CHAPTER 18
Aku tak habis pikir. Bagaimana bisa Luciana memutuskan begitu mudah untuk tinggal di rumah kabin Simon dan bekerja di bar bersamanya? Astaga. Dia pasti sudah gila!
Ia baru saja bertemu dan mengenal lelaki itu. Apa yang membuat dia begitu yakin dan mempercayakan cintanya pada Simon?
Memilih di antara Zane dan Zander saja sudah membuat aku sakit kepala. Kini bahkan harus ditambah dengan memikirkan masalah Luciana. Bagaimana pun ia tanggung jawabku.
Jika saja tak kutinggalkan ia bersama Simon sore tadi, mungkin tak akan jadi seperti ini. Sekarang aku tak tahu bagaimana membujuk agar gadis itu berpikir ulang tentang keputusannya. Dari semua lelaki, haruskah dia memilih menikahi seorang duda yang telah memiliki satu putra?
Luciana bahkan baru berusia sembilan belas tahun! Ia sebaya denganku. Aku tak bisa membayangkan gadis itu akan menjadi seorang istri sekaligus ibu tiri jika benar-benar resmi menikah nanti.
Masih kuingat percakapan kami tadi sebelum Zander memaksaku segera menaiki mobil untuk kembali ke hotel bersamanya. Kata-kata Luciana terus terngiang di telinga.
"Aku sudah menemukan orang yang tepat, Lea. Hatiku sangat yakin. Aku berada di jalan yang benar. Simon menyukaiku dan memperlakukanku dengan baik. Kami seakan sudah saling mengenal lama dan bisa memahami satu sama lain. Putranya pun mulai dekat denganku. Kami seperti sebuah keluarga kecil yang sempurna."
"Tapi kalian baru saja kenal, Lulu. Bagaimana bisa? Bisakah kau menjamin mereka akan seperti itu terus selamanya? Bagaimana jika suatu hari ibunya Tim kembali? Bagaimana jika Simon berhubungan lagi dengan mantan istrinya?"
"Simon bilang ia tak akan kembali pada mantan istrinya yang telah meninggalkan mereka. Tim bahkan tak pernah mau bertemu ibunya lagi."
"Tapi ...."
"Tolong mengertilah, Lea. Aku telah memutuskannya. Tak ada keraguan dalam hatiku. Aku hanya akan menyesal jika melewatkan kesempatan untuk berbahagia hanya karena prasangka yang belum tentu akan terjadi. Tidak ada jaminan dalam setiap hal. Tekadku bulat untuk menyambut kesempatan saat ini."
"Lulu ...."
"Setidaknya kami tak akan menikah sekarang, jika itu yang membuatmu kuatir. Simon masih memberiku waktu untuk memikirkannya sampai akhir liburan musim panas. Jadi, selama aku berpikir, aku memutuskan akan menghabiskan waktu di sini untuk lebih mengenal Simon dan putranya. Aku juga akan bekerja di bar agar terbiasa membantunya kelak."
"Kau serius ...."
"Sangat, Lea. Aku belum pernah seserius ini. Justru kaulah yang harus mulai berpikir serius sekarang. Kau akan tetap menjalin pertunangan dengan Zane, atau memilih memulai hubungan baru dengan Zander? Kau tak bisa terus-terusan mempermainkan Zane di belakangnya.
"Kau juga tak bisa menipu perasaan dengan berusaha menolak Zander. Karena, dari kenyataan yang kulihat, kau sangat menyukainya meski kadang kau menunjukkan bahwa kau membencinya. Buatku, kalian terlihat cocok meski aku tak dapat mengatakan Zander adalah lelaki yang cukup baik untuk kau nikahi. Namun, ini hidupmu, Lea. Pikirkanlah mulai sekarang. Apa yang kau inginkan?"
Aku mengacak-acak rambut sendiri seperti orang tak waras usai mengingat percakapan kami tadi. Apa yang harus kukatakan pada Ethan nanti?
Orang tua Luciana sudah tiada. Ethan satu-satunya keluarga baginya.
Pengajarku itu tahu bahwa aku yang mengajak keponakannya berlibur ke Vermont. Kini, jika tahu situasi telah menjadi seperti ini, apa yang ia katakan padaku nanti?
Aku bahkan tak tahu bagaimana perasaan sebenarnya terhadap Zane. Di sisi lain, Luciana benar, kusadari hati ini semakn sulit menolak keberadaan Zander. Namun, orang tuaku sudah pasti tak akan menerima seorang setengah pengangguran berpenghasilan tak jelas meski kedua lelaki itu adalah kakak adik.
Belum lagi ditambah dengan sesuatu yang baru kutahu soal Zander. The Wild? Klub macam apa itu sebenarnya? Siapa Nyonya Black? Apa hubungan mereka?
Satu hal lagi, Zander bisa tanpa ragu membelikanku gaun yang cukup mahal untuk ukuran seorang setengah pengangguran yang berpenghasilan tak jelas. Ia dapat uang sebanyak itu dari mana? Tabungan hasil kerjanya dengan tetangga sekitar? Atau dari uang jajan yang diberikan kakak dan orang tuanya?
Mustahil. Namun, mengingat reaksi Zane yang tampak biasa saat itu, mungkin bisa jadi begitu.
Kepalaku makin berdenyut sembari beranjak menuju ranjang. Kuhempaskan tubuh ke atas kasur dalam posisi telentang. Aku memejamkan mata sejenak sebelum membuka dan fokus ke langit-langit kamar, seolah melihat bayangan sesosok wajah di situ, lalu mulai menatapnya nyalang.
Ini salah Zander! Dialah penyebab semua masalah, termasuk soal Luciana, juga hubungan antara aku, dia, dan Zane yang kini menjadi semakin rumit!
Ponselku berdering. Kuraih benda itu dari saku jin dengan gerakan lambat. "Ya, halo?"
"Lea, bersiap-siaplah untuk makan malam. Aku akan menjemputmu nanti."
Aku memejamkan mata, diam-diam mengembuskan napas perlahan. "Oke."
"Kau baik-baik saja? Kau terdengar ... tak bersemangat."
"Aku baik-baik saja," jawabku cepat, "hari ini hanya ... sedikit melelahkan."
"Oh, perlu aku antarkan saja makan malam ke kamarmu?"
Dahiku mengernyit. Makan malam dengan Zane? Berduaan saja di kamar? Aku segera menegakkan punggung. "Mmm, Zane ... bagaimana kalau ...."
"Aku tak akan setuju jika kau ingin melewatkan makan malam lagi kali ini, Lea. Lagi pula, kita jarang dapat kesempatan mengobrol berdua saja."
Suara helaan napas pun lolos dari mulutku sembari perlahan merebahkan punggung kembali ke kasur. "Baiklah. Kita makan malam di kamarku saja."
***
"Aku sedikit tak mengira, kau ternyata begitu pendiam," oceh Zane sambil melahap potongan bacon. "Maksudku, kau tak sediam ini saat pertama kita bicara di rumahmu."
Aku pikir dia sedang mengolok-olok atau menyindir, tetapi tidak. Ia terlihat serius, tak tersenyum sedikit pun, bahkan sekedar senyuman samar juga tak terlihat.
"Oh, aku memang tak terlalu suka banyak bicara sebenarnya." Kuakhiri kalimat dengan berdeham meski mungkin terdengar sedikit dipaksakan.
"Omong-omong, kenapa aku tak melihat Lulu kembali bersama kalian?" tanyanya sambil sibuk makan.
Aku berpikir sejenak, harus menjawab apa untuk pertanyaan itu. "Mmm, dia bertemu seorang kenalan dan memutuskan tinggal di sana selama liburan musim panas sambil bekerja."
Zane mengernyit. "Lulu? Bekerja di mana?"
Potongan daging yang telah kukunyah di dalam mulut tertelan dengan susah payah. "Mmm, Barret's Bar."
Gerakan tangan Zane terhenti di udara. Ia mendongakkan kepala. "Simon Barret?"
Saat melihat aku menganggukkan kepala, ia meletakkan garpu dan pisaunya ke piring. Mata lelaki itu tak berkedip menatapku.
"Zander mengajak kalian ke bar Simon? Jangan katakan dia juga mengenalkan kalian pada si Tukang Tato!"
"Sam .... Ya, kami ke sana."
Kenapa Zane terlihat begitu marah? Matanya kini sungguh tak terlihat ramah.
"Aku seharusnya tahu si Berandal itu akan bertindak semaunya! Aku memintanya membawa kalian jalan-jalan ke pusat kota, membeli kerajinan tangan, perhiasan, apa pun! Intinya bersenang-senang! Bukan untuk diperkenalkan ke teman-temannya!" Ia membanting serbet makan ke meja.
Aku memutuskan mengakhiri makanku. Kuamati wajah Zane yang merah padam.
Ia melonggarkan lilitan dasi sambil membuka kancing kerah bagian paling atas. "Katakan, selain Samuel, siapa lagi yang ia kenalkan padamu? Kau tidak bertemu Nyonya Black, bukan?"
Itu dia.
"Siapa Nyonya Black? Ada hubungan apa dengan Zander? The Wild itu klub apa?" cecarku.
Zane menatap tak percaya. "Astaga. Kau sudah tahu juga soal itu? Gila! Z, kau keterlaluan!" Ia bangkit, lalu membelakangiku sambil meremas rambut dan mengembuskan napas dengan keras.
"Zane, kenapa? Bisakah kau jelaskan?"
Zane berbalik lagi menghadap ke arahku. "Kenapa kau sangat ingin tahu soal Zander? Kau seharusnya mencari tahu tentang aku! Kau bahkan tak bertanya apa pun mengenaiku!"
Aku tergugu. Apa semua lelaki terlihat menyeramkan saat marah? Termasuk seseorang yang biasa lembut dan ramah?
"Kau tak tahu bagaimana aku menyiapkan diri untuk menjawab semua pertanyaanmu untuk mengenalku lebih jauh, seperti yang kau bilang sebelumnya! Apa yang sudah kau tahu soal aku?!"
"Kau sudah menjelaskan sedikit, bukan? Maksudku ... saat di rumahmu, kau telah memberitahuku. Belum punya pertanyaan untukmu, bukan berarti aku tak ingin tahu soal dirimu."
Zane tertawa aneh. "Dan kau terlihat lebih penasaran saat ini soal Zander. Wow. Apa itu hanya bentuk perhatian pada calon adik ipar atau justru lebih dari itu?"
Aku ingin menyanggah itu, tetapi mulutku seakan terkunci. Zane sepertinya menyadari sesuatu. Mata lelaki itu mungkin juga cukup tajam, sama seperti Zander, untuk melihat apa yang kupikirkan.
Zane tertawa sumbang sambil menatap ke arah lain usai meneliti ekspresiku. "Ternyata begitu. Baiklah. Aku akan hubungi Zander untuk menjemputmu kembali ke rumah peternakan kami besok." Ia menoleh lagi ke arahku. "Atau mungkin malam ini?"
Ia terluka. Itu bisa terlihat di matanya.
Kupandangi terus punggung lelaki itu saat berbalik kembali, melangkah menjauhiku. Aku tetap membisu sampai dia menghilang di balik pintu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro