CHAPTER 10
Aku memandang pantulan diri di kaca. Gaun pendek putih di atas lutut lengan panjang berbahan kasmir bercorak bunga-bunga kecil menutupi dada, seperti biasa, yang untungnya bisa kubeli setelah dapat persetujuan Mom. Sepasang sepatu bot hitam turut melengkapi penampilanku.
Luciana mengawasiku dari belakang. "Kau yakin rambutmu tak mau kukepang dua sekalian? Penampilanmu sudah sangat cocok sebagai perawan suci. Oh, aku lupa, kau sudah kehilangan gelar itu."
Aku memutar bola mata mendengar ucapannya. "Setidaknya aku memilih sendiri untuk baju yang satu ini."
"Ya, jika pilihan mamamu itu akan penuh renda, bahannya lebih tebal, dan panjangnya bahkan menutupi kedua paha indahmu. Kau beruntung. Aku tahu itu." Ia bahkan tak tersenyum saat mengucapkan ejekannya.
"Sudah bagus dia mulai mengizinkanku memakai gaun sebatas lutut, atau seperti sekarang, sedikit di atas lutut. Sebelumnya kau tahu sendiri bagaimana penampilanku, bukan?"
Luciana mengangguk-angguk. "Rok atau gaun panjang semata kaki. Itu sudah paling bagus.. Bonusnya, renda-renda." Ia menggeleng-geleng kemudian. "Jika itu mamaku, aku akan menyuruhnya membunuhku sekalian."
Kami saling pandang sejenak di pantulan kaca, lalu sontak tertawa geli berbarengan. Luciana seperti biasa terlihat santai dengan atasan sifon bertali dan celana jin pendek. Ia juga mengenakan sepatu bot hitam berhak datar, sama sepertiku.
Atas ajaran Luciana, aku membawa sepatu kanvas, bot berhak pendek semata kaki, dan hak bertali setinggi lima senti. Mom akan memelototiku jika kugunakan yang lebih tinggi dari itu.
Luciana awalnya biasa memakai sembilan senti, tetapi kemudian ikut beralih memakai ukuran yang sama denganku. Alasannya biar tak terlihat curang jika ia terlihat lebih tinggi.
"Sudah siap? Ayo, kita turun sarapan dulu," ajaknya.
Aku menganggukkan kepala sebelum beranjak. Kutoleh sekali lagi ke kaca. Maskara, bedak tipis, dan lipstik nude yang terlihat glossy di awal, lalu matte saat kering, terlihat natural seperti biasa. Sebelum Luciana berteriak, kakiku segera melangkah mengikutinya.
***
Suasana sarapan terkesan begitu tenang dan damai, bagi Zane dan Betty tentunya. Buatku, Luciana, dan Zander, tentu saja berbeda.
Bisa kurasakan ketegangan di wajah Luciana dan kecemburuan di mata Zander. Aku? Well, tentu saja penuh dengan dentuman meriam di jantung, ditambah keringat dingin, serta muka yang memanas.
Berkali-kali aku hampir tersedak saat Zander, yang duduk di sisiku, diam-diam menyentuh paha. Luciana seharusnya tak duduk di hadapannya.
Niat Luciana awalnya adalah agar aku bisa berhadapan dengan Zane. Namun, siapa sangka, Zander malah justru memilih lebih dulu duduk di sampingku tanpa rasa malu.
Jadilah suasana sarapan seakan sebuah drama ketegangan, bercampur kepanikan, dan kecemburuan. Bisa jadi Zane pun merasa cemburu saat melihat Zander dan aku duduk berdampingan. Namun, lelaki itu seakan tak mau memperlihatkan. Ia terlihat tetap bersikap tenang.
"Betty, masakanmu selalu enak. Kau harus bertanggung jawab jika aku menjadi gendut sepulang dari sini," celetuk Luciana sambil menyendok pancake dengan garpu, memasukkannya ke mulut.
Betty tertawa geli. "Kalian ini para gadis terlalu berusaha menjaga berat badan, pada akhirnya nanti saat berkeluarga akan lupa soal diet sepertiku."
Aku meraih segelas yogurt, menyesapnya sedikit, lalu menaruh gelas itu kembali. "Kami sebenarnya tak enak hati karena belum berkesempatan membantumu di dapur."
"Oh, jangan dipikirkan, Sayang. Kalian santai saja, nikmati liburan kalian. Aku terbiasa bekerja sendiri di dapur. Aku kuatir kalian tak akan setahan Zander mendengar ocehan, teriakan, atau omelanku." Ia tertawa kemudian, diikuti oleh Zane dan Luciana.
Aku tersenyum sambil berusaha diam-diam menjauhkan tangan Zander yang kembali menjamah pahaku. "Aku tak keberatan. Aku selalu ingin belajar memasak. Mamaku tak pernah mengizinkanku masuk dapur."
Mata Betty berbinar. "Oh, tentu, tentu. Kau bisa mencobanya nanti, kapan pun kau mau, aku akan mengajarkanmu. Selama ini aku hanya mengajari Zander. Ia sudah menguasai hampir semua masakanku. Ia bisa membantumu. Kau pasti akan mahir memasak nanti."
Kurasakan elusan di area pinggang, mengarah bokong. Sial. Aku salah bicara sepertinya.
Zane berdeham. "Aku memang tak punya waktu sebanyak Zander, terutama untuk hal ... memasak. Namun, aku bisa membawamu ke tempat-tempat indah yang ada di pusat kota nanti, Lea. Atau jika kau mau belajar segala hal tentang komputer, aku bisa membantumu."
"Wah, kau seorang IT?" sambar Luciana.
"Zane memang kuliah di bidang komputer dulu," sahut Betty. "Karena itu, dia lebih banyak menghabiskan waktu bekerja membantu papanya di kantor hotel."
"Aku juga lulusan manajemen, Mom, kau lupa itu?" ujar Zane sambil tersenyum pada Betty.
Ekor mataku menangkap seringai samar di sudut bibir Zander. Rahang lelaki itu terlihat bergerak-gerak, seakan tengah mengertakkan gigi.
"Oh, iya. Aku lupa betapa pintar dan berbakatnya putra sulungku ini." Betty tertawa riang. "Ah, aku tak sadar bahkan sudah menghabiskan pancake-ku." Ia meminum yogurt-nya kemudian hingga tandas.
"Hmm, lalu bagaimana dengan Zander?" celetuk Luciana lagi. "Tak ada yang memberitahu ia lulusan apa? Apa ia hanya memasak, mengurus peternakan, perkebunan, dan memperbaiki mesin atau alat-alat yang rusak?"
Suasana berubah hening seketika. Aku bahkan takut membuat suara saat meletakkan gelas yogurt-ku setelah menyesapnya tadi.
"Terlepas dari banyaknya waktu yang Zander miliki, dia lulusan teknik mesin, tetapi ... belum bekerja di mana pun, kecuali di rumah atau jika ada tetangga yang membutuhkan tenaganya. Ia tak cocok bekerja di kantoran. Adikku ini cukup berbakat di seni sebenarnya. Ia pandai bernyanyi dan suka menggambar."
"Oh, seperti melukis? Melukis apa?" tanya Luciana lagi, entah karena sungguh antusias ingin tahu atau ada alasan lain."
"Aku hanya suka menggambar sketsa. Kadang aku membuat sketsa mesin, bangunan, benda-benda, atau Sonya, bahkan aku pernah mensketsa Hugo, Joana, dan Betsy."
"Hugo? Joana? Betsy?" Luciana mengerutkan kening, mewakiliku.
"Tiga sapi milik mamaku."
Aku sontak terbatuk untuk menutupi tawa yang hampir lolos. Luciana malah justru terpingkal-pingkal sembari menepuk keras bahu Zane di sebelahnya, hingga hampir tersedak. "Hugo, Joana, dan Betsy, nama-nama sapi."
"Aku tak suka menamai hewan peliharaan, tetapi Zander membuatku terbiasa memanggil mereka dengan nama-nama itu," sungut Betty.
Zane berdeham, berusaha tetap tenang. "Aku sudah selesai. Apa kita sudah siap berangkat?"
"Tentu," sahutku sambil bersiap beranjak, sekaligus membebaskan pahaku dari cengkeraman Zander.
"Kita akan berjalan-jalan di pusat kota, lalu singgah di hotel milik kami. Jika suka, kalian bisa menginap saja di sana. Aku sudah siapkan suite room buat kalian."
"Ah, tetapi bukankah tadi Lea ingin belajar memasak di sini? Jika ia menginap di hotel, aku dan Zander akan gagal mengajarinya." Wajah Betty terlihat muram.
"Aku akan mencoba menginap di sana selama beberapa hari atau paling tidak dua malam, lalu kembali ke sini. Bagaimana?" usulku.
"Semalam saja, setelah itu kau bisa kembali ke sini."
Aku sontak menatap tajam pada Zander. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu di depan kakaknya?
"Hei, tunggu. Aku berhak memilih juga, bukan? Bagaimana jika aku mau tinggal lebih lama di hotel?" sambar Luciana, mengarahkan tatapan menyorot ke Zander.
"Kau bisa tinggal di hotel lebih lama. Zane bisa menemanimu di sana. Kau kan tak berniat belajar memasak bersama mamaku." Zander memberi tatapan seakan mengintimidasi ke arah Luciana, mengabaikan tatapanku.
Zane berdeham kembali sambil menepuk pelan lengan Luciana yang terlihat dongkol. "Baiklah. Kita lihat nanti saja. Kita berangkat sekarang." Ia segera beranjak, mengulurkan tangan dengan telapak membuka ke atas ke arahku.
Aku segera menyambut dengan menaruh tanganku ke telapaknya. Kami berjalan lebih dulu setelah menganggukkan kepala dan memberikan senyuman pada Betty.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro