CHAPTER 21
"Aku harus bagaimana, Lulu? Zander tak tahu kapan akan kembali. Aku juga tak yakin dia serius atau tidak terhadapku. Mom dan Dad akan datang seminggu lagi. Aku harus bilang apa pada mereka agar membatalkan acara? Mengatakan yang sebenarnya?"
"Ya. Hanya itu satu-satunya cara. Namun, bukan pada orang tuamu. Kau harus memberitahu Zane yang sebenarnya."
Alu menatap Luciana tak percaya. "Lulu, kau bercanda? Dia sudah pasti akan membatalkannya, tetapi orang tua kami pun akan tahu semuanya. Aku tetap akan tamat, Lulu. Tamat! Bagaimana jika Zander muncul, tapi tak mau mengakui? Aku tak sanggup menghadapi mereka, Lulu!"
Kali ini aku sungguh tak mampu berpikir. Air mata terus saja mengalir. "Mom pasti akan sangat kecewa dan murka. Papa juga. Kenapa aku bisa begitu bodoh, Lulu? Kenapa aku bisa sangat ceroboh?"
Luciana mengelus-elus bahuku. "Itu bukan salahmu, Lea. Salahkan Z! Dia yang seharusnya bertanggung jawab. Sekarang ia malah pergi begitu saja mengikuti wanita lain, tak memikirkan apa yang kau hadapi di sini saat ini."
Aku terisak lirih, berusaha menahannya agar tak terdengar oleh Betty. Ia akan mencecarku dengan berbagai pertanyaan jika mendengar suara tangisku nanti.
"Lea, aku telah bicara soal dirimu pada Simon, bukan tentang masalah itu, tetapi soal sikap Zander terhadapmu waktu itu. Ada yang membuatku sedikit bingung. Kau ingat, saat kalian ke lantai atas berduaan? Meski aku tak memberitahu Simon secara detail, sepertinya dia bisa menebak bahwa Zander dan kau memiliki hubungan.
"Menurut Simon, Zander tidak pernah mengenalkan gadis mana pun selama ini kepadanya, apalagi mengajak seorang gadis ke kamar atas yang biasa ia tempati selama di rumah danau. Jadi, dia berkesimpulan kalau kali ini Zander serius terhadap seseorang. Itu adalah kau."
Luciana memandangiku yang masih terisak. "Bagaimana jika itu benar? Z memang serius? Mengenai hubungannya dengan Nyonya Black, bukankah kau tahu siapa dia sebenarnya? Simon bahkan bilang, tidak ada yang berani macam-macam dengan wanita itu. Mungkin saja, bukan, Z sedang punya kesulitan sendiri saat ini?"
Aku memberinya tatapan menyorot di sela sisa sedu sedan. "Kau sedang membelanya?"
"Bukan, bukan begitu, Lea. Aku hanya mencoba membuatmu melihat, maksudku, aku membenci perbuatan Z padamu, tetapi jika kita bisa pikirkan lagi, mungkin, Z tak seburuk yang kita kira.
"Maksudku, dia mungkin bukan lelaki yang baik. Perbuatannya pun jahat padamu, tetapi mungkin saja ia tak sepenuhnya mempermainkanmu. Ah, sudahlah. Aku bingung harus berkata apa. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana cara memberitahu Zane. Kau tak bisa menipunya. Perutmu akan membesar, kau tak bisa terus menyembunyikannya, Lea."
Aku mengusap air mata perlahan. "Bagaimana jika melakukan aborsi ...."
Luciana terperangah. "Apa? Tidak, Lea. Kau tahu, aku tak akan membiarkanmu. Bagaimana jika itu membahayakan nyawamu? Aku tak sanggup menanggung risiko kehilanganmu dengan jalan seperti itu!"
"Lalu aku harus bilang apa pada Zane? 'Hai, Zane. Omong-omong, aku hamil anak Zander. Kau mau menggantikannya sebagai ayah untuk bayiku?' Begitu?" Aku mulai menggerung, kali ini karena merasa sedikit kesal atas kebodohanku sendiri.
Luciana melebarkan mata sebelum buru-buru membekapku. "Oke itu terdengar mengerikan dan menggelikan, tetapi kurasa kurang lebih memang seperti itu. Siapa tahu, dia malah bersedia? Zane terlihat sangat memujamu, Lea. Dia juga cukup peduli pada Zander, bukan?"
Kuturunkan tangan Luciana dari mulutku. "Justru itu, Lulu. Aku takut Zane akan marah bila tahu apa yang telah dilakukan adiknya padaku. Aku tak mau melihat dia membenci Zander meski aku sendiri sudah sangat makin membencinya sekarang."
Luciana menggeleng. "Kurasa kau mencintainya, Lea. Karena itu, kau bisa sebenci itu padanya. Aku pun tak bisa bilang mendukung kau dengan Zander. Dia memang terlihat cocok denganmu, mungkin lebih memahamimu, selalu punya waktu untuk bersamamu. Kau pun punya perasaan terhadapnya, akui saja.
"Meski begitu, Lea, aku tetap berpikir ... Zane lah lelaki yang paling aman dan mungkin lebih tepat untukmu. Kau hanya harus mencoba memberinya kesempatan."
Isakku mereda. Kuusap sisa air mata yang membuat buram pandangan. Aku menarik dan mengembuskan napas beberapa kali secara perlahan. "Baiklah, aku akan menelepon Zane untuk mengajaknya bicara. Jika gagal dan terjadi masalah sesuai perkiraanku, aku tak punya pilihan lain selain harus menghadapi orang tuaku."
***
Zane datang menjelang sore. Ia mengajakku berjalan-jalan memasuki hutan, hingga tiba di pinggir sungai. Sepertinya dia memilih tempat ini agar kami lebih bebas berbicara tanpa ada yang mencuri dengar.
Aku justru mendesah resah saat tiba di tempat itu. Kurasakan sesuatu yang aneh ketika mengingat kembali kejadian saat Zander bercinta denganku di bawah pohon menanti matahari terbit.
Sekarang apa? Zane ingin membuatku menanti matahari terbenam di sini?
Kucoba untuk tak melirik ke pohon yang mendadak terlihat menyebalkan itu lebih lama. Mataku beralih fokus menatap air sungai saja.
Jika situasinya berbeda, mungkin aku akan memekik takjub melihat betapa indahnya panorama. Bayangan pepohonan hijau dan langit biru memantul indah di atas air bak lukisan raksasa.
Namun, saat ini bukan waktunya untuk mengagumi itu semua. Masalah yang kini kuhadapi telah menghilangkan seluruh semangat untuk menikmati panorama.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan? Kau terdengar sangat serius di telepon tadi."
Aku menoleh, menyadari tatapan Zane seakan tengah memandangi sebuah patung antik yang sangat berharga. Luciana benar, lelaki itu terlihat sekali sangat memujaku.
Lalu apa perasaanku pada Zane? Semua yang tercetak di wajahnya, hanya mengingatkanku pada Zander, kecuali gaya rambut, cara menatap, dan senyuman mereka.
Kalau dilihat dari segi penampilan, tentu saja sangat jauh berbeda. Mungkin itu yang membedakan mereka, selain karakter masing-masing yang juga berlawanan.
Sebagai teman, mungkin Zane memang lebih bisa kupercaya. Aku merasa aman dan nyaman bersamanya. Namun, tak ada gairah atau hasrat seperti yang kurasakan setiap teringat Zander.
Mungkin karena kau belum pernah mencoba bercinta dengannya, Lea.
Kugelengkan kepala cepat, mencoba mengusir pikiran keparat. Apa-apaan ini? Sejak kapan otakku jadi begitu kotor?
Namun, mungkin pikiranku tak salah. Aku tak pernah merasakan cumbuan Zane. Bagaimana bisa membandingkan jika tak pernah melakukan? "Kau benar-benar tak keberatan dengan rencana pertunangan kita? Kita baru kenal, bahkan belum saling tahu banyak soal diri kita masing-masing. Apa yang kau suka dariku?"
Zane mengerutkan kening, tetapi senyumnya mengembang kemudian. "Aku suka semua yang ada di dirimu, Lea. Meski, kadang aku tak mengerti atau sulit menebak apa yang kau pikirkan.
"Aku suka sikap penurutmu, cara kau berpakaian, tersenyum, tertawa. Tak berlebihan, apa adanya. Kadang kau bisa tampil seperti anak kecil dengan kepolosan matamu. Kadang kau terlihat menawan dalam pesona ketenanganmu. Kau bahkan terlihat menakjubkan saat hanya diam. Setiap melihatmu, aku tak ingin melihat yang lain. Mataku hanya menginginkanmu. Kau sempurna."
Aku tercenung, mengamati matanya yang berbinar disertai senyuman lebar saat mengatakan itu semua. "Bagaimana jika aku tak sempurna seperti yang kau kira? Bagaimana jika aku punya kekurangan atau membuat banyak kesalahan yang kau tak tahu?"
Ia terlihat berpikir dulu sejenak. "Aku harus mendengar dulu alasannya apa. Setiap orang wajar bila memiliki kekurangan, bukan? Setiap orang bisa melakukan kesalahan." Nada suaranya merendah kemudian. Mata Zane pun mulai menyelidik. "Kau ingin mengakui sesuatu padaku? Tentang apa? Katakanlah."
"Zander bilang, kau mengharapkan gadis perawan sebagai pasangan. Kau seorang yang tradisional, bukan? Kau menyukai sikapku yang penurut. Kau lelaki penuh sopan santun karena itu kau merasa aku sama denganmu."
Aku melipat kedua tangan seraya menghadapnya kini. "Bagaimana jika aku tak sesuai dengan yang kau harapkan? Bagaimana jika aku tak seperti yang kau bayangkan?"
"Lea, apa yang kau ingin katakan sebenarnya? Aku tak suka kau menjelek-jelekkan dirimu sendiri. Kau sangat berharga. Orang tuamu bahkan berani menjamin kesucianmu. Untuk apa kau berkata begitu?"
"Karena aku tak sesuci itu, Zane! Aku ...," kupalingkan wajahku ke arah lain, "kotor."
"Apa maksudmu?"
Mataku mulai berkaca-kaca. Kuusap kasar dengan sisi telunjuk. "Aku bukan gadis suci. Aku tak sepatuh yang kau sangka. Aku memiliki sisi liar dalam diriku."
"Lea .... Kau tahu apa yang sedang kau katakan?" Nada suaranya bernada teguran kini.
Aku kembali berpaling, menatapnya lekat kini. Kukumpulkan semua keberanian yang kumiliki.
Tak ada jalan mundur. Lanjutkan, atau teruslah bersembunyi di balik topeng, Lea.
"Zane, aku hamil."
Zane tercengang, dengan wajah sontak memucat. Tubuh lelaki itu limbung saat melangkah mundur menjauh. "What?"
"Aku hamil dan ini anak Zander, adikmu."
Ia tampak seperti kesakitan sambil memegangi dada kiri. Dia menjatuhkan diri ke tanah berumput, terduduk kini.
Zane mencoba mengatur napas. Ia memejamkan mata dan mengerang bak hewan terluka.
"Maafkan aku. Aku tak bisa menemukan kata-kata yang lebih tepat untuk memberitahumu. Aku hanya ingin kau tahu, ini aku. Aku yang kotor, tak sempurna, menjijikkan, dan hina. Kau masih berharap meneruskan rencana pertunangan kita? Jika kau ...."
"Tidak!"
Aku terkejut mendengarnya. Ia menolak atau apa? Jantungku tak urung berdentum bertalu-talu meski sudah mempersiapkan diri untuk menerima kemungkinan terburuk.
"Kau ... pasti ingin membatalkannya, bukan?" Suaraku terdengar lirih kini, menyadari tebakanku sebelumnya benar. Luciana salah.
"Kau tidak seperti itu, Lea. Semua kata hinaanmu tadi tentang dirimu sendiri, aku tidak setuju. Aku tak mau membatalkan pertunangan kita."
Hah?
Mataku mengerjap saat Zane kembali bangkit perlahan dari duduknya. Ia menarik dan mengembuskan napas panjang sambil terus memandangiku tanpa kedip untuk beberapa lama.
Mungkin dia tak mendengar jelas kata-kataku tadi. Aku harus menjelaskannya lagi. "Kau tak mendengarku tadi? Aku ...."
"Aku dengar, Lea. Kau bilang kau hamil anak Zander. Aku akan butuh penjelasan soal itu lebih detail nanti, mengenai kapan kalian melakukannya. Aku teringat ketika kita bertemu pertama kali. Kau saat itu tengah mengira aku adalah dia, bukan? Jadi, kutebak kau telah bertemu dia lebih dulu daripada aku."
"Ya, tetapi kami melakukannya lagi saat ... di sini." Aku bahkan ingin menampar diriku sendiri saat melihat tatapan syok dan penuh luka dari mata Zane.
Ia tertawa sumbang sebelum berubah tersenyum lemah seperti senyuman seorang yang telah kalah. "Kau tahu apa risikonya jika aku ungkapkan semua ini pada orang tua kita, bukan? Kita bahkan tak tahu kapan Z bisa kembali. Menurut Sam, kemungkinan sebulan. Rose pun belum tentu akan melepaskan adikku bila dia ingin menikahimu. Aku mencemaskanmu, Lea."
Benakku berkecamuk saat mendengarkan sambil menatap lelaki itu. Aku tak pernah mengira ada manusia seperti dia.
"Kurang dari seminggu lagi, adalah acara pesta pertunangan kita. Aku tak bisa melihat kau menghadapi masalah ini sendirian. Walau bagaimanapun ini terjadi karena ulah adikku dan aku sangat menyayangimu, Lea."
Ia mengerang lagi seakan itu sanggup meredakan rasa sesak di dadanya. "I'm f***ing crazy. I know. Aku sangat marah saat ini, kecewa, tapi aku bersedia mengambil alih tanggung jawab adikku, jika kau tak keberatan."
Aku membeku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro