Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Menikahlah

Bocah kecil bernama Dafin itu menganggukkan kepalanya kecil, dari bibir mungilnya terus keluar kata “Mama” yang diiringi isak tangis memilukan. Nia menghela nafas panjang. Ia mengusap pucuk kepala cucu kesayangannya itu lalu memeluk tubuh ringkihnya dengan sayang, mencoba menenangkan hati sang cucu.

“Sayang, dengerin Oma ya. Nanti Papa akan kasih Mama buat Dafin, tapi enggak bisa sekarang ya? Karena Papa harus tanya Mama dulu mau enggak jadi Mamanya Dafin begitu, Sayang,” jelas Nia lembut dan penuh kasih sayang.

“Benar, Oma?” tanya Dafin yang mulai berhenti menangis.

“Oma janji, Sayang.” Nia mengacungkan jari kelingkingnya ke arah Dafin yang kemudian disambut dengan kaitan kelingkingking mungil Dafin.

Dafin melompat kegirangan, ia tidak berhenti memanggil-manggil “Mama” sembari tersenyum ceria. Wajahnya tampak begitu bahagia dan penuh harap membuat Nia tersentuh hatinya.

“Mama ... Mama ... Mama ....”

Sena meneguk ludahnya susah payah mendengar perkataan sang ibu, tetapi ia lega melihat sang putra yang berhenti menangis dan terlihat bahagia. “Terima kasih, Mi,” ucap Sena lirih namun masih bisa di dengar oleh Nia.

“Kita perlu bicara serius, Sen.” Nia menatap Sena dengan tatapan mautnya.

Sena menganggukkan kepala, firasatnya buruk. Ia bisa menduga sang ibu pasti akan menyeramahinya panjang lebar atas kejadian ini dan yang paling parah adalah mendesaknya untuk segera menikah.

Kini anak dan ibu itu sedang duduk berhadapan. Sementara Dafin ia sedang asik bermain robot-robatan miliknya. Nia menghela nafas panjang sebelum ia memulai pembicaraan yang menurutnya sangatlah serius ini.

“Jadi apa yang ingin, Mami bicarakan?” ucap Sena memulai obrolan mereka.

“Menikahlah, Sen.” Nia menatap sang putra dengan tatapan mengunci.

Sena memijit-mijit batang hidungnya, ia sudah menebak sang ibu akan membicarakan masalah ini lagi. “Sena gak bisa, Mi. Mami tahu sendiri Sena ini gak ada calon.”

"Sena gak punya waktu, Mi," lanjut Sena.

Nia menggelangkan kepalanya. “Tapi kamu bersedia kan?” tukas Nia mendesak sang putra.

Sena terpaksa menganggukkan kepalanya meski dirinya sebenarnya tidak ingin, tetapi dia juga tak bisa membiarkan drama putra semata wayangnya terjadi lagi dikemudian hari. “Mau, Mi.”

“Oke, bagus.” Nia mengambil ponselnya. Ia menunjukkan foto seorang gadis kepada Sena yang membuat Sena bertanya-tanya siapa gadis tersebut.

“Siapa dia, Mi?” tanya Sena sembari mengamati foto pada layar ponsel sang ibu. Tidak jelek, tetapi tidak juga cantik seperti mendiang istrinya.

Nia mengambil ponselnya kembali, ia mengirimkan sebuah kontak telepon kepada sang putra dengan nama “Aira Laksmita” yang membuat kulit di sekitar dahi Sena berkerut. Nama itu, ia seperti tidak asing baginya, ia berusaha mengingatnya namun ia tidak juga menemukan jawabannya.

“Datang dan bicaralah dengannya secara baik-baik.” Nia beranjak dari tempat duduknya lalu mengajak sang cucu untuk pergi dari kantor Sena.

Sena terdiam sejenak,  ia mencerna perkataan sang ibu lantas mulai berpikir apa yang akan ia lakukan setelah ini. Ia tidak mungkin menghubungi gadis itu terlebih dahulu lalu dengan tiba-tiba mengajaknya menikah. Tentu saja ia tidak akan mau melakukan hal-hal yang bisa membuatnya malu. Ia pun mempunyai cara. Ia meminta sang sekretaris untuk membantunya mencari tahu siapa gadis yang ada dalam foto tersebut.

“Surya, kemarilah!” ucap Sena melalui sebuah sambungan telepon.

Tak lama kemudian seseorang dengan tubuh atletis dengan wajah yang tak kalah tampan dengan Sena datang. “Ada apa, Bro?” tanyanya dengan santai.

“Duduklah!” Sena menyodorkan ponselnya kepada Surya yang membuat Surya terkekeh.

“Lu disuruh kawin sama gadis cantik ini?” tebak Surya yang dibalas anggukan kepala oleh Sena.

“Gimana menurut  lu, Sur?”

“Ya sudah sih, kawin ya tinggal kawin saja! Sudah ada calonnya, cantik pula kurang apa lagi?” ucap Surya dengan gaya coolnya.

Sena melempar sebuah map kepada sang sahabat yang juga merupakan sekretaris pribadinya itu tepat mengenai wajahnya karena kesal. “Enak banget ya lu ngomongnya gitu ke gue!”

Surya memutar bola matanya malas. Ia lantas menghela nafas panjang. Kini ia mengerti apa maksud sang sahabat. “Kenapa? Lu minta gue ngelakuin apa?”

Sena diam sejanak, ia mulai berpikir. Detik selanjutnya ia menyuruh Surya untuk menemui gadis itu dan mencari tahu segala hal tentangnya. Namun, langsung ditolak oleh Surya. “Dih! Ogah! Gue gak mau! Tar dia jatuh cinta sama gue makin berabe urusan!”

“Ya terus gimana dong?”

“Ya udah sih lu tinggal bilang sama nyokap lu buat temuin lu sama doi. Bilang aja lu udah oke gitu,” tutur Surya memberi saran.

Sena tak mau ambil pusing, ia menuruti saran dari sang sahabat karena ia memang tidak pandai dalam urusan menggaet hati wanita. Sena mendial nomor telepon sang ibu lalu mengatakan jika dirinya sudah berpikir dan bersedia untuk menikah dengan gadis pilihan ibunya secepatnya.

“Kamu salah minu obat, Sen?” tanya Nia merasa terheran.

“Enggak kok, Mi. Sena serius dengan apa yang Sena katakan. Mami atur saja pertemuan kita dengan keluarganya.”

“Ini menikah, Sen. Ini gak main-main dan bukan untuk sehari dua hari, lho! Apa kamu beneran gak mau kenal dulu gitu sama dia? PDKT gitu kalau kata kids jaman now.”

“Enggak usahlah, Mi. Sena ini sudah tua! Mami juga tahu Sena ini kaku orangnya, mana bisa Sena melakukan seperti saran Mami. Dan lagi, Sena butuh ibu untuk Dafin cepat kan, Mi?  Jadi kalau dia sudah kenal dan akrab sama Dafin tunggu apa lagi?”

“Nanti dia malah berubah pikiran lagi!” celetuk Sena.

Nia pun mengabarankan berita ini kepada sahabatnya secara langsung. Ia menemui sahabatnya seminggu lalu. Meminta Mita sebagai menantu dan ibu sambung bagi cucunya.

“Gimana, Jeng menurutmu?” tanya Nia kepada Marta.

Marta mengedikkan bahunya seraya menggelengkan kepalanya pelan. “Aku gak tahu, Jeng. Aku gak bisa memaksa Mita untuk ini.”

Nia menganggukkan kepalanya paham. “Aku akan memberikan semua yang Mita mau jika ia bersedia menikah dengan Sena dan menjadi ibu sambung Dafin.”

“Tolong bicarakan ini dulu baik-baik dengan putrimu, Jeng,” imbuh Nia.

Sebenarnya Marta kurang setuju jika Mita putri semata wayangnya harus menikah dengan seorang duda beranak satu. Apalagi memaksa Mita menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak ia cintainya seperti ini. Tentu saja ia tidak mau dan tidak tega melakukannya. Namun, ia juga tidak bisa berkata tidak kepada sahabatnya begitu saja. Tentu saja ia tidak ingin menyinggung perasaan sang sahabat yang telah banyak membantunya.

“Baiklah, aku permisi dulu ya. Ta? Aku harus segera pulang karena cucuku menungguku,” pamit Nia kepada sang sahabat.

“Iya, Ni. Aku juga harus segera pulang karena suamiku di rumah sendirian.”

Dan disinilah Mita sekarang, berada di tengah-tengah keluarga besarnya dan keluar besar calon suaminya sedang membicarakan tanggal pernikahan mereka. Mita terus menunduk, ia tidak berani sekalipun mendongakkan mata melihat sosok sang calon suami yang saat ini duduk di seberangnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro