Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 24

"Kenapa kau harus menyamar menjadi Zane?" tanyaku sambil menatap Zander yang tengah sibuk melahap ayam goreng.

Itu sebenarnya makan siang yang telah disiapkan Mom tadi pagi. Tadinya niatku ingin memasak sesuatu untuk Zander, tetapi dia tak mengizinkan aku mempraktikkan kemampuan baru di dapur. Ia takut kejadian daging panggang gosong terulang.

Sepertinya Betty telah menceritakan soal insiden hasil pembelajaranku saat ia pergi. Zander bahkan terlalu malas untuk memasak saat ini.

Untunglah Mom membuatkan ayam goreng cukup untuk disantap dua orang. Karena, biasanya Zane akan datang dan makan siang bersamaku di rumah. Namun, ia tak memberi kabar apa pun hari ini.

"Maaf, tapi memangnya kau akan membukakan pintu kalau melihat yang datang adalah aku sebagai ... aku?"

Ia bertanya balik sambil menelan kunyahan, lalu mengambil sekaleng bir dingin yang kusediakan di meja. Dia menatapku murung kemudian. "Kau tidak makan? Kau sedang hamil. Jangan memaksa calon bayi untuk diet."

Aku memutar bola mata. "Aku masih kenyang. Tadi pagi Mom membuatkanku burrito."

"Ini aneh," ujarnya sambil kembali meraih ayam goreng kedua.

"Soal apa?"

"Papamu. Memangnya ia tak ingin kau mewarisi restorannya kelak?"

Aku tersenyum. "Awalnya dia berharap aku akan mendapatkan pasangan yang bisa diandalkan untuk mengambil alih usaha restoran nantinya. Dia tak mau aku susah karena mengurus restoran itu tak mudah."

"Pantas dia sangat semangat soal perjodohanmu dengan Zane. Kakakku itu sangat paham soal bisnis. Tapi, papamu salah. Zane tak tahu apa-apa soal memasak."

"Tapi dia tahu soal makanan enak dari berbagai negara dan bagaimana mengurus sebuah usaha."

Apa aku terdengar seakan membela Zane sekarang? Kulihat Zander menatap tak senang. Namun, ia sepertinya tak mau membuat masalah denganku saat ini.

"Maaf jika kau pikir aku kurang dalam hal itu, tapi aku bisa mengurus peternakan. Sapi-sapi mamaku sangat sehat. Kudaku cantik dan bisa diandalkan jika kuikutkan lomba pacuan kuda. Aku bisa mengurus dapur, rumah, peralatan atau mesin yang rusak, bahkan mamaku yang cerewet.

"Papaku malah tak bisa bertahan lama mendengarkan mamaku bicara. Zane ... dia terlalu berusaha kadang untuk menjilatnya, tetapi semua orang tahu, siapa yang lebih disayang mamaku."

Aku hampir tertawa geli mendengar ocehannya seraya mengunyah ayam goreng. Ia sungguh terlihat seperti anak kecil hari ini. "Ya, ya, ya. Kau kesayangan mamamu."

Mataku menatapnya serius kemudian. "Tapi, Zander. Zane sungguh kakak yang baik. Ia menyayangimu. Kau harus tahu itu."

Ia menghabiskan ayam goreng kedua dengan cepat. Dia kembali meneguk bir dingin. "Mungkin, selain kenyataannya, ia sering mengejek dan menjatuhkanku di depan keluarga kami."

"Mungkin ia hanya menggodamu. Ia tak berniat buruk. Dia kadang memiliki selera humor yang berbeda."

"Entah. Aku hanya bosan mendengar kami terus dibandingkan dan ia sering membanggakan keberhasilannya dalam hal apa pun. Bukankah keberhasilan tak selalu soal uang dan pekerjaan? Aku pun sukses dalam soal ...." Ia terdiam, memandangiku sedikit tak enak hati.

"Soal pekerjaanmu ... sebagai gigolo?" Aku melanjutkannya dengan nada pelan.

"Maaf."

"Kau tahu, kau sering berkata maaf hari ini. Aku tak tahu kau akan semanis ini." Aku tersenyum geli melihat keterkejutannya.

Ia segera mengubah ekspresinya. "Aku akan menjadi apa pun selama itu membuatmu senang, Lea. Kau mau aku jadi seperti Zane? Aku akan melakukannya."

Aku menggeleng. "Kau tak perlu jadi orang lain, Zander. Aku ingin kau tetap jadi dirimu, tetapi dalam versi yang lebih baik."

"Maksudmu?" Ia menatapku tak mengerti.

"Tetaplah jadi dirimu yang mencintai kebebasan. Namun, jangan lakukan hal-hal buruk seperti pekerjaan lamamu. Mulailah lebih serius terhadap diri dan masa depanmu sendiri. Kau cerdas dan berbakat. Yakini itu."

"Itu berarti kau akan memberiku kesempatan?"

"Aku akan pertimbangkan selama kau bisa membuktikan dirimu sendiri pada orang tua kita. Aku akan mencoba bicara dengan Zane nanti. Semoga dia mau mengerti."

"Lea." Ia meraih jemariku, lalu meremasnya. "Aku akan melakukannya. Aku janji."

"Satu lagi. Ini paling penting."

"Apa? Katakan."

Aku menatapnya cukup lama. "Jangan perlakukan aku seperti budak saat kau ingin bercinta. Kau harus memikirkan juga apa keinginanku."

Ia mengangguk tanpa ragu. "Aku tak akan melakukannya lagi, bila kau tak suka. Lain kali, aku akan memastikan apakah kau menginginkannya juga atau tidak."

Kuanggukkan kepala sambil memberinya senyuman. Namun, kemudian tersadar akan sesuatu. "Masih ada lain kali?" Mataku melebar.

Ia mendekat dan mengecup keningku kali ini, lalu kembali meremas jemari, menguatkan genggaman. "Aku tak berencana untuk pensiun dari bercinta denganmu. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kau berikan, Lea."

***

Baru saja Zander pergi, Zane kini yang ganti datang menemuiku. Wajahnya terlihat tegang saat aku membukakan pintu. Ia masuk dan meneliti seisi ruangan.

"Z ke sini?" Dia bertanya tanpa basa-basi.

Aku menutup pintu dan menguncinya kembali. "Justru itu yang ingin kutanyakan. Kenapa aku harus tahu soal kembalinya Zander dari Lulu? Simon bahkan tahu lebih dulu. Kau pikir tidak cukup penting bagi dirimu untuk memberitahuku mengenai itu?"

Ia masih mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. "Dia kembali semalam. Mom memberitahunya soal pertunangan kita. Kau tahu, ia mendatangi kantor hotelku malam itu juga dan mengamuk di sana.

"Aku melihatnya sangat terlihat lelah, pucat, dan kacau. Aku mencoba sebisanya untuk menenangkannya. Aku tak ingin Dad tahu. Z baru mau pergi setelah aku memberitahunya bahwa kau telah mengandung anakku."

Zane menatapku intens kemudian. "Lea, adikku tak pernah semarah itu dalam hidupnya. Ia bisa mengacau, membuat masalah, tetapi tidak pernah berkata kasar padaku, apalagi mencoba membunuhku seperti malam tadi."

Mataku melebar seketika. "Apa? Dia melakukan apa padamu?"

"Melemparkan kursi ke arahku. Aku hampir tak selamat saat ia mulai menggunakan tinjunya."

Aku segera memeriksa wajah dan kedua tangannya. Kuamati pula tubuh dan kaki lelaki itu. "Kau terluka di mana?"

"Tinjunya terhenti hanya beberapa senti dari wajahku. Selain itu, cuma kursi yang hancur, meja sofa yang terbalik, dan ponselku yang dia banting." Ia merogoh saku celana, lalu menunjukkan sisa ponselnya yang hampir tak berbentuk. "Ia tak ingin aku meneleponmu."

Pantas saja. Zander tak ingin aku tahu soal kedatangannya, agar bisa datang menemuiku menyamar sebagai Zane.

Aku menghela napas. "Yang penting kau tak apa-apa. Dia masih memiliki kewarasan untuk tidak menyakitimu atau berbuat onar lebih jauh dari itu."

"Aku tahu. Dia adikku. Ia tak akan melakukan hal buruk pada keluarganya. Zander hanya terlalu marah dan kecewa saat itu. Dia tertidur di ranjangku setelah melampiaskan semua emosi dan kemarahannya."

Aku menatapnya tak percaya. "Ia bersamamu di kamar hotel sampai pagi?"

Zane mengangguk. "Seperti yang kubilang sebelumnya, ia terlihat sangat kelelahan. Dia menceritakan apa yang terjadi setelah bangun pagi ini."

"Apa yang ia katakan?"

Zane sepertinya menimbang-nimbang sesuatu lebih dulu sebelum membuka mulut kembali. Ia pun menceritakan persis seperti yang dikatakan Zander padaku soal apa yang dia lakukan bersama Rose.

"Dia harus melakukan semua itu demi kau, Lea. Kau tahu, aku seketika merasa egois. Aku gagal sebagai kakaknya. Adikku satu-satunya harus menjadi budak wanita tua keparat dari sejak ia remaja, tanpa aku bisa berbuat apa-apa. Aku terlalu pengecut, bukan?"

"Itu bukan salahmu, Zane," bisikku lirih saat melihat matanya berkaca-kaca, lalu merangkulnya penuh simpati.

Kubiarkan dia memelukku erat. Ia mengembuskan napas beberapa kali, terdengar berusaha mengendalikan diri. Aku mengelus-elus punggungnya.

'Lea, kau tahu, aku mencintaimu, bukan?"

Aku mengangguk di bahunya. "Ya, aku tahu."

"Aku juga sangat menyayangi Z. Aku ingin menjaga dan melindungi kalian. Tapi aku tak tahu apa aku sanggup kehilanganmu sekarang." Suaranya bergetar kini.

Perasaanku pun semakin kacau. Aku tak mungkin memberitahunya soal apa yang kujanjikan pada Zander.

"Lea ...." Ia merenggangkan pelukan, tetapi tak melepaskan tangannya dariku. Ia menatapku dalam-dalam dalam jarak cukup dekat. "Bisakah aku ...."

Mataku mengerjap. Aku seketika tak mampu berpikir. Apa maksudnya? Matanya kini terlihat penuh hasrat. Astaga. Katakan sesuatu, Lea. Lekas!

"Mmm ... Zane, aku ...."

Dia tak menunggu jawaban. Yang kutahu Zane telah mengulum bibirku untuk yang pertama kali. Aku bingung harus bagaimana. Tanganku mencoba menolak, menahan dan mendorong dadanya agar menjauh. Namun, ia justru makin mengeratkan dekapan serta memperdalam lumatan.

"Zane ...," ujarku terengah di sela lumatannya. "Apa yang sedang kau lakukan ...."

Ia kembali menyatukan bibir kami. Terus mencumbuiku dalam kelembutan, tetapi juga agak sedikit tergesa-gesa. Dia mengecupi leher. Jemarinya merayap di belakang punggung.

Aku tersentak saat menyadari jemarinya telah beralih menjelajah ke bagian dada dan mulai meremas pelan. Ritme gerakan Zane sedikit berbeda dari Zander, lebih lembut, mengayun.

Dia membuka bagian depan bajuku, lalu memainkan lidah dan bibirnya pada dua titik paling sensitif di bagian dada. Aku sontak mendongakkan kepala dan meloloskan desahan tanpa bisa ditahan.

Aku terdorong hingga ke sofa. Kami terjatuh di sana. Ia terus mencumbui dengan bibirnya yang hangat. Napasnya menderu menerpa kulit wajah. Otakku seakan berhenti bekerja.

"Zane, jangan ...," erangku saat merasakan jarinya menyusup ke bagian bawah dan memainkannya di sana. Aku menggeliat dan mengerang.

"Sekali ini saja, Lea. Aku tak bisa menahan diri lagi. Maafkan aku."

Entah kapan ia membuka celananya. Yang kutahu, dia buru-buru memasang sesuatu lebih dulu dengan napas menderu, lalu bergerak cepat menindihku.

Suara desahan lolos dari mulutnya saat memasukiku. Begitu ia selesai menyesuaikan posisi, dia pun mulai mengentak pelan, tetapi bertenaga.

Ia mengecup sembari sesekali melumat bibirku. Aku bahkan bisa merasakan lidah hangatnya saat kembali bermain di dada.

Tubuhku pun merespons. Kami bergerak bersamaan, saling mengisi dan melengkapi. Kedua tangannya mulai mencengkeram bahu sebelum ia mempercepat gerakan.

Aku mengerang disela desahannya. Kudengar ia menyebut namaku beberapa kali. Namun, yang ada di kepala justru bayangan wajah Zander.

Tubuhku terguncang hebat seiring kulit sofa yang berbunyi akibat gesekan. Ia mengerang sambil menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku sambil terus menghunjam.

Mulutku membuka dengan mata sesekali melebar dan memejam saat merasakan sensasi puncak yang berbeda dari yang biasa kurasakan. Kami mengerang hampir bersamaan, seiring tubuh saling mengejang sebelum sama-sama lemas kemudian.

Zane mendekap tubuhku erat, hingga menempel di atas tubuhnya. "Maafkan aku, Lea. Aku hanya tak bisa menahan diri lagi kali ini."

Ia mengecup puncak kepala dan mengelus-elus bahuku lembut. Dia mendesah. "Ini pengalaman pertamaku. Cukup bagus, bukan? Terima kasih pada video porno yang mengajariku."

Aku hampir tertawa geli mendengarnya. Namun, rasa tak nyaman saat teringat Zander, membuat tawaku terdengar sumbang.

Hatiku mengatakan aku telah berkhianat. Lea, kau sungguh wanita hina. Bagaimana bisa kau bercinta dengan dua lelaki yang merupakan kakak dan adik itu? Bahkan dalam waktu berdekatan di hari yang sama. Ini gila!

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro