BAB 5: Seorang Gadis Bernama Bella
"Kalau tidak salah, kau pindah ke sini saat SMP, ya? Sebagai anak dari pemilik kontrakan ini., wajar kalau aku tahu bukan? Tentang kedatangan dirimu. Ayahku juga membicarakannya berkali-kali. Ada anak laki-laki yang menyewa kontrakan. Dia anak SMP, mana mungkin punya penghasilan. Lalu bagaimana caranya bayar sewa? Aku yakin, dia hanya sanggup satu bulan tinggal di sini. Itu kata ayahku."
Bella membuka topik. Selain itu, karena sejak dulu aku selalu sendiri, aku tidak pernah memperhatikan sekitar. Padahal rumah pemilik kontrakan ini sangat dekat dari sini. Tapi, aku benar-benar tidak pernah melihat Bella sama sekali. Bahkan aku baru mengenalnya setelah SMA itupun saat perkenalan di kelas.
Mungkin, aku bisa tidak tahu tentang segalanya karena tidak pernah keluar dari kamar. Pagi aku sekolah, pulang sore langsung ke rumah. Lalu dari sore sampai pagi, aku menghabiskan waktu di dalam, tidak pernah keluar dari kamar. Mungkin karena itu, aku jadi tidak pernah melihat Bella.
"Jadi dengan kata lain, kau sudah memperhatikan aku sejak dulu? Me-meski begitu. Ka-kalau kutanya. Tentang apa yang me-menarik dari, diriku. Apakah kau akan menjawab?" tanyaku memberanikan diri.
Bella menggeleng, matanya terpejam. Dia sepertinya merasa nyaman dan akan segera memberitahukan itu. Tapi, tentu saja secara perlahan. Dia akan menjelaskannya padaku secara perlahan. Dimulai dengan kalimat pembuka yang lembut.
"Sejak dulu, aku juga kesepian. Agak memalukan saat aku menceritakan ini. Tapi aku, aku ingin menceritakannya. Aku ingin mencurahkan perasaanku pada orang lain. Sayangnya, aku tidak memiliki satu pun teman. Karena itulah, aku tidak pernah mengekspresikan perasaan pada orang lain. Aku selalu memendamnya sendiri. Singkatnya sejak dulu, aku selalu ingin, aku selalu ingin punya teman untuk curhat."
Se-serius? Gadis cantik sepertinya tidak punya teman. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku penasaran, kalimat barusan membuatku penasaran. Tapi jika aku tanya lebih lanjut, apakah itu sopan? Maksudku, aku takut jika itu akan mengorek luka lama. Tapi katanya, dia ingin punya teman untuk curhat. Dia selalu menginginkannya sejak dulu. Karena itu, jika aku jadi pendengar keluh kesahnya saat ini, apakah dia akan senang? Aku harus pastikan.
"Ka-kalau begitu. Ka-kau bisa menceritakannya, padaku. Ka-kalau mau sih. Bu-bukan berarti aku ingin dengar ceritamu! Ha-hanya saja, kau butuh teman curhat, 'kan? Karena aku sedang santai, aku akan dengarkan. Sekarang cerita, aku akan dengarkan. La-lalu ... untuk selanjutnya ...." Aku tidak bisa menyelesaikan kalimat itu!!! Kalau kukatakan, niatku yang sebenarnya akan ketahuan. Tapi bagaimana? Ini kesempatan emas. Mungkin saja, ini bisa jadi titik balik dalam hidupku yang selalu sepi dan suram.
"Untuk selanjutnya?" tanya Bella atas kalimat yang belum selesai barusan. Wajar saja dia penasaran sih ... kalimatnya tanggung, 'kan! Tapi, karena sudah di titik ini, aku tidak akan mundur! Aku akan selesaikan kalimat barusan.
"Untuk selanjutnya, kau yang dengarkan ceritaku, ya?" kataku memberanikan diri untuk bertanya.
AKU MENGATAKANNYA. Jika setelah ini aku mati, setidaknya. Aku sudah melakukan perubahan besar dalam hidupku. Aku sudah tidak memiliki penyesalan jika harus mati sekarang.
Tapi sebelum itu, lihat ekspresi Bella saat ini. Dia tercengang. Sudah kuduga, kalimat barusan memang tidak bisa diterima, ya? Aku terlalu banyak permintaan sebagai seorang pacar. Tapi ya, aku sedikit mengharapkannya. Bisa bercerita lepas dengan orang lain, aku juga selalu menginginkan itu.
Bella tercengang untuk beberapa saat. Lalu, telapak tangannya yang putih menutupi bibirnya. Dia sedang menahan tawanya yang geli agar tidak terlalu keras. Apakah perkataan barusan lucu?
Tunggu, dia tidak tertawa. Meski sedikit, aku bisa melihat air matanya membasahi pelipis mata. Getaran di punggungnya, apakah dia sedang sesak? Dia menangis? Tapi, kenapa? Selain itu, dia nampak menahannya. Dia tidak ingin air mata mengalir hingga pipinya basah.
"Be-Bella, apakah kau menangis?"
Menanggapi itu, Bella hanya menggeleng. Dia mengusap pelipis matanya agar titik-titik air terhapus. Matanya memang berkaca-kaca, bersinar memantulkan cahaya lampu. Tapi, titik-titik air mata yang hampir mengalir, itu semua sudah hilang. Bella sudah menghapusnya.
"Tidak, aku tertawa," jawab Bella sambil menghapus titik-titik air di sekitar matanya. Tidak sempat mengalir, air mata itu sudah kering. Dia menarik nafas dalam, lalu membuangnya dengan lega. Akibat nafas barusan, rasa sesak di dadanya sudah menghilang. Bella merasa lebih baikan dibanding tadi.
Jelas sekali kalau dia menangis bukan? Mungkin dia sedang berusaha menutupinya. Aku juga tidak berhak untuk tahu lebih lanjut. Sebaiknya lupakan saja. Setelah dirasa baik-baik saja, Bella berkata lagi.
"Sekarang dengarkan ceritaku, ya? Lain kali, aku akan mendengarkan ceritamu," katanya dihias senyum cantik nan manis. Juga, itu tidak bagus untuk jantung. Jujur saja, melihat senyuman itu berulang kali membuat jantungku berdegup kencang. Aku sampai khawatir kalau jantungku berhenti mendadak.
"Ya-ya! A-aku akan berusaha. A-aku akan be-berusaha untuk jadi pendengar yang ba-baik." Mungkin, ini adalah pertama kalinya. Ini adalah pertama kalinya ketika aku tidak merasa berat untuk bicara.
Lalu sekarang, Bella memulai ceritanya. Cerita panjang yang menjadi pengalaman buruk baginya. Cerita yang selalu ia pendam sejak dulu. Dengan harapan, dia bisa menceritakan kisah ini suatu hari nanti. Siapa sangka, setelah memendam cerita ini cukup lama, dia bisa menceritakan itu pada akhirnya.
__________
[Sudut Pandang Bella]
Orang tuaku, sejak dulu mereka selalu membatasi tindakanku. Aku dilarang bergaul dengan masyarakat. Aku tidak boleh mengakrabkan diri dengan masyarakat. Lalu untuk mempertahankan aturan itu, mereka membuat rumah di sini , di dekat kawasan kontrakan mereka. Menjauh dari masyarakat, tinggal di daerah yang tidak terlalu banyak ada orang.
Kau sendiri juga bisa paham bukan? Siapa sih, yang tinggal di kontrakan satu kamar. Mahasiswa, orang merantau, atau pegawai yang jauh dari rumah. Siapa pun itu, tidak mungkin ada anak-anak seumuran yang tinggal di kontrakan. Orang berkeluarga, mustahil tinggal di kontrakan satu kamar. Karena itu di kawasan ini, di kawasan kontrakan kedua orang tuaku, sama sekali tidak anak-anak. Tidak ada anak yang seumuran denganku. Hasilnya, aku tidak punya teman di sekitar rumah. Semua berjalan sesuai rencana mereka.
Tapi ya, terlepas dari itu. Mereka mengizinkanku untuk bergaul di sekolah. Dengan syarat, aku tidak boleh membawa teman ke rumah. Itu lumayan sih, aku jadi memiliki beberapa teman. Tapi, sekolah itu tidak berlangsung terus. Saat sore aku akan pulang. Lalu di rumah? Aku sendirian lagi. Aku hanya bisa berteman di sekolah. Belum lagi, menikmati hari libur sendirian. Itu parah, itu momen terburuk yang pernah ada.
[Perkataan barusan sedikit menusuk bagi Akihiko]
Lulus SD, tentu saja aku dan temanku berpencar. Kami berpisah, masuk ke SMP pilihan kami masing-masing. Kemudian aku mendapatkan teman baru di SMP. Tapi, setelah mengalami perpisahan itu, aku sadar. Teman SMP ini hanya tiga tahun. Aku akan lulus, aku akan berpisah dengan teman seluruh SMP suatu hari nanti. Lalu saat kembali ke rumah? Aku akan sendirian lagi.
Aku juga sempat berpikir. Jika aku sudah lulus sekolah, teman-temanku, semuanya akan berpisah. Mereka akan lulus dan mengejar mimpi mereka masing-masing. Tidak ada yang selalu bertemu setiap saat sampai dewasa. Sekalinya ada, hanya ketika momen reuni atau perkumpulan. Dengan kata lain, teman sekolah itu hanya sementara. Teman sebenarnya, yang bisa bersamamu sampai dewasa, itu adalah teman dalam masyarakat. Temanmu di sekitar rumah. Teman yang selalu dekat, dan bersamamu sampai dewasa kelak. Tapi lagi-lagi, memangnya aku bisa apa? Ini adalah aturan yang orang tuaku buat. Aku tidak bisa membantah mereka.
Lalu akhirnya, kau datang. Saat SMP, adalah saat ketika aku pertama kali melihatmu. Kau datang ke sini, sendirian, menyewa kontrakan dengan yakin pada ayahku. Kau bilang kalau kau membawa semua tabungan untuk menyewa kontrakan. Untung saja itu cukup meski hanya untuk sebulan. Kemudian kau tinggal di kontrakan ini. Ayahku memang meragukan tentang berapa lama kau sanggup tinggal di sini. Tapi untungnya, kau tidak memikirkan itu.
Saat itu juga. Pertama kalinya dalam hidupku. Aku melihat anak yang seumuran denganku. Aku secara alami berpikir, "Aku ingin berteman denganmu. Aku ingin bermain bersamamu. Siapa namamu? Aku ingin berkenalan."
Tapi, ayah dan ibu sadar. Mereka sadar kalau aku mulai berpikir untuk berteman denganmu. Mereka juga sempat berpikir untuk mengusir dirimu dari kontrakan ini. Karena itulah, aku memutuskan untuk diam. Aku akan menunggu saat yang tepat. Aku akan menunggu saat terbaik untuk bisa berbicara denganmu. Karena aku, aku tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang bisa menjadi temanku.
Saat kau pergi ke sekolah, aku sempat mengikuti. Aku jadi tahu sekolahmu saat SMP. Kemudian aku juga bertanya pada guru di sana, kemana kau akan melanjutkan pendidikan? Untung saja mereka memberitahunya, tentang SMA tujuanmu. Karena itulah aku masuk ke SMA yang sama denganmu saat ini. Lalu siapa sangka, kita bisa sekelas. Mungkin ini takdir?
Aku ingin langsung berkenalan denganmu. Aku ingin langsung berteman denganmu. Tapi kurasa, itu kurang mengikat. Kau bisa berteman dengan siapa saja. Kau tidak harus berteman dengan satu orang. Lalu aku terpikirkan soal ini.
"Kau hanya bisa memacari satu gadis."
Jika aku menjadi pacarmu, aku akan menjadi milikmu. Kau juga akan menjadi milikku. Dengan kata lain, hubungan pacar itu mengikat. Aku bisa memilikimu, dan meminimalisir kemungkinan jika kau menjauh dariku. Menyadari itu, aku bertindak cepat.
Meski ini adalah hari pertama sekolah, kau sudah cukup menarik perhatian banyak gadis. Kau cukup tampan. Jika lambat maka aku akan tertinggal. Kau akan diambil. Aku tidak mau itu. Akhirnya aku putuskan untuk menjadikanmu sebagai pacarku hari ini juga. Harus hari ini. Karena aku khawatir jika kau akan berpacaran dengan gadis lain. Begitulah alasannya. Kau penasaran bukan? Tentang kenapa aku bisa tertarik denganmu? Itu jawabanku. Aku senang. Aku senang karena akhirnya, aku bisa memilikimu.
Seorang Gadis Bernama Bella
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro