Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 15

Zander termyata menggunakan mobilnya untuk membawa kami. Sepanjang jalan, aku, dia, dan Luciana hanya diam, sesekali saling lirik melalui kaca spion tengah.

Lelaki itu mengenakan kaus lengan panjang abu-abu dengan celana jin hitam. Sepasang sepatu kasual bernuansa gelap melengkapi penampilannya.

Aku mulai mempelajari sesuatu lagi. Aroma tubuh Zander berbeda dengan Zane. Ia memiliki keharuman maskulin yang segar, sementara kakaknya lebih ke wangi lembut rempah-rempah.

"Kalian terlihat tegang sekali. Ada apa?" celetuknya tiba-tiba.

Jantungku seketika berdebar. "Tidak ada apa-apa."

Ia melirik ke arahku sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya. "Kau terlihat berbeda hari ini."

Apa dia memiliki bakat tembus pandang? Aku buru-buru memperbaiki posisi. "Berbeda bagaimana? Itu perasaanmu saja."

"Hmm, jelas ada yang beda." Ia kembali melirik sambil mengerutkan kening menatap ke arah celana jinku. "Oh, celana jin. Kau tak memakai gaun pendek seperti biasanya. Blusmu juga terlihat beda."

Zane bahkan tak berkomentar saat melihatku memakai celana jin. Kenapa Zander justru memperhatikan begitu detail?

"Kalian memang berencana sama-sama memakai celana jin panjang dan sepatu kasual hari ini?"

Luciana lebih dulu merespons dengan tertawa geli. "Kau sangat perhatian sekali ya soal penampilan orang lain. Atau jangan-jangan kau selalu begini pada setiap wanita?"

Zander menyeringai, tanpa meliriknya. "Menurutmu?"

Luciana tampak berpikir sejenak sambil memandangi lelaki itu melalui kaca spion tengah. Ia malah beralih kepadaku kemudian. "Lea, menurutmu?"

Aku tersentak seketika. "Hah?" Mataku bertemu dengan tatapan mereka berdua kini di spion. "Oh, aku tidak tahu. Kenapa aku harus menjawab itu?"

Hening. Suasana berubah menjadi canggung lagi. Luciana pura-pura sibuk melihat pemandangan di luar jendela.

Aku pun berusaha tetap memandang lurus ke depan. Namun, mataku sesekali melirik ke wajah Zander yang berubah kaku, dengan alis bertaut, hingga di keningnya tercipta beberapa kerutan.

Bisa membaca pikiran lelaki itu, sungguh sangat kuharapkan saat ini. Namun, tidak ada terlintas sedikit pun tentang apa yang ada di pikirannya kini. Ia marah? Kesal? Memangnya dia berharap akan mendapat jawaban seperti apa?

"Kita akan singgah di bar temanku dulu."

Tak lama kemudian, ia pun menepikan mobil dan memarkirnya tak jauh dari sebuah bar bertuliskan Barret's Bar. Usai mematikan mesin, dia turun dan keluar lebih dulu tanpa berkata apa pun.

Luciana melongo sejenak. "Apa dia sedang merajuk?"

Aku mengangkat bahu sambil membuka sabuk pengaman. "Ayo, turun. Ini sepertinya bar temannya yang ia katakan tadi."

Luciana hanya mengangguk dan ikut turun. Ia menungguku untuk bersama menyusul Zander yang melangkah lebih dulu.

Bar itu cukup luas, tampak ramai oleh para pengunjung yang tengah makan dan berbincang di meja-meja tersedia. Ada sebuah panggung kecil di ujung ruangan, lengkap dengan perlengkapan live music.

Zander menghampiri seseorang berambut pirang panjang yang diikat satu secara asal. Lelaki itu tengah asyik membuat minuman di meja bar saat terkejut melihatnya. Mereka tampak akrab, terlihat dari cara sapa dengan saling membuat kode tangan tanda kekompakan.

Ada beberapa pengunjung pula yang makan di depan meja bar itu. Luciana menggamit lenganku untuk menempati meja kursi kosong, tak jauh dari situ.

Aku mendudukkan diri di kursi, berhadapan dengan Luciana sambil terus melirik ke arah Zander dan temannya. Lelaki pirang itu memiliki bewok sewarna. Usia mereka kuperkirakan mungkin sedikit jauh dari kata sebaya.

Zander mengedarkan pandangan kemudian, hingga bertumbuk padaku. Ia seperti berkata sesuatu yang segera diangguki oleh temannya itu.

Tak lama kemudian, Zander menghampiri aku dan Luciana. Ia duduk di dekatku dan langsung diam-diam mendaratkan tangan ke pahaku.

Kuraih tangannya, bermaksud hendak menyingkirkan, tetapi ia malah ganti menggenggam dan meremas jemariku, tetap menempel di atas paha. Dia tetap bersikap wajar di depan Luciana.

"Ini bar teman baikku, Simon Barret. Ia bisa dibilang, saudara lelaki tuaku, selain Zane. Mereka seumur, sama-sama berusia dua puluh sembilan tahun. Namun, Simon seorang duda setelah istrinya kabur dengan lelaki lain.

"Ia memiliki satu putra usia sepuluh tahun yang ditinggal di rumah dekat danau yang dijaga oleh seorang pengasuh. Kita nanti akan berkunjung ke sana setelah makan siang di sini. Dia berjanji akan meminta pegawainya menggantikan tugasnya di meja bar agar bisa ikut menemui putranya."

Luciana mengernyit. "Menemui putranya?"

Zander mengangguk. "Aku lumayan dekat dengan anaknya, Timothy. Aku biasa memanggilnya Tim."

Luciana mengerling ke arahku. Raut wajahnya terlihat kebingungan.

Aku memutuskan tetap diam karena fokus mencoba melepaskan jemariku dari tangan Zander. Kulihat Simon melangkah menghampiri kami bersama seorang pegawainya.

"Halo, Teman-teman Z."

Ia memberi instruksi dengan tangan untuk menaruh masing-masing gelas berisi minuman berwarna sama ke hadapan kami. "Kuharap kalian menyukai koktail klasik, kyiv mule, vodka dengan campuran bir jahe, dan jeruk nipis."

Aku hanya menganggukkan kepala tanpa kata. Luciana malah justru sebaliknya.

"Oh, aku pernah mencobanya. Racikanmu pasti enak!" Matanya berbinar memandangi Simon.

Lelaki itu mengangguk dan tersenyum sopan sambil tetap berdiri di dekat Zander. Ia menoleh ke arahku dan Luciana bergantian. "Kuharap barku ini cukup menyenangkan buat kalian."

"Ah, aku bahkan tertarik untuk bekerja di sini. Kau butuh pegawai wanita? Kulihat semuanya laki-laki di sini."

"Kita sedang liburan musim panas, Lulu," tegurku akhirnya membuka suara setelah memutuskan menyerah memperjuangkan jemariku dari tangan Zander.

Ia memainkan jemariku sesuka hati dengan meremas lembut atau kadang mengelus-elus. Sesekali dia menggenggam kuat seakan ingin menghancurkannya bak seseorang yang sangat gemas terhadap sesuatu.

Aku terpaksa menggunakan tangan kiri saat meraih gelas minumanku dan menyesap sedikit sebelum menaruhnya kembali. Koktail klasik itu terasa cukup enak.

"Z, kau tak berniat mengenalkanku dengan kedua teman barumu ini?" goda Simon.

"Oh, Simon, kenalkan, Lea dan Lulu," ujar Zander. Ia menatap Luciana kemudian. "Jika mau, kau bisa mencoba bekerja di sini selama sebulan. Liburan musim panas cukup lama. Simon tak akan keberatan."

"Tapi rencananya kami hanya seminggu di sini, bukan menghabiskan seluruh liburan musim panas selama dua setengah bulan," protesku.

"Hak Lulu jika dia mau menghabiskan seluruh liburan musim panasnya di sini, bukan?" Zander menoleh ke arahku.

Aku sontak menatapnya tanpa kedip. Apa maksudnya berkata begitu?

Baru ingin membuka mulut lagi, Simon telah menyela lebih dulu. "Tentu. Sebulan di sini. Kau bisa bernyanyi? Aku sedang butuh seorang vokalis sejak penyanyi utama kami lebih sibuk mengurus kuda dan sapi."

Aku sontak melongo. Maksudnya, Zander?

"Aku dulu penyanyi tetap di bar ini."

Mataku hanya menatap minuman dengan pikiran berkelana. Bertambah lagi informasi yang kudapat tentang Zander.

"Oh, suara nyanyianku tak begitu bagus. Aku jurusan drama. Tapi jika kau butuh pemain violin, di sini ada Lea."

"Hmm, begitu rupanya." Simon menatapku. "Kau bisa memainkan violin elektrik? Ada satu yang belum lama kubeli. Aku membelinya untuk memainkan sesekali sekaligus berharap vokalisku yang katanya ingin mempelajarinya juga kembali datang ke sini. Aku belum cukup lancar memainkannya."

Luciana sontak menjentikkan jari. "Kau bertemu orang yang tepat!" Ia menoleh padaku. "Mainkan Lost You Now dengan versi asli, Lea!"

Aku mengerjapkan mata. "Sekarang?"

"Ya, sekarang!" Luciana menelengkan kepala ke arah Simon. "Sekarang, bukan?"

Simon tersenyum. "Tentu. Aku akan segera menyiapkannya." Ia menepuk pundak Zander sebelum berlalu menuju panggung dan mulai menyiapkan violin elektrik untuk kupakai.

Ia memanggil salah satu pegawainya yang lewat di depannya dan membisikkan sesuatu di telinga lelaki itu yang kemudian segera pergi terburu-buru. Dia melambaikan tangan ke arahku untuk naik ke panggung.

"Halo, selamat datang semua yang ada di sini. Ada seorang teman hari ini yang akan menyumbangkan sebuah permainan violin elektrik diiringi oleh pemain keyboard kami, Brandon."

Terdengar tepukan gemuruh dari para pengunjung. Aku baru saja mau bangkit ketika Zander bergerak lebih dulu, mengajakku ke panggung bersamanya.

Melihatku melongo, ia tersenyum tipis. "Lagu itu tak akan lengkap tanpa sang vokalis, bukan?"

Luciana bertepuk tangan cepat tanpa suara. Matanya berbinar. "Aku akan mengabadikan duet kalian lagi dengan durasi lebih lengkap kali ini." Ia segera menyiapkan ponselnya.

Aku pun menuruti Zander, mengikutinya melangkah ke arah Simon. Lelaki itu sekilas tampak kaget, tetapi segera memberi kami kode untuk segera naik.

"Oh, ada satu tamu lagi yang sebagian dari kalian pasti sudah kenal. Dia mantan vokalis di bar ini. Kita sambut, Lea, Z, dan Brandon, membawakan lagu Lose You Now. Semoga kalian terhibur. Selamat menikmati." Suara tepukan kembali bergemuruh, sampai Simon turun dari panggung.

Brandon segera muncul dari balik panggung dan langsung menempati posisi di depan keyboard. Aku mengambil violin yang tersedia di kursi, menaruhnya di bahu kiri.

Zander mengambil posisi di depan mikropon. Ia memberi isyarat agar aku lebih mendekat ke arahnya.

"Sudah siap?" tanyanya. Usai melihatku mengangguk, dia segera memberi kode pada Brandon.

Aku pun mulai mengawalinya dengan lantunan violinku, beriringan dengan keyboard. Zander kemudian masuk dengan suara nyanyian menawan. Brandon mengiringi sembari memberikan backing vocal.

Aku berkonsentrasi memejamkan mata, menghayati alunan nada lagu. Mataku bertemu dengan mata Zander saat membuka kembali.

Ada perasaan aneh saat itu. Aku merasa seakan tengah berada di suatu dimensi asing yang hanya ada Zander di hadapanku. Saat permainan selesai, tak ada suara apa pun. Semua begitu hening.

Kemudian serentak tepuk tangan terdengar bergemuruh disusul teriakan-teriakan pujian, suitan, dan seruan meminta kami memainkannya lagi.

Simon terlihat menatap kagum dan antusias memberi isyarat agar kami melakukannya lagi. Zander pun memberi kode pada Brandon untuk mengulang sekali lagi.

Tepuk tangan terus bergemuruh hingga Zander membantuku menuruni panggung, disusul Brandon. Simon dan Luciana menyambut kami di meja kursi sebelumnya.

Mereka berdua tampak memandangi kami bangga. Entah sejak kapan, kulihat Luciana berdiri di dekat Simon, lalu duduk berdekatan. Aku pun kembali duduk di kursi sebelumnya, begitu juga Zander.

Kami menghabiskan pagi itu dengan menikmati minuman, makanan, serta mendengarkan cerita dari Simon seputar awal perkenalan dan persahabatannya dengan Zander. Mereka terlihat tertawa lepas dan kadang saling bercanda.

Bisa kulihat mereka sangat dekat, terbuka, dan akur, melebihi hubungan Zander dengan kakak kandungnya. Aku mulai melihat dan makin mengenal sisi lain dari lelaki itu.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro