Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 2

Aku membuka mata dan merasakan sakit kembali luar dalam. Satu hal yang kusadari, kehormatanku yang terjaga sekian lama, kini hilang direnggut lelaki asing sialan.

Otakku berpikir keras. Luciana tidak mungkin mengerjai atau menipu. Apa ini ulah kekasih barunya? Aku mencoba mengingat kata-kata Z semalam.

Siapa yang membayarnya? Sam? Hanya dia yang kukenal di sini meski aku pun tak yakin cukup mengenalnya. Namun, kenapa ia melakukan itu padaku?

Pintu terdengar diketuk tergesa-gesa dari luar. Aku buru-buru mengenakan pakaian kembali. Kulihat sehelai kertas memo di atas nakas usai memastikan ponselku aman di dalam tas.

Tanganku segera meraih dan membaca tulisan di atasnya. Aku mengernyit seketika.

I'll see you again. Soon. Z.

Pintu terbuka bertepatan dengan aku meraih sepatu bot. Luciana tampak di ambang, memperlihatkan mata yang sembab.

Ia menghampiri dan memeluk erat saat aku baru saja selesai memakai sepatu. Tangis gadis itu meledak di bahuku.

Dadaku bergemuruh. "Sam menyakitimu?"

Luciana merenggangkan pelukan. Matanya mengerjap. Tubuh kami yang sama tinggi saling berhadapan.

"Dia bilang ini hanya sebuah permainan taruhan antara ia dan temannya itu, tentang siapa yang berhasil meniduri perawan di malam ulang tahunnya." Suara Luciana terdengar parau seraya menatapku sendu. "Ia putus denganku karena kesal telah kalah taruhan." Tangisnya kembali meledak beberapa saat.

Kubiarkan ia menangis sepuasnya. Aku bahkan tak tahu kenapa air mataku tak mau keluar.

Bukankah aku juga kehilangan sesuatu yang berharga?

"Kau baik-baik saja, bukan?" Luciana kini mengamatiku dengan mata basah dan isak yang tersisa. Ia mengamati ranjang dan matanya mulai melebar saat menyadari noda merah di seprei.

"Astaga. Mereka .... Jadi, yang dimaksud Sam adalah ... Z? Lea! Aku mencelakaimu!" Tangisnya meledak. "Kumohon, marahlah padaku!"

Aku menggeleng lemah. "Buat apa? Kau pun juga dibohongi, bukan? Kesialanku bukan salahmu."

"Tapi gara-gara aku, kau ...."

"Sudahlah. Mungkin memang sudah waktunya harus hilang." Aku menggigit bibir, mengingat perjuanganku selama ini untuk tidak berpacaran demi menjaga kesucian.

"Sebaiknya kita ke flatku saja dulu," ujar Luciana setelah bisa menenangkan diri. "Bajingan itu hanya menyewa rumah ini untuk pesta semalam. Ia sudah kabur lebih dulu."

Aku mengangguk lemah seakan tanpa tenaga. "Ya, kita pergi saja."

***

Setibanya di flat Luciana, aku segera membersihkan diri. Masih terbayang samar dalam ingatan tentang kejadian tadi malam saat lelaki asing itu meniduri.

Ingin sekali aku menghajar atau memaki. Namun, yang kusesali hanya kebodohan diri sendiri.

Jika itu hanya tentang sebuah permainan taruhan, lantas kenapa ia meninggalkan memo yang seakan memberi harapan?

Apa aku cukup gila, mengharapkan pertemuan lagi dengannya? Dia pikir perbuatan kotor semalam itu akan menjadi kenangan indah? Keparat! Bajingan!

Usai mandi, aku memakai kaus yang disediakan Luciana. Saat keluar dari kamar mandi, kulihat ia telah tertidur di sofa. Sesekali masih terdengar sisa isaknya.

Bayangan wajah Z kembali melintas. Aku menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengusirnya dari benakku.

Bagaimana bisa aku sempat terpesona pada Z saat pandangan pertama? Satu-satunya lelaki yang berhasil membuatku berdebar justru telah merusak segalanya.

Aku meringkuk di bawah sofa. Cairan hangat bening tak terasa perlahan mengalir dari kedua mata. Tubuhku mulai terguncang tanpa suara.

***

Mataku perlahan membuka saat merasakan guncangan tubuh. Kulihat Luciana menyodorkan ponsel dengan tatapan kuatir.

"Mamamu," ujarnya pelan sambil menutupi bagian bawah ponsel.

Aku segera meraih dan menaruhnya di telinga. "Mom?"

"Kalea, kenapa belum pulang? Bukankah semalam sudah sepakat kau akan pulang jam sepuluh. Mom menghubungimu sejak malam tadi! Apa yang kau lakukan di flat Lulu? Bukankah kalian ada kelas hari ini?"

"Emm, maaf, Mom. Aku lupa mengganti mode hening di ponselku. Aku menginap di flat Luciana. Semalam kami begadang dan ketiduran sejak pagi."

"Kenapa tidak menghubungi Mom? Dad tak bisa tidur dan terus menanyakanmu. Kau pulang sekarang. Kita akan kedatangan tamu sore ini. Akan ada acara makan malam bersama dengan Nathan Zack beserta kedua putranya."

"Oke, Mom. Aku segera pulang."

Mom memutus kontak. Aku menatap Luciana yang terlihat sangat cemas. "Aku disuruh pulang sekarang. Bagaimana jika Mom atau Dad tahu?"

Luciana menggeleng. "Selama kau bisa bersikap normal, mereka tidak akan tahu, Lea."

Kuraih tas, lalu memasukkan ponsel kembali ke dalamnya. Aku bangkit perlahan. "Baiklah. Aku pergi dulu."

Luciana meraih lenganku pelan. "Lea, aku sungguh minta maaf atas semuanya. Aku sungguh tak tahu ...."

Aku mengelus bahu gadis itu lembut. "Sudah kubilang, itu bukan salahmu. Jangan pikirkan lagi. Aku akan menghubungimu nanti."

Luciana mengangguk sambil melangkah bersamaku. "Aku akan memanggilkan taksi untukmu."

***

"Kalea Jones! Jika saja kita tak akan kedatangan tamu sore ini, Mom ingin sekali menghukummu! Kau sudah melanggar kesepakatan kita semalam!"

Martha Jones mendelik. Wanita hispanik itu menaruh satu tangannya ke pinggang. Kemiripan kami lebih terlihat pada kulit dan rambut. Ia mengamatiku dari atas hingga bawah.

"Pakaian siapa yang kau pakai? Ada apa dengan bajumu?"

Aku hanya mendesah sembari melangkah melewatinya. "Kaus Lulu. Bajuku kotor terkena noda minuman semalam. Aku ganti baju dulu, Mom."

"Lekas siap-siap! Kau harus ikut menyambut dan mengobrol dengan mereka nanti!" teriaknya saat aku mencapai tangga, melangkah menuju atas.

"Oke, Mom!"

Memiliki orang tua yang religius membentukku menjadi gadis yang terbiasa patuh, bahkan sangat menjaga diri. Di akademi saja, teman-teman sekelas suka menyebut aku sang Perawan Suci.

Sejak pertama memasuki akademi, cuma Luciana yang tidak ikut-ikutan memanggil dengan julukan tersebut. Ia tahu, itu sangat menyebalkan buatku.

Hanya bersama Luciana, aku bisa menikmati kebebasan menjadi diriku yang sebenarnya. Bergairah, riang, bebas lepas melakukan apa pun tanpa beban.

Aku terbiasa harus memakai pakaian sopan dan tertutup dari rumah. Namun, saat keluar untuk jalan-jalan atau ke klub malam, Luciana akan menyiapkan pakaian khusus yang lebih terbuka untukku. Sungguh bisa kurasakan sensasi kebebasan saat memakai baju-baju seksi itu.

Meski menyukai pakaian seksi, tetapi itu tak berarti aku gadis murahan atau gampangan. Selama bertahun-tahun, kubuktikan diriku sekian lama mampu menjaga kehormatan, hingga kemunculan si Pencuri Sialan.

Aku membuka dan menutup pintu kamar, lantas segera menuju lemari ganti. Kuambil gaun tertutup sebatas lutut berlengan panjang bercorak bunga-bunga kecil liar berwarna putih, baby's breath.

Kurapikan rambut dengan menyampirkannya ke bahu, jadi satu di sisi kanan. Sebuah gelang hias perak dengan bandulan bintang-bintang kecil yang sedikit berbunyi saat bergerak, menghiasi lengan kiriku.

Aku mengambil sepatu kain datar tanpa hak dan memakainya dengan gerakan cepat. Kulirik jam di ponsel yang kuletakkan di atas meja hias, menunjukkan waktu pukul lima sore.

Kudengar suara mobil memasuki halaman rumah. Aku beranjak, mengintip melalui tirai jendela.

Sebuah kendaraan putih beroda empat terparkir di dekat kolam air mancur di tengah halaman rumahku. Aku mengenalinya sebagai mobil Dad.

Kulihat Dad turun dari mobil, diikuti seseorang yang sebaya dengannya. Seorang lelaki muda pun ikut turun bersama mereka. Parasnya membuatku sontak terpaku beberapa saat.

Z? Tidak mungkin. Pasti aku salah lihat.

Aku segera beranjak, hampir berlari saat menuju pintu dan bergegas keluar kamar. Kudengar obrolan antara Mom, Dad, dan dua lelaki itu di bawah.

Segera kuturuni tangga. Jantungku menggila. Jika benar itu adalah dia, aku harus bersikap bagaimana?

"Nah, itu Kalea!" seru Dad. "Lea, kemarilah!"

Aku berjalan menghampiri mereka. Kuanggukkan kepala dengan sopan.

"Lea, kenalkan ini Zane dan Nathan Zack. Mereka tinggal di Woodstock, Vermont. Nathan adalah teman kuliah Dad dulu, dan Zane ini adalah putra sulungnya."

Z? Aku sungguh tak salah lihat. Itu benar dia! Inisial namanya pun sesuai!

Jantungku makin berdebar kencang. Ingin sekali meninju lelaki itu, tetapi justru malah memaksakan senyuman ramah padanya. "Halo, Zane, Tuan Zack. Senang bertemu kalian."

Tuan Nathan terus memandangiku dengan senyuman ramah tak lepas dari bibirnya. "Ah, panggil saja dengan nama depanku. Ternyata Kalea lebih menawan daripada di foto. Zane, kau sungguh beruntung, bukan?" Ia menoleh ke arah sang putra.

Zane mengulum senyuman ramah dan memesona. "Ya, sepertinya begitu. Hai, Lea."

Tak pernah kukira sesosok iblis bisa memiliki senyuman bak malaikat. Lelaki keparat!

"Beruntung?" Mataku mengerjap menatap Tuan Nathan, mengabaikan senyuman Zane. "Atas dasar apa?"

"Aku dan papamu memiliki kesepakatan dulu. Sayangnya, kami sempat saling kehilangan kontak saat aku pindah bersama keluargaku dan tinggal di Vermont. Untungnya kami bertemu kembali saat reuni."

Aku tersenyum canggung bercampur bingung. "Kesepakatan apa?"

"Perjodohanmu dengan putra sulungku, Zane."

Mungkin di saat inilah yang sesuai dengan gambaran dalam cerita fantasi tentang menghentikan waktu. Yang aku tahu, tubuhku seketika membeku.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro