Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Awal Mula Cerita

Seorang gadis berambut panjang sebahu sedang duduk di kelas sembari membaca ulang buku catatan yang ia tulis miggu lalu. Ia duduk dengan tenang mengabaikan beberapa teman di belakangnya yang asyik mengobrol. Ini adalah kelas terakhir dalam semester ini sebelum dirinya melakukan ujian akhir dan melaksanakan skripsi pada semester selanjutnya.

Sesekali gadis itu terlihat berdesis menanggapi kehebohan yang dilakukan oleh teman-temannya. Namun, ia tetap kembali fokus pada bukunya. Sampai sebuah panggilan telepon membuatnya terpaksa berhenti.

Drrrrt Drrrt

Mita merogoh saku celananya lalu mengeluarkan ponsel yang terus bergetar tanpa jeda. Dilihatnya nama sang ibu yang tertera pada layar utama. Ia buru-buru menggeser tombol warna hijau lalu mendekatkan benda pipih itu pada telingannya.

"Halo, Ma?” Mita menutup sebelah telinga, memfokuskan pendengarannya dan bersiap mendengarkan suara sang ibu dari seberang sana.

"Sayang, kamu dimana? Apakah masih di kampus?" Marta berucap dengan suara bergetar.

Terdengar jelas di telinga Mita pertanyaan sang ibu dengan suara seperti selesai menangis. "Ma, ada apa? Mama menangis kan?" tanya Mita cemas, ia mengabaikan semua pertanyaan dari sang ibu untukya.

Suara isak tangis yang semula ditahan oleh sang ibu pun mulai terdengar jelas di telinga Mita.  "Papamu kambuh, Mit. Segeralah pulang," tutur Marta terdengar masih terisak.

Deg, mendengar berita tersebut membuat pikiran Mita kacau. Namun, ia berusaha untuk tenang. "O-oke, Mama tenang dulu. Mita segera pulang."

Mita segera mematikan sambungan teleponnya, memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tas dan beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan dengan cepat keluar kelas, melewati teman-temannya yang sedang asyik mengobrol begitu saja.

Dialah, Aira Laksmita atau yang akrab dipanggil Mita. Seorang gadis berusia belum genap dua puluh dua tahun. Merupakan seorang mahasiswa tingkat akhir di sebuah universitas swasta, Fakultas Ekonomi.

"Mita!” seru salah seorang teman dekatnya.

Mita tak menoleh, ia sengaja melakukannya dan memilih berjalan terus ke depan.

“Mita! Ta, kamu mau kemana? Apakah ada sesuatu yang terjadi?" tanya seseorang yang akrab dipanggil Dini, yang saat ini berhasil mengejarnya.

Mita tersenyum dan menggelengkan kepala pelan, enggan menjelaskan apa yang terjadi kepada teman dekatnya itu. “Gak apa kok, Din. Aku duluan ya? Aku sedang buru-buru," balasnya.

Salah seorang lainnya berjalan mendekat dan terheran dengan keanehan Mita si anak rajin yang tiba-tiba berjalan keluar kelas begitu saja ketika mata kuliah segera dimulai. "Mita kenapa? tumben bolos," tanyanya kepada Dini.

Dini menggedikkan bahu seraya menggelengkan kepalanya pelan. "Ada urusan mendadak mungkin Le," pungkas Dini.

Mita kini berjalan setengah berlari menuju area parkir, ia mengenakan helm lalu melajukan motor  menuju jalanan ke rumahnya. Fikirannya kacau, saat ini di dalam otaknya berputar-putar tentang kecemasan akan keadaan sang ayah dan kepanikan ibunya di rumah.

“Ya Tuhan, Semoga Papa baik-baik saja,” batinnya sembari merapalkan doa.

Kecemasan Mita kian bertambah kala dari ujung jalan ia melihat sebuah mobil ambulance berlalu dari pekarangan rumahnya dengan sigap ia melajukan motornya mengikuti kemana arah ambulance itu pergi.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi? Semoga Papa baik-baik saja," gumam Mita menambah laju kecepatan motornya.

Mita memarkirkan motornya di area parkir lantas berlari masuk ke dalam rumah sakit dan bertanya kepada seorang resepsionis dimana sang ayah di rawat.

"Maaf, Mbak pasien atas nama Pratama atau Bapak Tama yang baru saja dilarikan ke rumah sakit sekarang di rawat di ruangan sebelah mana ya?" tanya Mita tak sabaran.

"Oh, bapak-bapak yang baru saja datang dengan ambulance kan ya? Beliau di IGD Mbak, langsung saja ke sana ruangannya dari sini belok kiri lurus saja nanti, Mbak," ucap perawat tersebut sembari memberi arahan.

"Baik Mbak, terima kasih."

Mita berjalan tergesa menuju ruang IGD, sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan oleh bagian resepsionis tadi. Dari kejauhan Mita melihat sosok ibunya sedang berdiri di depan ruang IGD sembari mengusap air mata. Mita segera berlari mendekat. Ia meraih tubuh sang ibu lantas memeluknya dengan sayang.

"Ma, bagaimana keadaan Papa?" tanya Mita lembut.

Marta hanya menggeleng sebagai jawaban. "Mama juga belum tahu, Sayang. Doker masih periksa Papa di dalam," jawab Marta sembari menangis sesenggukan.

"It's ok Ma, semua akan baik-baik saja. Mita yakin Papa akan segera sembuh. Kita berdoa saja untuk Papa ya?” ucap Mita menenangkan hati sang ibu.

Tak lama setelahnya seorang dokter keluar dari ruangan tempat sang ayah diperiksa. Dokter itu lantas mengajak Mita serta Marta menuju ruangannya.

"Keluarga Pak Pratama?" tanya dokter tersebut.

"Benar, Dok," jawab Mita santun.

"Baik mari ikut saya ke ruangan."

Marta dan Mita bejalan mengikuti dokter tersebut menuju kesebuah ruangan, mereka berjalan berdampingan sembari bergandengan tangan erat dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Mari, silakan duduk, Bu." Si Dokter dengan ramah meminta Mita dan Marta untuk duduk.

Seperti perintah sang dokter, mereka duduk saling berdampingan dengan tangan yang masih saling bertautan satu sama lain bersiap menerima penjelasan sang dokter tentang keadaan Tama saat ini. Mita dan Marta mendengarkan secara seksama apa saja yang dijelaskan oleh dokter yang menangani Pratama. Meski sedih dan khawatir mereka mencoba untuk setenang mungkin dalam menanggapinya.

"Jadi Papa harus rutin cuci darah saat ini, Dok? Sebelum melakukan transplatasi ginjal? Begitu?" Mita memperjelas kalimat yang diucapkan oleh sang dokter sebelumnya.

"Benar Nona. Hanya itu satu-satunya cara yang harus dilakukan. Semoga saja lekas ada pendonor ginjal yang cocok untuk Pak Tama.”

“Apakah itu artinya kita harus menyediakan dana yang cukup besar sebelumnya untuk berjaga-jaga, Dok?” Kali ini Marta ikut angkat bicara.

“Itu benar, Nyonya. Tolong siapkan dana dulu saja agar sewaktu-waktu Pak Tama bisa segera dioperasi jika sudah mendapatkan donor yang tepat," jelas sang dokter.

"Baik Dok, kalau begitu kami permisi," pamit Mita.

Mita mengajak Marta duduk di kursi ruang tunggu depan ruang IGD. Ia memeluk sang ibu sembari menghiburnya.

"Ma, Mama yang tenang ya?  Mita janji akan lakukan apapun untuk kesembuhan Papa," ucap Mita kembali menenangkan hati sang ibu.

"Tapi uang yang kita butuhkan banyak, kita punya uang dari mana? Kamu juga gak akan bisa memperolehnya dengan cepat meski kamu sudah bekerja keras, Nak," keluh Marta yang merasa frustasi.

"Jangan bicara seperti itu, Ma. Pasti akan ada jalan keluar dari semua masalah ini. Mama tenang dulu ya?" ucap Mita meyakinkan hati sang ibu.

Seketika pikiran Marta melayang mengingat permintaan sang sahabat yang pernah menginginkan Mita sebagai calon menantunya. Ia yakin jika Mita menikah dengan anak sahabatnya itu Mita akan bahagian dan sang sahabat akan membantunya menyelesaikan masalahnya ini tanpa perlu ia sungkan lagi.

Marta mengusap air matanya lalu menghela nafas dalam dalam sebelum ia mengajukan sebuah permintaan kepada sang putri.

"Mita, bolehkah mama meminta satu hal kepadamu nak?" ucap Marta lembut.

"Tentu saja, Ma. Katakanlah," ucap Mita tak kalah lembut.

Mita meraih tangan sang ibu lalu menggenggamnya erat-erat. "Katakan saja Ma, apapun akan Mita lakukan untuk membuat Mama dan Papa bahagia."

Marta tersenyum ia bangga dengan putrinya, ia menangkup kedua pipi sang putri lalu mengusapnya dengan lembut.

"Sayang apakah kamu tahu Papa dan Mama sangat menyeyangimu. Kami rela melakukan apupun demi melihatmu bahagia," ucap Marta sembari memandang sayang Mita.

Mita mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Ma. Mita tahu dan Mita juga sayang banget sama Mama, Papa. Mita juga akan melakukan apapun untuk Mama Papa seperti yang selama ini Mama dan Papa lakukan untuk Mita.”

"Sayang Papa harus segera mendapatkan donor ginjal dan itu membutuhkan biaya yang cukup besar ...." Marta menghentikan ucapannya sejenak. Ia sebenarnya tidak tega mengatakan ini kepada putrinya namun ia juga tak memiliki pilihan lain.

"Mita akan membantu Mama, Mita akan bekerja keras dan mengusahakan apapun untuk kesembuhan Papa, Ma."

"Untuk itu Mama mohon padamu nak, menikahlah dengan putra tante Nia. Itu satu-satunya cara cepat yang bisa kamu lakukan agar Mama tak sungkan meminta bantuan kepadanya untuk pengobatan Papamu," jelas Marta hati hati.

“Apa Mama yakin Tante Nia bisa membantu kita?” tanyanya memastikan.

Marta menganggukkan kepalanya mantap. "Tentu saja, Sayang. Sebenarnya, seminggu yang lalu tante Nia datang menemui Mama dan meminta ijin kepada Mama untuk menikahkanmu dengan putra semata wayangnya serta menjadi ibu sambung untuk cucunya yang sangat menginginkanmu menjadi ibunya. Dia juga menawarkan beberapa bantuan kepada Mama jika Kamu mau menerima lamaran dan menjadi menantunya,” jelas Marta sembari mengingat kejadian seminggu yang lalu ketika ia bertemu dengan sang sahabat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro