalahmu lebih penting saat ini dibandingkan memamerkan kebohonganku, bukan?"
"Bagaimana aku bisa hidup tanpamu, Lulu?"
Luciana mengembangkan senyuman lebar di bibirnya. "Kau tak akan pernah kubiarkan menghadapi masalah sendirian, Lea."
Mataku berkaca-kaca. "Kau memang saudari terbaik yang aku miliki." Aku segera memeluknya erat penuh haru.
"Aku tahu." Luciana balas memelukku.
"Jadi, di mana itu?" tanyaku kemudian setelah melepaskan pelukan.
"Di Lake Placid. Sekitar tiga jam dari sini dengan mobil. Aku akan mengantarmu ke sana. Kita berangkat saat semua orang tidur."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro