Menginap
Disela makan siang Dafin merengek minta Mita untuk ikut pulang dengannya. "Mama, nanti malam
temenin Dafin bobok ya?” pinta Dafin polos yang membuat Mita terdiam sejenak.
Bukannya Mita tidak mau, tetapi bingung harus menjawab apa saat ini mengingat dia dan Sena
belum resmi sebagai suami istri, rasanya tidak pantas jika ia mengiyakan keinginan Dafin begitu saja
tanpa persetujuan dari Sena maupun Nia. Mita menoleh kearah Sena dan Nia, menatap keduanya
dengan penuh tanya seolah meminta bantuan kepada keduanya untuk menjawab pertanyaan Dafin.
Nia yang mengerti apa arti dari tatapan Mita pun segera membuka suara. “Coba Dafin tanya Papa
dulu, boleh tidak kira-kira Mama Mita menginap di rumah malam ini,” tutur Nia mencoba
menengahi.
Sena membelalakkan mata sempurna, di dalam hatinya merutuki ucapan sang ibu yang menurutnya
membuat posisinya terpojok itu. “Sial! Kenapa aku lagi sih!” desis Sena dalam hati.
Melihat sang ayah hanya diam saja dan tak merespon Dafin pun menangis, hal itu membuat Sena
mau tak mau harus menganggukkan kepalanya dan berkata iya agar sang putra berhenti menangis.
“Oke, hanya malam ini saja,” tutur Sena yang membuat Dafin berhenti menangis dan bersorak
kegirangan.
“Yeay! Ayo kita pulang, Ma,” ajak Dafin antusias.
Seketika dada Mita merasa sesak mendengar kata iya dari Sena, jantungnya berdegup kencang,
bayangan-bayangan keintiman mereka saat malam nanti mulai berkeliaran di pikiran Mita yang
membuat Mita tak bisa menahan senyumnya untuk tidak merekah.
Usai makan siang, Mita, Sena dan Dafin masuk ke dalam mobil yang sama. Sementara Nia ia
menggunakan mobil yang berbeda untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Dalam perjalanan
pulang, Dafin terlihat begitu gembira di pangkuan Mita. Dafin banyak mengobrol dan terlihatbegitu
dekat dengan Mita. Hal yang tak pernah Sena lihat sebelumnya ketika Dafin belum bertemu dengan
Mita.
***
Begitu sampai di rumah, Dafin menggandeng Mita masuk ke dalam rumah dan mengajaknya
bermain. Namun, Mita menolaknya, ia membujuk Dafin untuk berganti pakaian dan tidur siang
terlebih dahulu. Sena yang merasa sudah tidak dibutuhkan lagi pun memutuskan untuk pergi ke
kantor.
“Aku mau balik ke kantor, tolong jaga Dafin,” ucap Sena datar sebelum ia melangkahkan kaki keluar
rumah.
“Baik, Mas.” Mita meminta Dafin menunjukkan kamarnya, ia mengganti pakaian Dafin dengan
pakaian rumahan lalu mengajak Dafin untuk pergi tidur siang.
“Sayang, sekarang kita tidur siang dulu ya? Nanti sore kita bermain, bagaimana?” tutur Mita
mengusap lembut pucuk kepala Dafin.
Dafin menganggukkan kepalanya setuju, ia meminta Mita menemaninya tidur siang. Mita pun
menuruti keinginan Dafin, ia berbaring di samping Dafin, mengusap kepala Dafin lembut hingga sang
empunya memejamkan mata sempurna.
Deru nafas Dafin sudah terdengar teratur bertanda sang empunya sudah terlelap tidur, Mita menarik
selimut menutupi tubuh mungil Dafin hingga sebatas dada. Ia lantas bergegas keluar dari kamar
Dafin. Ia mencari tas nya yang tadi ia tinggal di ruang tengah, Mita merogoh tasnya, mengambil
ponsel lalu mendial nomor sang ibu.
“Halo, Ma,” sapa Mita kepada seseorang diseberang sana.
“Iya, Sayang ada apa?” tanya Marta kepada sang putri.
“Ma, anaknya Mas Sena hari ini merajuk, ia menangis minta Mita untuk menginap di rumahnya
malam ini, jadi Mita minta ijin ke Mama dulu. Maaf kalau Mita gak bisa temenin Mama jaga Papa
malam ini,” ujar Mita hati-hati.
Mendengar perkataan sang putri Marta pun memakluminya, ia mengatakan kepada Mita jika dirinya
mengijinkan Mita untuk menginap dan meyakinkan Mita untuk tidak perlu khawatir dengannya.
“Oke, Sayang gak apa kok. Kamu tenang aja, Mama bisa kok nungguin Papa sendiri.”
Mita bernafas lega, setelah memberitahu sang ibu, ia pun mengakhiri panggilan teleponnya lalu
berjalan menuju dapur, bertanya kepada dua orang maid yang saat ini terlihat sibuk disana. “Bi,
apakah ada yang bisa saya bantu?” tutur Mita santun.
Dua orang maid itu menatap Mita heran, ia menilik penampilan Mita dari ujung kaki hingga ujung
rambut lalu menggelengkan kepalanya perlahan. “Tidak ada, Non,” balas salah satu dari mereka.
“Begitu ya? Disini ada berapa maid, Bi?” tanya Mita lagi.
“Hanya ada empat pekerja di sini, Non. Dua orang maid, satu orang sopir dan satu orang security.”
Wanita bertubuh gemuk itu menjelaskan dengan santun kepada calon istri majikannya.
Mita mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. “Bi, bolehkah sore ini saya saja yang masak?”
tanya Mita hati-hati.
“Nona bisa masak?”
“Bisa, Bi, tapi hanya bisa masak masakan rumahan saja.” Mita menyengir kuda, memperlihatkan
deretan gigi putihnya.
“Oh iya, kita belum kenalan. Kenalin nama saya Mita, Bi. Jangan panggil saya, Non ya? Panggil saja
saya Mita.”
“Saya Tuti dan ini Minah, Non.” Tuti-seorang maid bertubuh kurus dan lebih muda dari Minah
memperkenalkan dirinya dan rekan kerjanya kepada Mita.
"Jangan panggil saya Non, Bi." Mita bersikeras tak ingin dipanggil Nona oleh mereka.
"Gak apa atuh, Non. Kami sudah nyaman dengan panggilan itu," tutur Minah yang membuat Mita
menghembuskan nafas pasrah.
“Non teh pengasuh Den Dafin yang baru ya?” tanya Tuti dengan logat sundanya yang lekat.
Tak mau membuat kedua maid itu sungkan kepadanya Mita pun menjawabnya dengan anggukan
kepala. “Iya, Bi. Saya pengasuh Dafin.”
“Dan juga pengasuh bapaknya Dafin ....” lanjutnya dalam hati terkikik geli.
Setelah perkenalannya sebagai pengasuh anak Sena membuat Mita akrab dengan kedua maid di
rumah sang calon suami. Mereka bahkan terlihat seperti tidak memiliki jarak, mereka mengobrol
seru sembari melakukan pekerjaan dapur hingga sebuah suara membuat fokus mereka berpindah.
Ketiganya saling bertatapan yang sontak langsung membuat Mita tersadar.
"Mama …." seru seorang bocah laki-laki diiringi sebuah tangisan.
Mita segera berlari menaiki anak tangga menuju kamar Dafin yang terletak di lantai atas. Ia
menerobos masuk kamar Dafin dan betapa terkejutnya ia melihat seorang bocah laki-laki sudah
duduk sembari menangis tersedu-sedu.
"Dafin," panggil Mita. Ia segera meraih tubuh ringkih itu ke dalam pelukannya, mengusap lembut
punggungnya dan mencoba menenangkannya.
"Mama." Dafin menangis sembari memeluk erat Mita. Matanya tak berhenti mengeluarkan air mata,
sepertinya ia sedang ketakutan.
"Kamu kenapa menangis, Sayang?" tanya Mita lembut.
Bocah laki-laki ity mendongakkan sedikit kepalanya, dengan suara bergetar ia meminta kepada Mita
untuk tidak meninggalkannya lagi. "Tolong jangan tinggalin Dafin lagi, Ma."
"Dafin gak mau lagi sendirian, Dafin gak mau lagi kesepian. Dafin pengen punya Mama kayak teman-
teman, Dafin." Bibir mungil itu tidak berhenti memohon kepada Mita dengan polos.
Mendadak Mita merasa iba mendengar permintaan Dafin, ia pun menganggukjan kepalanya,
menyanggupi permintaan Dafin yang tulus.
Setelah tenang Dafin mengajak Mita untuk berenang di kolam renang, meski tidak membawa
pakaian ganti Mita tetap menuruti keinginan Dafin. Sebelum menceburkan diri di kolam renang yang
terletak di halaman belakang, Mita terlebih dulu mengganti pakaian Dafin dengan pakaian renang.
Sedangkan ia sendiri memilih berenang mengenakan kaos kedodoran berwarna putih yang ia pinjam
dari Tuti lengkap dengan celana pendek hitam.
Mita dan Dafin asik berenang hingga seseorang datang dan mengejutkan mereka. Yup, dialah Sena.
Ia memanggil-manggil nama Dafin yang kemudian diberitahu oleh seorang maid jika Dafin dan Mita
sedang berenang di kolam renang.
"Dafin!" seru Sena yang membuat wajah Mita langsung pucat. Mita buru-buru membawa Dafin naik
ke pinggiran kolam karena takut jika Sena memarahinya. Ia membungkus tubuh mungil Dafin dengan
handuk kering, sedang dirinya sendiri masih mengenakan pakaian basahnya tanpa mengenakan
pakaian dalam yang membuat seluruh lekuk tubuhnya terlihat ketara.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro