CHAPTER 14
Zander pamit pagi-pagi sekali, menyisakan kehangatan tubuhnya di sampingku, tempat ia merebahkan diri. Dia baru saja pergi, tetapi aku telah mulai merindukannya lagi.
Apa aku telah jatuh cinta padanya? Atau ini karena dialah lelaki pertama yang membuatku mengenal dan merasakan pengalaman bercinta?
Otakku kusut seketika. Bagaimana mungkin aku bisa belajar mencintai Zane, jika semua yang kupikirkan adalah Zander?
Meski sering kuingatkan diri akan hal-hal buruk yang cukup memberi alasan untuk membenci Zander, tetapi segera dengan mudah hati melupakan semua kemarahan pada lelaki itu di saat ia mulai menyentuhku.
Aku seakan telah berada dalam kendali Zander sepenuhnya. Dia menguasai perasaan, pikiran, dan tubuhku setiap waktu.
Ini kacau. Bagaimana bisa aku menerima Zane? Jika pun kupaksakan untuk memilih bersamanya, bukankah itu penipuan? Menipu hatiku, juga hati Zane.
Bila kuputuskan tetap menjalani dengan keduanya, seperti saat ini, tidakkah itu akan terlihat aku seakan sengaja membuka jalan menuju pengkhianatan dan kebohongan? Bisa jadi pula hubungan persaudaraan Zane dan Zander tinggal menunggu waktu saja, menjadi hancur karenaku.
Ponselku berbunyi. Aku segera meraih dan mengeceknya. Nomor tak dikenal.
"Halo?"
"Lea, ini aku, Zane. Semalam kau tak makan malam. Aku tak mau kau juga melewatkan sarapan. Lima menit, kutunggu di luar kamarmu. Ajak Lulu."
Aku baru menyadari ada sedikit kesamaan antara Zane dan Zander. "Oh, baiklah. Aku akan keluar sebentar lagi." Aku segera mencari nama kontak Luciana dan memilihnya untuk kuhubungi.
"Halo." Suara Luciana terdengar seperti baru saja bangun.
"Zane menunggu kita untuk sarapan bersama. Waktumu lima menit, atau kami akan meninggalkanmu."
"Astaga. Lima menit? Tunggu! Aku sikat gigi dulu!"
Luciana buru-buru memutus kontak. Aku menyimpan nomor kontak Zane sebelum menaruh ponsel kembali ke atas nakas.
Kulangkahkan kaki bergegas menuju kamar mandi. Aku mungkin perlu mandi sebentar dan gosok gigi.
***
"Aku seharusnya mengajak kalian jalan-jalan ke Vermont, tetapi mendadak ada janji dengan salah satu mitra kerja sama yang baru. Namun, jangan kuatir. Aku sudah meminta Zander untuk mewakiliku menemani kalian."
Aku dan Luciana sontak saling pandang. Zane seakan tak tahu, tetap sibuk menikmati egg benedict-nya, menu sarapan kami pagi ini.
Tanganku mulai mengiris sepotong muffin dan ham, lalu menusuknya bersamaan dengan garpu sebelum memasukkan ke mulut. Kulihat Luciana pun melakukan hal sama.
Kami duduk berhadapan, di kanan dan kiri Zane yang menempati posisi ujung meja. Seperti biasa penampilan lelaki itu sangat rapi lengkap dengan rambut memakai gel tersisir ke belakang.
Luciana masih tetap dengan gaya sehari-harinya. Atasan biru muda bertali, dada terbuka, tetapi dengan celana panjang jin senada kali ini. Rambut pirang lurusnya tergerai bebas.
Ia tadi membawakanku satu celana panjang jin warna hitam. Aku sengaja meminjamnya demi menjaga diri dari serangan Zander seperti waktu itu.
Kulengkapi penampilan kali ini dengan blus putih berkancing banyak, model ikat di bagian ujungnya, yang kubeli kemarin di butik. Aku bahkan sengaja memakai hipster, ditambah boyshort, dan slip shorts. Itu tiga jenis dalaman sekaligus, belum termasuk celana panjang jin, mustahil jika dia masih dapat menembus pertahanan itu.
Kuputuskan memang untuk mempersulit Zander, bila ia hendak melakukan sesuatu seperti yang dilakukannya saat di sungai atau tangga darurat. Aku bertekat akan lebih bisa mengendalikan diri dan situasi kali ini.
Zane merogoh dan mengeluarkan ponselnya yang mendadak berbunyi dari saku celana. "Halo."
Dia mengedarkan pandangan kemudian. Tangannya melambai ke arah seseorang.
"Iya, aku di sini bersama Lea dan Lulu. Kami masih makan. Kau masuk saja. Apa? Oh, kau akan menunggu di lobi?"
Entah kenapa aku ikut celingak-celinguk mengikuti arah pandangannya. Mataku pun bertumbuk pada Zander yang juga tengah memandangi sambil berbicara di ponsel. Kupalingkan kembali kepala ke posisi semula, menunduk, menatap makanan di piring.
"Kau sudah sarapan? Oke, baiklah. Kami akan selesai sebentar lagi."
Zane memasukkan kembali ponsel ke saku celana. Dia buru-buru menghabiskan makannya. "Zander menunggu kalian di lobi. Aku sepertinya harus pergi sekarang."
Ia melirik jam di tangannya sebelum menoleh ke arahku. "Lea, aku sungguh minta maaf untuk hari ini. Ini sungguh di luar perkiraanku. Aku janji, akan menebusnya lain waktu. Oke?"
Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Kupandangi ia saat beranjak, lalu memandangi punggungnya ketika dia buru-buru melangkah pergi.
"Zane terlalu sibuk untukmu, Lea. Entahlah, aku bingung sebenarnya dia seserius apa denganmu. Aku hanya bisa melihat ia begitu mementingkan pekerjaan daripada kau. Meski dia terlihat sudah berusaha," Luciana memutar bola mata, "aku merasa ia tak menganggap kau lebih penting dibandingkan dengan pekerjaannya."
"Maksudmu, kau kini pendukung Zander?"
"Hmm, Zander terlihat lebih berusaha meski dengan caranya sendiri. Setidaknya dia sudah beberapa kali menunjukkan sisi romantis dan kejantanannya padamu, bukan?" Luciana tersenyum penuh arti kemudian.
"Aku tahu ponselmu kemarin tertinggal, tetapi tadi kau bisa meneleponku. Satu tebakanku, Zander mendatangimu semalam."
Mukaku memanas. Luciana dan Zander seperti dua makhluk supernatural yang bisa membaca diriku. "Ya, dia mengantarkan ponselku semalam."
Luciana memandang penuh selidik. "Dia memaksamu lagi melakukan itu?"
"Aku tidak tahu apakah itu bisa disebut memaksa, atau suka sama suka." Aku menggigit bibir sambil menyelipkan rambut ke balik telinga. "Jujur, aku sedikit mulai terbiasa, dan mungkin menikmatinya."
Mata Luciana melebar. "Wow, di mana perawan suci yang sebelumnya kukenal? Kau terlihat sekali sangat menyukainya, Lea. Lihat, kau tersipu, bahkan pipimu merona. Astaga."
"Tidak, Lulu! Mungkin aku hanya sedikit terbawa suasana. Maksudku, kau tahu ini pengalaman pertamaku. Aku tak tahu."
Aku mencondongkan kepala ke arahnya setelah melihat kanan dan kiri, mulai menurunkan volume suara. "Ia membuatku seperti kecanduan terhadapnya. Hanya mengingatnya saja, aku merasakan hasrat dan gairah yang kuat, Lulu. Kau tahu, bagian itu, terus berdenyut saat mengingat yang ia lakukan, bahkan saat melihatnya. Apa aku normal?"
Luciana terkesiap. "Astaga, separah itu? Jangan-jangan kau benar-benar sudah tergila-gila padanya?"
"Itu gila, bukan? Bagaimana bisa? Aku ingin membencinya, tetapi setiap ia mendekatiku, aku seketika kehilangan kewarasanku."
"Bagaimana saat kau bersama Zane?"
Kepalaku menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku seakan tak merasakan apa pun. Aku telah berusaha, Lulu. Kau pikir kenapa hari ini aku meminjam celana panjang jinmu? Kau tahu, aku bahkan memakai tiga jenis dalaman untuk melindungiku."
Mata Luciana hampir melompat dari sarangnya. "Gila. Di musim panas, memakai tiga lapis dalaman?"
"Empat dengan celana jin," sambungku dengan nada yang masih berbisik.
Luciana mengerutkan hidung, menatap ngeri. "Apa kau akan baik-baik saja? Kita akan jalan-jalan ke Vermont, entah untuk berapa lama nanti."
"Aku hanya ingin mempertahankan diri darinya, Lulu. Aku tak mau benar-benar diperlakukan sebagai budak olehnya. Kau tahu, ia memanggilku apa? Little Pet."
Luciana tanpa sadar menjatuhkan garpu dan pisaunya ke piring. Mulutnya menganga. Ia buru-buru mengembalikan kesadarannya.
"Kau harus memperjelas dulu perasaanmu, Lea. Antara Zane dan Zander, siapa yang sangat kau inginkan. Tapi ingat, kau juga harus menghitung semua kekurangan mereka. Mungkin nanti itu bisa membantumu memilih."
Aku menaruh garpu dan pisau ke piring. "Ini bukan masalah memilih, Lulu. Percayalah, aku bisa melihatnya. Perasaanku lebih condong ke Zander. Namun, justru itu yang membuatku takut. Ia menguasaiku. Dia mengendalikan pikiran dan tubuhku, Lulu."
"Jika demikian, maka situasimu gawat, Lea. Aku tak tahu bagaimana cara menghentikan perasaan. Yang kutahu, selama kau terus berada di dekatnya, itu akan sulit bagimu."
Dia diam sejenak, lalu tiba-tiba menatapku dengan sangat serius. "Omong-omong, saat melakukan itu, apa dia menggunakan pelindung?"
Aku seketika membeku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro