Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Yang ditunggu Tak Kunjung Datang

Sena turun dari mobil, melangkahkan kaki jenjangnya cepat menuju ke dalam gedung perusahaan miliknya. Dengan wajah ditekuk, ia mengabaikan setiap sapaan yang tertuju padanya. Sang sekretaris, Surya yang sekaligus sahabatnya pun terheran melihatnya. Tak biasa-biasanya sang bos seekspresif itu. Maklum saja, semenjak kepergian Arin-mendiang istrinya, ia terlihat berwajah dingin tanpa ekspresi. Dan baru akhir-akhir ini, tepatnya usai Sena menikah, ia terlihat lebih ekspresif.

“Cemberut aja mukanya Bos? Lu kenapa?” tegur Surya berjalan mendekat, ia berniat ingin menggoda si bos, agar moodnya kembali.

Sena seakan tuli dan bisu, sedikit pun ia tak menggubrisnya, menolehnya pun tidak. Sena justru berjalan cepat, tatapannya lurus ke depan menuju ke ruangannya. Ia membuka handle pintu dengan tak sabaran, mengayunkan kaki ke dalam ruangan serta membanting daun pintu agar pintu kembali tertutup.

Sena memilih duduk di singgasananya. Dengan wajah yang masih muram, ia menatap tajam lurus kedepan, tangannya mengepal kuat hingga buku-buku kukunya memutih.

"Arrrgh!" serunya sembari menggebrak meja dengan kasar.

Surya yang masih berdiri ditempat sayup-sayup mendengar suara Sena.

"Seperti suara Sena, kenapa dia?" gumamnya lirih.

Surya yang merasa sesuatu terjadi kepada sang bos pun berlari menghampiri ruangan Sena. Ia menerobos masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Bos, kenapa?" tanya Surya yang saat ini sudah berada di dalam ruangan Sena. Ia terlihat begitu khawatir.

Melihat keberadaan Surya di depannya, Sena sedikit terkejut. Sena menggelengkan kepala cepat lalu memijatnya pelan. "Bukan apa-apa," tuturnya kepada Surya, ia bingung harus menjawab apa karena ia pun tidak tahu penyebab akan kemarahannya yang tidak jelas pagi ini.

"Yakin, bukan apa-apa?" Surya menatap lekat wajah Sena untuk memastikan.

Sena terdiam, ia enggan untuk menjawabnya. Hanya sebuah gidikan bahu dan gelengan kepala yang diiringi helaan nafas kasar saja sebagai jawabannya. Surya berdecak kesal  melihatnya, ia yakin ada sesuatu yang terjadi kepada sahabatnya.

"Semalam gak dikasih jatah sama bini lu ya? Hayo ngaku!" cecar Surya yang membuat Sena memutar bola matanya jengah.

"Mesum terus ya otak lu!" desis Sena, ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kerja dan menaikkan kakinya ke atas meja.

Surya menarik kursi di depan meja kerja Sena, ia lantas duduk disana. "Lho benar dong pertanyaan gue? Alasan pengantin baru cemberut terus tuh pasti gak dapat jatah kalau enggak ya berarti lagi berantem, ya kan?" ujar Surya yang bersikukuh dengan opininya.

Sena lagi-lagi mengedikkan kedua bahunya. Ia memilih diam, enggan menanggapi ucapan Surya.

"Jadi kamu berantem sama dia? Kenapa?" cecar Surya seolah paham apa yang sedang terjadi kepada sahabatnya itu.

"Gue gak tau!" jawab Sena santai.

"Dasar manusia aneh! Bisa-bisanya marah tapi gak ada alasannya! Lu kesambet apa gimana sih, Sen?" ejek Surya.

"Gue gak tau!"

"Dihh! Aneh kamu, Sen."  Surya bergidik ngeri mendengar pernyataan Sena.

"Dah lah, gue mau kerja!" Surya bangkit dari tempat duduknya dan berlalu pergi.

Surya meninggalkan ruangan kerja Sena, meninggalkan sang bos sendirian tercenung menyelami rumitnya isi hati.

Di lain tempat, Mita melangkahkan kaki santai masuk ke dalam rumah dengan sebelah tangan menggandeng tangan bocah laki-laki kecil yang masih mengenakan pakaian seragam taman kanak-kanak.

"Sayang, kamu ke kamar dulu ya? Nanti Mama nyusul," tutur Mita mengusap lembut kepala Dafin.

Mita berjalan menuju kamar yang ia tempati bersama seorang pria yang beberapa waktu lalu telah resmi berstatus suaminya. Ia mengambil laptop serta beberapa buku kuliah miliknya dan mengambil beberapa potong baju lalu ia membawanya menuju kamar Dafin.

"Mama," panggil Dafin berjalan mendekat.

"Sayang, ayo ganti baju dulu setelah itu kita makan." Mita meletakkan beberapa pakaiannya di dalam lemari Dafin, lalu mengganti pakaian Dafin dan mengajaknya untuk turun ke lantai bawah.

Mita dengan telaten menyuapi Dafin, ia juga menyayangi dan memperlakukan Dafin layaknya anak kandung sendiri.

Drrrt drrrt drrrt

Sebuah panggilan telepon masuk, Mita meletakkan piring yang pegang, menyambar ponsel yang ia letakkan di atas meja.

"Halo, ada apa, Din?" tanya Mita kepada Dini yang merupakan salah satu teman kuliahnya.

"Mit, proposal kita diterima. Besok kita mulai magang."

"Beneran, Din?" tanya Mita tak percaya.

"Iya bener. Aku share infonya via chat ya nanti."

"Ah iya, oke oke. Terima kasih ya, Din."

"Siap, aku tutup dulu ya teleponnya."

"Oke."

Tut tut tut, sambungan telepon terputus. Mita memeluk ponselnya sembari tersenyum girang. Dalam hatinya tak henti bersyukur. Ia senang sekali, salah satu syarat untuk mengerjakan skripsinya sudah terpenuhi.

"Mama kenapa?" tanya Dafin yang membuat Mita tersadar.

Mita meletakkan kembali ponselnya, ia mengulurkan tangannya mengusap lembut pipi Dafin sembari tersenyum tipis. "Mama sedang bahagia, Sayang."

"Kenapa, Ma?"

"Tugas Mama mendapat nilai bagus," tutur Mita yang tak mungkin menjelaskan apa alasan dia bahagia sebenarnya.

"Mama sekolah?" tanya Dafin dengan polos.

Sembari menyuapi Dafin, Mita pelan-pelan menjelaskan jika dirinya juga sekolah seperti Dafin saat ini dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak-anak.

"Kenapa Papa malah bekerja?"

Mita memejamkan mata sejenak mendengar pertanyaan sang putra itu. Ia menghirup udara banyak-banyak dan memikirkan jawaban apa yang akan ia katakan kepada Dafin dengan hati-hati dan mudah dimengerti.

"Sekarang Dafin paham?" tanya Mita memastikan.

Dafin mengangguk-anggukkan kepala sembari tersenyum tipis. "Dafin ngerti kok, Ma."

"Bagus, anak pintar."

***

Sena melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, ia menghela nafas lalu menghembuskannya kasar.

"Sudah jam tujuh ternyata," desianya pelan.

Sena segera menyelesaikan pekerjaannya dan bergegas untuk segera pulang. Sebelum pulang ia ingin memastikan keberadaan istri dan anaknya saat ini. Ia mengirim pesan kepada Mita namun tidak ada balasan sama sekali meski sang istri terlihat online.

"Sial! Berani sekali dia mengabaikan pesanku!"

"Awas saja nanti!"

Sena menelepon maid di rumahnya, bertanya apakah Mita dan Dafin sudah pulang ke rumah. Setelah mendapatkan jawaban dari salah seorang maidnya, ia pun bergegas untuk pulang.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sena mematikan komputernya dan keluar dari ruangan. Ia berjalan santai menuju lift yang akan membawanya ke lantai dasar.

Sena meminta seorang supir kantor untuk mengantarnya pulang. Sampai dirumah ia melihat jam sudah jam setengah sembilan kurang sepuluh menit.

"Kok sepi?" tanya Sena kepada salah seorang maid yang terlihat merapikan meja makan.

"Nyonya sama Aden di kamar, Tuan. Baru saja selesai makan."

"Oh gitu, baiklah saya akan melihatnya." Sena melangkahkan kaki menaiki anak tangga setengah berlari, ia segera berjalan menuju kamar Dafin.

Sena mengintip dari celah pintu yang terbuka, ia melihat Mita sedang menemani Dafin tidur. Sena tersenyum tipis, ia pun menutup pintunya perlahan dan berjalan menuju kamarnya.

"Sebaiknya aku mandi dulu," gumam Sena masuk ke dalam kamar mandi.

Usai mandi Sena merebahkan dirinya di ranjang dengan posisi kepala bersandar pada tumpukan bantal. Ia sengaja tidak langsung tidur karena menunggu sang istri masuk ke dalam kamar. Sedangkan yang ia tunggu ternyata tidak kunjung datang.

"Sudah jam sebelas, kenapa dia belum masuk ke kamar? Apa dia ketiduran disana?" gumam Sena melirik ke arah jam di nakas.

Sena menyibak selimutnya, ia bangkit dari posisinya, berjalan ke kamar sang putra memeriksa keberadaan sang istri. Dan benar dugaannya, sang istri telah tertidur pulas memeluk putranya. Sena menghembuskan nafas kasar, ia membenahi selimut agar menutupi tubuh anak dan istrinya dengan baik lalu kembali ke kamarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro