CHAPTER 17
Zander mengajakku menemui seorang temannya yang lain lagi saat sore hari. Luciana bahkan tak keberatan dan menyuruh kami pergi berdua saja. Ia terlihat masih betah mengobrol bersama Simon sambil mengajak Tim bermain bak sebuah keluarga kecil harmonis.
Di mobil aku tak banyak bicara. Pikiranku berkecamuk tentang apa yang harus kulakukan mengenai hubungan rumit antara kami bertiga.
Haruskah kuberitahu Zane soal apa yang terjadi antara aku dan adiknya? Atau tetap merahasiakan ini semua dan bersikap seolah semua baik-baik saja?
Aku tak bisa menipu perasaan sendiri lebih lama lagi. Zander seolah telah menjadi candu bagiku. Terlebih lagi, bersikap curang dengan mengkhianati Zane, sangat tidak kuinginkan.
"Kau tak penasaran kita akan menemui siapa?" celetuk Zander tiba-tiba.
"Bukankah kau bilang itu temanmu?"
"Ya, tetapi kau tak bertanya temanku itu wanita atau laki-laki."
Aku memalingkan wajah ke arahnya. "Memangnya itu penting?"
Ia membulatkan bibir, lalu segera berubah menjadi sebuah tawa tanpa suara. "Antara kau tak mudah cemburu atau memang belum cukup peduli padaku."
Kupalingkan kembali wajah menatap ke jendela samping. "Memangnya hubungan kita apa, selain kau memperlakukanku sebagai budak nafsumu?"
Mobil berdecit, terhenti seketika di tengah jalan. Napasku terkesiap. Terdengar klakson dan teriakan kemarahan dari arah belakang.
Aku sontak menoleh ke arahnya. "Kau gila, ya?!"
Ia meraih daguku dan menariknya hingga maju menyisakan jarak beberapa senti saja di depan wajahnya. "Kau pikir aku memperlakukan dirimu seperti itu?"
Dengus napasnya hangat menerpa kulit wajahku saat ia mendesis sembari mengeraskan rahang. Mata Zander menyorot tajam beberapa saat.
Bunyi-bunyi klakson kembali terdengar diikuti oleh mobil-mobil berlalu memperdengarkan teriakan kemarahan saat melewati kami. Ia tak peduli.
"Kau belum tahu bagaimana jika aku memperlakukanmu sebagai budak, Lea. Haruskah kuperlihatkan padamu sisi asli gilaku yang sesungguhnya?"
Tubuhku gemetar. Kukerjapkan mata sambil berusaha memundurkan wajah darinya. "Jalankan mobilnya, Zander. Ini di tengah jalan." Suaraku tetap berusaha terdengar setenang mungkin meski sedikit bergetar.
"Jujur saja, kau menikmati itu semua, bahkan membuatmu mulai ketagihan, tetapi terlalu angkuh untuk mengakuinya. Benar, bukan?"
Kenapa Zander seolah selalu bisa memahamiku? Apa aku yang memang mudah terbaca?
Aku mengertakkan gigi. "Jalankan mobil, Zander, atau aku akan berteriak dan turun di sini." Suaraku mulai terdengar mendesis sama sepertinya kini.
Sudut bibirnya terangkat samar. "Kau tahu apa yang membuat aku tertarik padamu, Lea? Kita memiliki kesamaan. Bedanya, kau menyembunyikan sisi liarmu di balik topeng wajah polos dan sikap yang penuh kepura-puraan. Percayalah, aku akan membuatmu suka rela membuka topeng itu sesegera mungkin."
Aku memilih tak menjawabnya. Kulihat dia memosisikan diri kembali di depan kemudi sebelum menjalankan mobil kembali.
Kuembuskan napas perlahan sambil menegakkan punggung yang terasa lemas setelah menegang beberapa saat tadi. Aku pun kembali ke posisi. Namun, ucapan Zander tak urung menancapkan sesuatu di hati.
***
"Hei, Z! Kau datang untuk tato atau bisnis?" sambut seorang lelaki berkaus hitam bergambar tengkorak saat Zander membawa aku memasuki sebuah studio tato, tanpa melepaskan genggamannya dari tangan kiriku.
Ia berkepala botak dengan beberapa tindik di alis, telinga, bibir, dan hidung. Kedua tangan lelaki itu penuh tato, begitu juga di bagian leher, pelipis, serta dua pipi. Seperti Zander, dia pun mengenakan cincin-cincin besar di jemari. Sebuah kalung rantai pun turut menghiasi.
"Hmm tidak keduanya untuk kali ini, Sam."
"Pacarmu?" Mata gelap lelaki yang dipanggil Sam itu melirik ke arahku.
Zander ikut menoleh ke arahku. "Kenalkan, Lea, ini Samuel. Sam, ini Lea."
"Halo, Lea." Sam mengulurkan tangan ke arahku yang segera kusambut sesopan mungkin.
"Halo, Sam."
"Ini pertama kali Zander mengajak seorang gadis ke studioku. Kau pasti seorang yang sangat istimewa buatnya." Ia mengedipkan mata ke arah Zander.
Mataku mengerjap. Ada perasaan tak percaya sekaligus senang mendengar itu darinya. "Oh ya? Aku tidak tahu itu." Aku menatap Zander lekat-lekat.
Ia mendengkus sembari melepaskan genggamannya kali ini. Dia berjalan menuju sofa panjang yang ada di studio. "Aku tadi berkunjung ke rumah danau Simon sebelum ke sini."
"Oh, aku lama tak ke bar Simon. Kau tahu, ia tak terlalu menyukaiku." Ia beranjak seraya menoleh ke arahku. "Duduklah, Lea. Kau mau minum apa?"
Sam membuka pintu lemari pendingin. "Jus buah, bir, pepsi ...."
"Jus buah saja, terima kasih," sahutku sembari melangkah menuju sofa dan mendudukkan diri di dekat Zander.
"Simon tak pernah menyukai siapa pun yang merupakan anggota The Wild, Sam."
Sam kembali dengan membawa sekaleng bir dan jus buah. Ia menaruhnya ke meja. "Tapi aku sudah bukan anggota, Z." Lelaki itu mendudukkan diri di hadapan kami. "Kau belum memberitahunya?"
Zander meraih kaleng bir dingin, membuka tutup, lalu meneguk pelan. Ia tak menaruhnya kembali ke meja, hanya memegangi minuman itu di tangan. "Percuma. Baginya, kau tetap bersalah karena kaulah yang mengajakku bergabung ke klub itu."
Sam terlihat murung. "Ya, itu memang salahku. Aku masih muda dan tak berpikir panjang saat itu." Ia melirikku sebelum beralih ke Zander. "Jadi, kapan kau akan ikut keluar?"
Zander diam. Mereka saling berbicara melalui mata cukup lama. Aku memilih meraih kaleng jus buah dinginku untuk menghilangkan rasa gugup saat merasakan atmosfer ketegangan antara mereka.
Kubuka tutup kaleng dan mulai menyesap cairan dingin segar beraroma apel. Mataku masih sesekali melirik ke arah kedua lelaki itu.
The Wild? Klub macam apa itu? Pasti bukan sesuatu yang baik. Simon bahkan tak menyukainya.
"Aku masih menunggu waktu yang tepat."
Sam terlihat mengerutkan kening. "Kau masih berurusan dengan Nyonya Black?"
Zander mengangguk sembari melirikku. Aku buru-buru menyibukkan diri dengan jus buah di tangan.
Nyonya Black? Siapa dia? Ada urusan apa dengan Zander? Ia bagian dari The Wild juga?
Sam menatapku sekilas sebelum kembali ke Zander seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Kuharap kau bisa segera membuat keputusan, Z."
Selanjutnya, mereka mengobrol ringan seputar kegiatan Zander berkebun, mengurus sapi, dan kuda. Sesekali keduanya membahas Simon yang sudah lama menduda, juga sesekali membahas aku dan Luciana.
Sam bahkan bertanya-tanya tentang kegiatan akademi saat tahu soal kepiawaianku bermain violin. Ia memberi pertanyaan seakan mewakili Zander untuk mengorek segala informasi apa pun mengenai aku.
Selama obrolan berlangsung, benakku justru terus berkecamuk tentang klub The Wild dan Nyonya Black. Kenapa Zander tak pernah membahas soal itu padaku?
Sam pun terkesan tak ingin membahas lebih lanjut soal The Wild dan Nyonya Black. Apa akan jadi masalah jika aku memancing cerita mengenai itu?
Ketika Zander pamit ke kamar kecil, tanpa buang waktu aku segera memutuskan untuk menanyakannya pada Sam. "Mmm, Sam, boleh aku bertanya sesuatu?"
Sam mengangguk. "Tentu. Katakanlah."
"The Wild itu klub apa? Siapa Nyonya Black? Ada hubungan apa dengan Z?"
Sam terdiam. Ia melirik ke arah tirai yang tadi dilewati oleh Zander. "Mmm, singkatnya, itu sebuah klub rahasia di Vermont. Nyonya Black adalah pemilik tempat itu. Mengenai hubungan wanita itu dengan Z ... maaf, Lea. Aku tak berhak memberitahu. Kau harus menanyakan itu pada Z."
Aku baru ingin membuka mulut lagi, tetapi urung saat Zander muncul dari balik tirai. Ia duduk kembali di tempat semula.
"Kita harus pergi," ujarnya padaku tiba-tiba. "Zane menelepon tadi, memintaku segera mengantarmu dan Luciana kembali ke hotel."
"Oh, sayang sekali. Kuharap kau membawa kabar baik saat kembali ke sini lagi," ucap Sam yang diangguki oleh Zander.
Mataku menangkap mata Sam dan Zander yang beradu, kembali mengisyaratkan sesuatu sebelum mereka sama-sama berdiri. Mau tak mau, aku pun bangkit mengikuti keduanya.
"Sampai jumpa, Sam. Terima kasih atas waktumu," pamitku sopan.
"Sungguh senang bertemu denganmu, Lea. Sampai jumpa. Kuharap kita akan bertemu lagi lain waktu," balas Sam tak kalah ramah.
Namun, aku bisa menangkap kekhawatiran di matanya. "Ya, tentu. Aku pasti akan berkunjung lagi kapan-kapan."
Sam mengangguk. "Datanglah."
Aku menatapnya beberapa saat sebelum menyusul Zander yang telah lebih dulu menaiki mobil. Kini muncul satu misteri tentang Zander di benakku.
Ada hubungan apa antara Zander dengan Nyonya Black?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro