Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 22

Kukira acara makan malam pertunangan kami hanya akan dihadiri keluarga inti, tetapi ternyata tidak. Tuan Nathan mengundang keluarga besar serta teman-teman kuliahnya dan papaku dulu. Itu sama sekali jauh dari kata sederhana yang mereka katakan padaku.

Sisi positifnya, orang tuaku tak ikutan latah dengan mengundang keluarga besar kami. Itu akan merepotkan banyak orang, mengingat lokasi tempat tinggal mereka yang cukup jauh.

Menurut Mom, akan terlalu menyusahkan mengundang mereka semua hanya untuk merayakan pertunangan saja. Jika pesta pernikahan, tentu akan berbeda. Aku sudah bisa membayangkannya dan itu cukup membuatku mual serta sakit kepala.

"Edward, ini Tuan Mark Steward dan istrinya. Mereka teman sekelas kita dulu. Kau ingat? Sekarang siapa sangka, mereka sangat sukses sebagai pengusaha." Tuan Nathan tertawa-tawa kemudian bersama papaku dan Tuan Steward. "Oh, putri kalian sudah dewasa rupanya. Ini Sofie, bukan?"

Aku kadang melihat Tuan Nathan sebagai lelaki yang sangat amat ramah. Namun, mungkin akan beda dalam penglihatan kaum pebisnis.

"Ah, Sofie, kau datang sendiri? Kau tak bersama pasangan?"

"Aku mungkin belum cukup beruntung untuk memiliki kekasih, Tuan Nathan," jawab Sofie sopan.

"Oh, Zander, putra bungsuku, jangan-jangan dia berjodoh denganmu. Sayang ia sedang tak di sini sekarang. Lain waktu akan kukenalkan. Kuharap kalian akan saling menyukai nanti."

"Kudengar kedua putramu sangat mirip. Sudah pasti Zander akan setampan Zane, bukan?" ujar Sofie. "Aku rasa aku akan menyukainya."

Para pria tergelak bersama. Sofie tersenyum elegan, sementara orang tua gadis itu terlihat senang dan bangga. Aku ingin merebut gelas wine di tangannya, lalu menyiramkan ke muka gadis itu.

Tunggu. Apa? Aku cemburu? Tidak. Aku hanya tak suka mendengar suara tawanya yang mirip penyihir tua.

Lagi pula Zander masih sedang asyik bersama si Nyonya Kesepian. Untuk apa aku cemburu untuk seorang lelaki gigolo yang setengah pengangguran?

Luciana datang bersama Simon dan putranya, Tim. Mereka terlihat kompak dengan balutan serba biru. Aku tak melihat Sam. Sepertinya ia tak datang, padahal aku telah meminta Zane untuk mengundang lelaki itu.

"Sam tak datang," bisikku pada Zane yang duduk di sampingku. "Kau lupa mengundangnya?"

"Aku bahkan datang sendiri secara pribadi menemuinya sekalian bertanya kabar soal Z. Ia bilang akan datang."

Aku mendesah. Mendengar nama si lelaki jahanam itu masih saja membuatku gelisah.

"Kau tak ingin tahu?"

"Soal apa?" Aku menjawab tanpa menatapnya.

"Kabar Z sekarang."

Aku terdiam sejenak. "Memangnya ada yang beda?" Mataku kini bertemu tatap dengannya.

"Z diajak ke pulau pribadi milik Rose. Ia belum akan pulang dalam waktu seminggu atau dua minggu ini. Itu menurut Sam."

"Kenapa tak sekalian saja mereka bepergian sebulan, setahun, atau selamanya bila perlu."

"Lea."

"Hmm." Aku menusukkan garpu ke salad sayur dan memasukkannya ke mulut dalam suapan kecil.

"Apa kehamilan bisa membuat wanita sensitif?" bisik Zane.

Aku menoleh seraya mengunyah. "Aku tak sensitif."

"Kau makin suka berkata sarkastis kini."

"Tidak." Suaraku sedikit tenggelam di dalam kunyahan.

Zane tersenyum. "Ya, tapi itu membuatmu terlihat semakin menggemaskan."

Aku memutar bola mata. "Aku tak semenawan itu." Kutelan kunyahan di mulut.

"Kau hanya tak tahu betapa menawannya dirimu."

Aku menyesap minuman sebelum menaruhnya lagi ke meja. "Zane."

"Ya?"

"Apa lelaki mulai pintar bermulut manis saat memiliki kekasih?"

Zane tertawa kecil. Ia kembali berbisik di telingaku. "Hanya jika mereka bertunangan dengan Kalea Jones."

Aku mencibir, tetapi tak urung ucapannya membuatku ikut tertawa kecil. Kurasakan tangan lelaki itu mengusap-usap punggung dengan lembut.

Aku belajar hal baru tentang Zane. Ia manis, cukup perhatian, dan romantis meski tak seseksi dan seagresif Zander dalam soal bercumbu.

Oh, berhentilah, Lea. Kenapa kau masih membanding-bandingkan mereka? Saat ini yang ada bersamamu adalah Zane. Cukup fokus padanya saja. Jangan pikirkan Zander. Buang dia dari ingatan!

Andai semudah itu. Aku mengelus perutku diam-diam.

Zane memintaku untuk mengakui bayi di perutku sebagai hasil hubungan kami nanti, bukan anak Zander. Dia bilang, itu demi melindungi kehormatan keluarga.

Aku menurut saja. Lagi pula, Zander belum tentu akan mengakui dan bertanggung jawab. Dia saja tak mampu melindungi dan menjaga dirinya sendiri dari kungkungan Nyonya Black.

Mungkin memang itu dunianya. Ia lebih cocok bergaul dengan wanita seperti itu, bukan seorang idiot amatir sepertiku yang masih begitu bodoh soal bercinta.

***

Dua hari usai pesta pertunangan, aku kembali ke NYC bersama Mom dan Dad. Sekarang sudah hampir seminggu lebih di rumah. Sementara itu, Luciana masih tinggal bersama Simon. Masih ada waktu sekitar sebulan lebih sebelum liburan musim panas berakhir.

Aku mulai terbiasa mengatasi rasa mual kini. Namun, sampai kapan harus terus kusembunyikan? Semakin lama, perutku akan makin membesar.

Zane berencana agar kami mempercepat pernikahan saja dengan menggunakan ide kehamilan itu nanti sebagai alasan. Ia yakin, orang tua kami pasti akan setuju tanpa ragu.

Aku hanya harus sedikit bersabar, menunggu kabar darinya. Dia berjanji akan mengurus semua.

Ponselku berbunyi. Kuraih benda itu dari atas nakas. Aku mengecek layar sebelum menjawab panggilan video.

"Halo, Lulu." Alu tersenyum mengamatinya yang tengah memakai bando dan blus kuning cerah.

"Hei, apa semua baik-baik saja? Aku merindukanmu."

"Aku juga."

"Hmm kau terlihat ... lusuh dan bosan."

"Ya, aku hanya bermalasan di rumah. Malas keluar."

"Kau sendirian di rumah?"

Aku mengangguk. "Seperti biasa, bukan? Dad dan Mom sibuk mengurus restoran. Mereka akan kembali sebelum makan malam."

Dia mengangguk-anggukkan kepala. Ia kemudian terlihat tersenyum pada seseorang di depannya.

"Kau bersama Simon?"

"Ya. Kami meliburkan diri dulu dari pekerjaan di bar. Simon mengajakku berkencan hari ini."

"Oh, itu bagus. Kau terlihat cantik dan bahagia, Lulu."

"Hei, kau juga, Calon ibu muda yang menawan." Ia tertawa kemudian. Tawa kecil Simon pun terdengar.

"Hmm. Aku takut gendut."

Luciana kembali tergelak. "Oh, Lea. Percayalah, aku yakin Zane tak peduli kau gendut atau tidak. Ia terlihat sangat mencintaimu. Kau beruntung. Hargai itu."

Aku mengangguk. Ya, seharusnya begitu.

"Kau tahu Z telah kembali pulang ke rumah peternakan? Zane sudah mengabarimu, bukan?"

Tubuhku membeku seketika. Apa? Zander telah kembali? Kenapa Zane tak memberitahuku?

"Oh ya? Baguslah. Ya, Zane telah memberitahuku."

Wow. Menjadi wanita hamil sekarang benar-benar membuatku makin pandai berbohong.

"Ah, baguslah. Kau tak apa-apa? Simon bilang, Zander ...."

"Lulu!"

Aku bingung. Kenapa Simon menegur Lulu? Ia melarangnya mengatakan soal Zander padaku?

"Kenapa dengan Zander?" buruku.

Luciana terlihat memandang resah ke arah Simon yang mungkin tengah memberinya kode untuk tak menjawab pertanyaan itu. "Mmm mungkin nanti Zane akan memberitahumu. Kau tanyakan saja nanti padanya."

Tidak, Lulu. Zane bahkan tak memberitahuku kalau adiknya telah kembali!

"Lulu ...."

"Oh, aku harus pergi. Simon akan segera menyiapkan mobil. Kita akan bicara lagi nanti." Luciana memutus kontak.

Aku tercenung. Zander telah kembali. Zane tak mengabari. Apa ada sesuatu yang terjadi? Kenapa Simon tak mengizinkan Lulu memberitahuku?

Apa sebaiknya aku yang menelepon Zane dan menanyakan langsung padanya? Mataku menatap layar ponsel, jam menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Kucoba mencari nama kontak Zane saat mendengar bunyi bel pintu terus berbunyi tanpa henti. Aku mengerutkan kening.

Siapa yang bertamu jam sepuluh pagi? Aku tak punya janji dengan siapa pun. Mom dan Dad tak memberitahu jika akan ada tamu yang datang.

Suara bunyi bel berdering tanpa henti dan cukup menggangguku. Aku segera menyambar jubah tidur untuk menutupi gaun malam yang masih kupakai, mengenakannya dengan cepat, lalu berlari keluar kamar dan menuruni tangga. "Iya, sebentar!"

Aku mengintip melalui lubang di pintu lebih dulu, lalu bergegas membukanya. "Zane! Aku baru akan meneleponmu! Kenapa tak memberi kabar jika kau mau ke sini?"

Zane masuk terburu-buru tanpa berkata sepatah kata pun. Ia menutup pintu dan menguncinya.

Aku tentu saja heran. "Ada apa Zane? Kau terlihat berbeda hari ini. Sejak kapan kau memakai kaca mata?"

Dan saat kusadari akan sesuatu, itu sudah terlambat. Mulutku membuka lebar sebelum berbalik hendak berlari menuju tangga. Namun, Zander telah berhasil mencekal lengan dan menarik aku hingga membentur dadanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro