Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 26

Aku datang ke Woodstock malam itu juga, tetapi kali ini bersama Mom dan Dad, menginap di hotel Tuan Nathan. Paginya, kami menghadiri pemakaman Zane.

Bisa kurasakan saat seluruh yang hadir, memberi tatapan simpati selama proses berlangsung. Betty memeluk Mom seraya tersedu-sedu, sementara Tuan Nathan tengah terisak di samping Dad yang merangkulnya erat.

Aku merasakan dalam diam saat tangan Luciana yang berdiri di samping mengelus-elus punggungku dalam isak tertahan. Kutegarkan diri untuk tidak menangis meratap meski air mata terus bercucuran.

Bagaimana dengan bayiku? Haruskah aku memberitahu Zander dan menikahinya? Kukira takdir akan berbeda saat kuhabiskan waktu lebih banyak nanti bersama Zane. Namun, nyatanya tidak.

Zane tidak kehilanganku. Akulah yang justru kehilangan dia. Di saat aku berniat ingin memberinya kesempatan lebih banyak untuk bersama, kini ia malah seakan telah direnggut begitu saja.

Hidup kadang sangat lucu, bukan? Saat kita tak menginginkan, sesuatu malah datang begitu saja. Ketika kita bahagia, mengira sudah mendapatkan apa yang dianggap berharga, hal buruk justru terjadi.

Kulihat Zander meraung saat peti diturunkan. Butuh Simon, Sam, dan Tim, yang bersatu untuk memeluk dan menenangkannya saat ia mengamuk, memberontak hebat dalam tangis penuh sesal. Aku tak kuasa melihat pemandangan itu. Hatiku pun sangat sakit, hancur, pikiran berbaur antara marah serta rasa penyesalan.

Aku teringat saat terakhir bersama Zane. Ingatan kenangan tentang pengalaman bercinta kami untuk pertama kali, lalu semua kata-kata yang terucap saat itu. Tangisku pun meledak seketika.

Zane bahkan tak sempat mengetahui perasaanku yang sebenarnya mulai menyukainya. Aku berniat ingin memperbaiki semua, berharap itu dapat membenahi hubungan kami bertiga.

Aku dan Zane sebagai pasangan resmi. Ia dan Zander bisa membaik dalam hubungan persaudaraan kembali.

Zander dan aku pun akan bisa saling menghargai dalam hubungan baru sebagai ipar. Seharusnya begitu.

Namun, takdir kejam telah menghancurkan rencanaku. Kini yang kurasakan hanya rasa penyesalan dan kemarahan, terutama pada diriku sendiri.

Apa Zander bahagia jika tahu soal Zane yang telah berusaha menutupi semua perbuatannya? Bisakah dia melanjutkan tanggung jawab yang memang seharusnya ia pikul?

***

"Zane sedang meneleponku saat itu. Ia bilang telah membeli ponsel baru. Ponsel lamanya rusak karena terjatuh. Dia berkata ada yang ingin dibicarakan denganku nanti setelah ia tiba di hotel. Usai ia bicara itu, aku mendengar suara ban berdecit, benturan kuat, lalu teriakan Zane menyebutkan nama Lea."

Air mataku kembali tumpah. Aku menenggelamkan diri dalam tangisan di pelukan Betty. Kami telah berkumpul di rumah peternakan kini, bersama Mom, Dad, dan Luciana.

Simon, Tim, serta Sam memutuskan ikut tinggal lebih lama di situ, menemani Zander yang hanya diam membisu kini. Para kerabat, teman atau kenalan Zane, pegawai hotel, juga beberapa tetangga terdekat yang datang ke pemakaman, telah berpamitan pada Betty dan Tuan Nathan sebelum pergi.

"Aku terus memanggil-manggilnya, tak ada sahutan," lanjut Tuan Nathan dengan suara serak. "Kudengar kemudian seseorang mengambil ponsel dan menjawab panggilanku. Ia seorang pengemudi yang berada tak jauh dari lokasi kejadian.

"Dia menjelaskan singkat apa yang terjadi dan kondisi Zane saat itu. Aku ke rumah sakit yang disebutkan petugas yang datang kemudian mengambil alih. Setelah itu, aku meneleponmu."

Tuan Nathan mengusap wajahnya dengan tangan. Dad menghela napas usai mendengar cerita detail darinya. Kurasakan pandangan hampir semua orang saat ini tertuju padaku.

"Lea yang malang. Tak kusangka, pertunangan antara Zane dan kau harus berakhir begitu tragis." Suara Betty bergetar seraya membelai-belai rambutku.

Aku tak ingin memandang ke arah Zander saat ini meski menyadari tatapannya melalui ekor mata. Kueratkan pelukan sekaligus menyembunyikan wajah dan tangisku ke pangkuan Betty.

"Sudahlah, Lea. Kau sebaiknya istirahat saja dulu di kamar. Lulu, antar dan temani dia." Kudengar suara Mom lirih kemudian. "Nyonya Zack, kau juga perlu istirahat. Biar aku yang mengurus makan siang."

Aku mengangkat wajahku dari pangkuan Betty, lalu berjalan bersama Luciana menuju tangga. Tak ada kata apa pun dari mulutku. Rasanya terlalu lelah untuk mengatakan sesuatu.

Luciana memapahku melangkah memasuki kamar yang sebelumnya kami tempati. Ia pun belum mengatakan apa pun sejak tadi.

Ia membiarkan aku merebahkan diri ke ranjang. Dia duduk di tepi sambil memegangi tanganku erat.

"Lea, kau harus kuat. Ingat, kau tak sendiri saat ini. Apa kau sudah makan tadi pagi? Kau mau makan sesuatu sekarang?"

Aku menggeleng lemah. "Aku belum ingin makan. Aku hanya ingin tidur." Suaraku hampir tak terdengar dan seperti seorang yang tengah flu berat.

Luciana menatapku sendu. "Baiklah. Tidurlah dulu. Mungkin itu akan membuatmu lebih baik nanti. Aku akan menemanimu di sini."

Kupejamkan mata, mengatur napas di sela isak yang tersisa. Aku tak ingin memikirkan apa pun sekarang ini. Harapanku hanya satu, waktu akan cepat berlalu.

***

"Kau yakin mau tetap tinggal bersama Lulu?" tanya Mom untuk ke sekian kali saat berpamitan pulang pada sore hari, kembali ke NYC bersama Dad.

Aku mengangguk. "Kami akan pulang bersama saat liburan musim panas berakhir."

Mom menghela napas dan menganggukkan kepala. "Baiklah. Kabari Mom dan Dad setiap waktu. Jangan lupa itu."

"Ya," jawabku singkat seraya memeluknya beberapa saat.

Setelah itu ia dan Dad pamit pada Tuan Nathan serta Betty. Mereka pun sempat memberi pelukan pada Zander yang juga ikut mengantar. Kedua orang tuaku masuk ke mobil, lalu mulai melaju perlahan, hingga menghilang dari pandangan.

Tuan Nathan pamit pada istrinya itu untuk kembali ke hotel. Di saat bersamaan, Zander pergi kemudian bersama Sam dan Simon ke arah kandang kuda.

Betty menoleh ke arahku dan Luciana yang tengah berdiri bersama Tim. "Aku harus melakukan sesuatu, memasak, atau apa pun itu untuk menyibukkan diriku. Kalian akan makan malam di sini?"

"Tidak.. Aku berencana ikut Lulu dan menginap di rumah danau bersamanya dan Simon," jawabku setengah tak enak hati karena harus meninggalkannya di saat ini.

Aku tak bisa tinggal di sini lagi demi menghindari Zander. Pikiranku sangat kacau dan ada dugaan buruk tentangnya yang terkait dengan kecelakaan Zane.

Luciana belum tahu apa yang tengah kupikirkan. Aku berniat memberitahunya nanti saat kami kembali ke rumah danau.

"Lea, kau bisa tetap menganggapku sebagai keluarga meski tak berjodoh dengan mendiang putraku. Kau boleh ikut Lulu sekarang. Namun, kuharap kau pun masih bersedia datang lagi ke sini kapan saja kau mau, Lea. Bagiku, kau tetap bagian dari keluarga kami," ucap Betty lirih.

Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih. Tentu, bagiku kalian tetap keluarga."

Wanita itu pun memelukku sebelum berlalu memasuki rumah. Aku, Luciana, dan Tim masih harus menunggu Simon yang masih bersama Zander serta Sam.

Entah apa yang sedang dibicarakan ketiga lelaki itu saat ini. Sesuatu yang rahasia? Apa ada hubungannya dengan kecelakaan Zane?

Aku menduga The Wild atau Nyonya Black terlibat dengan hal ini. Kemungkinan lain penyebab kecelakaan adalah ulah Zander, mengingat kemarahan dan mungkin kebencian lelaki itu pada Zane. Itu dugaan terbesarku.

Tak lama Simon terlihat kembali bersama Sam. Zander berjalan di belakang mereka, lalu langsung masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa pun. Ia bahkan tak melirik ke arahku.

Sam menghampiriku, menatap penuh kesedihan. "Lea, sekali lagi, aku turut berduka. Aku pamit dulu. Kuharap kita bisa bertemu lagi lain waktu."

Aku mengangguk. "Terima kasih, Sam. Sampai jumpa lagi."

Lelaki bertato yang cukup berumur itu pun pergi dengan mengendarai motor besarnya. Tinggallah aku, Luciana, Simon, dan Tim.

"Ayo, kita kembali ke rumah danau," ajak Luciana.

"Tunggu dulu," sahut Simon.

"Kau masih menunggu siapa?" tanya Luciana lagi.

"Z!" seru Tim. Ia menunjuk ke arah belakangku. "Z! Kau jadi ikut kami?"

"Ya."

Aku menatap Luciana dan Simon bergantian. Jantungku berdegup kencang tak beraturan.

Apa maksudnya? Untuk apa ia ikut bersama kami?

"Z ingin ikut menenangkan diri di rumah danau," ucap Simon lirih.

Luciana hampir memelototinya. Lelaki itu hanya mengalihkan pandangan ke arahku, menatap penuh sesal.

"Tim, kau bersamaku di belakang." Kudengar suara Zander saat melewatiku begitu saja, menarik lengan Tim yang tentu saja kegirangan mengikutinya.

Luciana sontak memandangiku bingung. Simon mendesah, menatap kami bergantian.

"Naik saja ke mobil. Lulu, kau mau di depan atau belakang?" tanyanya lirih hampir seperti bisikan.

Aku tak mungkin memisahkan mereka, bukan? "Baiklah. Aku di belakang saja."

Tanpa menghiraukan panggilan Luciana, aku melangkah lebih dulu ke mobil. Yang akan terjadi, terjadilah. Aku bersumpah, akan bersiap-siap, bahkan bila harus, melawan Zander dengan cara apa pun.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro