CHAPTER 12
"Putih atau hitam?" tanyaku pada Luciana sambil menunjukkan dua gaun sifon dengan model sama.
"Putih saja. Kau menawan dengan warna itu," sahut Zane, mendahului Luciana.
Luciana mengangguk setuju. "Putih lebih aman untukmu. Setidaknya, mamamu pasti tak akan mengomelimu."
"Hitam. Sesekali tampil berbeda warna tak ada salahnya. Jika tak pernah mencoba sesuatu yang baru, bagaimana kau bisa tahu mana yang lebih tepat untukmu?" sela Zander.
Ia terlihat menenteng sebuah kaus dan celana panjang jin hitam. Dia melangkah pergi kemudian tanpa menunggu jawabanku. Tak lama kulihat lelaki itu menyerahkan barang pilihannya pada kasir.
"Aku harus segera pergi setelah membayar ini. Ada urusan penting mendadak di Vermont. Aku akan segera kembali."
Dia berkata itu pada siapa? Zane atau aku? Agar aman, kuputuskan lebih baik tak menyahutinya.
Ia menoleh ke arah kami usai menyerahkan sebuah kartu pada kasir. "Zane, aku sudah membayar untuk gaun hitam Lea. Anggap itu hadiah dariku untuknya sebagai perayaan menyambut kedatangan calon kakak ipar yang pertama kali datang ke sini. Kau tak keberatan, bukan?"
Zane menoleh padaku terlebih dulu sebelum berpaling dan melangkah menghampiri lelaki itu. "Oh, tentu. Aku akan membayar untuk baju-baju pilihannya yang lain. Kau sungguh calon adik iparnya yang baik, Zander. Terima kasih." Ia menepuk-nepuk pundak Zander sambil tersenyum padanya.
Luciana mengerling ke arahku. Ia mendekat kemudian. "Zander membelikanmu gaun hitam itu. Padahal harganya menurutku cukup mahal. Kukira ia tak berpenghasilan cukup. Namun, dia ternyata bisa membayarnya tanpa banyak berpikir. Dapat uang sebanyak itu dari mana?"
Aku hanya diam mendengar bisikannya sambil mengamati gaun hitam di tangan. Haruskah kuambil hadiah darinya?
"Kau tahu, mamaku ...."
"Bilang saja, itu hadiah. Mamamu tak akan bisa marah. Kau tak perlu memakainya di depannya jika dia tetap melarang kau memakai itu. Kau simpan saja di lemari."
"Bagaimana jika Z mau aku memakainya?"
"Itu urusan nanti saja. Sementara ini, jangan sampai Zane tahu soal hubunganmu dengan adiknya."
Zane terlihat berbincang sesuatu beberapa saat dengan Zander sebelum lelaki itu pergi. Ia bahkan tak pamit padaku.
Entah kenapa itu membuat aku tiba-tiba merasa kecewa. Ada sesuatu yang hilang rasanya.
Zane menghampiri kami kembali. Ia tersenyum semakin ramah dan manis kini. "Oke, Para Gadis. Pilihlah lagi gaun-gaun lainnya."
***
Dari butik, lanjut belajar main golf, lalu bersantai di spa, dan makan siang di restoran, sampai kami kembali ke hotel, Zander tak muncul, bahkan tak menelepon atau mengirim pesan apa pun. Tidakkah dia tahu nomor ponselku? Atau Zane dan Nathan tak memberitahu? Rasanya tidak mungkin, bukan? Oh, aku baru sadar telah meninggalkan ponsel di rumah Zander.
Jika pun ia sulit menghubungi atau tak tahu nomorku, bukankah dia bisa menghubungi Zane? Zander sudah seenaknya bercinta denganku sebanyak dua kali pagi ini, lalu kini pergi begitu saja setelah membelikan gaun, tanpa memberi kabar sama sekali? Astaga. Dadaku ingin meledak rasanya.
Pergi ke mana dia? Ke Vermont bertemu siapa? Ada urusan apa memangnya? Sepenting apa sampai ia mengabaikanku saat ini?
Kamar tanpa Luciana rasanya begitu sepi. Aku tak menginginkan ruangan sebesar ini walau semewah apa pun tanpa ada yang menemani.
Aku merebahkan tubuh ke ranjang empuk berukuran besar, yang bisa memuat tiga atau empat orang dewasa. Ingatanku melayang pada kejadian tadi di tangga darurat. Kurasakan denyut aneh kembali.
Apa yang sudah Zander lakukan? Kusadari semua yang telah ia perbuat padaku saat menunggu matahari terbit dan di tangga darurat memunculkan hasrat dan gairah yang tak tertahankan. Rasanya aku seperti telah kecanduan.
Apa ini normal? Dia mulai membuatku gila. Aku bahkan merasa kini telah berubah jadi wanita tak tahu malu yang selalu ingin bercinta dengannya.
Jam di dinding menunjukkan pukul tiga sore. Sepertinya tak masalah jika tidur siang sebentar saja. Mungkin bisa meredam hasrat dan gairahku saat ini. Aku pun perlahan mencoba memejamkan mata.
***
Aku tak tahu telah tertidur berapa lama. Yang jelas, separuh sadar kurasakan sesuatu atau mungkin seseorang tengah mengecupi kening dan bibirku.
Kubuka mata sebisa mungkin, melawan rasa kantuk yang teramat sangat. Aku serta merta dilanda kepanikan saat melihat sosok duduk di tepi kasur dalam cahaya remang oleh cahaya dari luar yang menembus kaca jendela.
Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke kamarku?
Aku sontak mencoba berteriak sambil berontak. Namun, sebuah tangan membekapku dengan cepat.
"Sshh, ini aku." Ia menyalakan lampu meja di dekat ranjang.
Mataku membulat. Buru-buru kutegakkan punggung bersandarkan tumpukan bantal. "Zander? Bagaimana kau bisa masuk ke sini?"
Ia memutar bola mata. "Ini hotel milik keluargaku. Tentu saja aku bisa masuk ke sini dengan meminta kunci."
"Apa? Kenapa kau ke sini?"
Dia merogoh saku jaket, mengeluarkan sebuah benda. Ponselku. "Kau meninggalkan ini di kamar. Aku membawakannya untukmu."
"Oh. Terima kasih." Kuambil ponsel itu, menaruhnya di atas nakas. Aku kembali memandanginya. "Kau dari mana saja? Kenapa tak memberi kabar pada Zane?"
"Ia sudah tahu aku pergi ke mana. Dia tak memberitahumu?"
"Tidak. Aku pikir dia juga hanya tahu kau ke Vermont. Kau pergi menemui siapa? Ada urusan penting apa?"
Zander mengawasiku intens. Sudut bibirnya terangkat. "Sejak kapan kau secerewet ini padaku?"
Mukaku memanas. "Kalau tak mau memberitahu, ya sudah. Aku tak mau peduli lagi. Pergilah! Aku mau tidur!"
"Little Pet, kau terus memikirkanku?"
Aku melengos dan bersiap hendak merebahkan tubuh lagi, tetapi Zander justru menarik lenganku. Kucoba melawannya. "Kau mau apa? Cepat pergi sebelum Zane tahu kau di sini!"
"Dia pergi bersama papaku menemui rekan kerja sama yang baru. Ia tak akan ke sini dalam waktu dua jam aku rasa."
"Dua jam?" Mataku membulat. "Kau berencana akan di sini selama dua jam?!"
"Kalau pun datang, ia tak akan mengetuk pintumu karena aku telah menaruh pesan agar tak diganggu di depan pintu kamarmu." Ia menyeringai, mengabaikan delikan mataku. Dia bangkit dan menyalakan lampu di ruangan meja bar. "Kau belum makan malam. Aku membawakanmu seloyang pizza. Di lemari pendingin ada bir, minuman soda, dan jus. Di mini bar ada wine, sampanye, dan minuman lain. Kau mau yang mana?"
Aku menengok jam di ponsel. "Ini sudah jam sebelas malam."
"Ya, seperti yang kubilang. Zane tak akan datang ke sini. Dia tak akan mau mengganggumu di saat seperti ini. Apalagi aku sudah menaruh kartu pesan di depan pintu."
"Maksudku, ini sudah melewati jam makan malam."
"Baru lewat satu menit. Makanlah." Ia melangkah menuju mini bar, mengambil sebotol wine dan menuangkannya ke gelas. Dia menyesap minuman itu sambil berjalan menuju meja makan. "Sini, Little Pet."
Apa-apaan dia. Malas berdebat aku memaksa diri untuk beranjak menghampirinya. Perutku mendadak mengeluarkan suara protes.
Ia tertawa kecil. "Ayo makanlah, Little Pet."
Aku memasang wajah masam. Namun, memutuskan menurutinya. Kududukkan diri di kursi di dekat lelaki itu.
Kubuka kotak pizza, lalu mengambil sepotong, menggigit dan mengunyahnya pelan. Ia beranjak menuju kulkas mini, lantas kembali dengan membawa sekaleng bir dingin.
Aku mengamati kaleng bir di tangan Zander. Ia membukanya, lalu meletakkan minuman itu di hadapanku.
Usai menelan potongan pizza, kuraih minuman itu dan meneguknya. Zander hanya diam mengamati sambil menyesap wine.
Aku hanya sanggup menghabiskan dua potong pizza berukuran medium itu. Zander menyingkirkan sisanya tanpa bicara apa pun.
"Mandilah. Ganti bajumu dengan gaun hitam yang tadi kubelikan untukmu."
Dahiku mengernyit. "Buat apa? Aku tak berencana untuk memakainya."
Zander menaruh gelasnya di meja sambil terus memandangiku. "Kenapa?"
"Mom tak akan mengizinkan."
"Aku memintamu memakainya di sini. Aku mau melihatmu memakai itu."
Aku menatapnya heran. "Itu bukan gaun tidur."
"Memangnya kenapa? Kau bisa tidur dengan baju apa pun, bahkan telanjang sekali pun."
"Kau gila ya?" Mataku mulai menyorot. "Kau bahkan tak menjawabku tadi. Kau menemui siapa di Vermont? Ada urusan penting apa di sana?"
"Kau bertanya karena memang peduli atau sedang mencurigaiku? Atas dasar hubungan apa?" Ia menyeringai.
Aku ingin sekali menampar lelaki itu. Bisa-bisanya dia berkata begitu.
Namun, jika harus jujur pada diri sendiri, apa hubungan kami? Hanya karena kami telah bercinta, tidak seharusnya aku merasa berhak memiliki.
"Fine." Aku bangkit dan berlalu meninggalkannya.
"Mandi dulu, lalu pakai gaun pemberianku."
Aku tak mau menoleh. "Tidak." Langkahku terus berlanjut menuju ranjang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro