Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 25: Elizabeth Hanyalah Seorang Gadis SMA

Lucy mengetuk pintu kamar keemasan di hadapannya. Lagaknya seperti seorang pelayan yang memanggil tuannya agar keluar dari kamar. Sambil mengetuk pintu secara berkala. Dia berkata, "Nona Elizabeth, saya mohon bukakan pintunya. Ada hal penting yang harus saya sampaikan."

Meski begitu tidak ada jawaban. Lucy yang sudah geram karena tidak ditanggapi, dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sambil meraba-raba sakunya, dia bergumam pelan. "Kalau sudah begini tidak ada cara lain." Selaras dengan selesainya kalimat itu. Sebuah kunci sudah ia genggam dengan bangga.

Aku dengan refleks yang bingung melontarkan tanya, "Kunci?" Sementara Lucy hanya mendengus seperti biasa kemudian menjawab, "Ya. Karena aku adalah kepala pelayan. Aku harus punya kunci serbaguna."

He ... tidak terduga. Dia ini memang benar-benar seorang pelayan rupanya. Memasukkan kunci itu ke lubang pintu dan ternyata sangat pas. Segera Lucy buka kuncinya diikuti pintu yang ia buka.

Dia masuk ke dalam kamar dengan sopan, kemudian memberi hormat dengan bungkuk. "Nona Elizabeth, Akihiko datang untuk menemui Anda," kata Lucy sambil membungkukkan badannya.

Dia memutar balikkan fakta tuh ... padahal dia yang mengajakku ke sini secara paksa dan kasar. Bahkan bekalku sampai dingin karena menunda makan. Setelah aku menuruti ajakannya dan pergi ke sini, dia bilang kalau aku datang dengan sukarela untuk bertemu Elizabeth. Benar-benar parah ....

Elizabeth, dirinya saat ini, lebih terlihat seperti penyendiri. Bersembunyi di balik selimut, badannya meringkuk malu. Terutama saat mendengar kalau aku datang. Dia semakin tidak punya niat untuk memunculkan diri. "Lu-Lucy! Ke-kenapa kau biarkan dia masuk ke kamarku!? U-usir dia!" Elizabeth berteriak malu tanpa memunculkan dirinya dari balik selimut.

Melihat tingkah laku tuannya yang canggung, Lucy hanya tersenyum kecil dengan ekspresi meledek. Tapi bersamaan dengan itu, dia menampilkan ekspresi lega karena sesuatu. "Nona Elizabeth, apa yang sebenarnya terjadi pada Anda?" tanya Lucy sopan, tidak mengindahkan perintah tuannya untuk mengusirku.

"Ti-tidak ada apa-apa! Selain itu, ke-kenapa kau bisa masuk kamarku??? Aku yakin sudah mengunci pintunya tadi!" Masih enggan menampakkan diri, Elizabeth hanya bicara dari balik selimut. Lucy kini melihatku. Dia menengadahkan tangannya ke arah Elizabeth, kemudian berkata, "Lihat, ini semua adalah hasil perbuatan dirimu. Tidak ada niat tanggung jawab? Setelah merusak kepercayaan diri Nona kau tidak mau bertanggung jawab?"

"Ja-jangan menekan seperti itu dong ... terus, apa yang bisa aku lakukan???" Aku serius buntu kalau soal ini. Tidak bisa mengerti tentang bagaimana penyelesaiannya. Lucy kemudian menjawab, "Mudah, bicarakan masalah kalian empat mata sampai selesai. Aku akan menunggu di luar, tidak menguping pembicaraan kalian. Tidak membeberkan soal kau yang berduaan dengan Nona di dalam kamar. Tapi, kalau kau sampai berbuat tidak senonoh pada Nona. Kau akan aku kebiri."

Melihat candaan Lucy yang tidak lazim, aku memberinya peringatan. "Oi, candaan seperti itu tidak lucu." Sementara Lucy hanya mengulangi ancamannya dengan berkata, "Serius. Jika kau sampai melecehkan Nona, kau akan aku kebiri."

"Oi!" Aku berteriak karena merinding sekaligus takut. Sementara Lucy, untuk yang ketiga kalinya dia mengulangi ancaman itu. "Kau akan aku kebiri." Jangan mengulanginya dengan nada bicara datar! Kesannya jadi makin seram. Lucy melangkah dengan santai keluar kamar. Sebelum menutup pintunya dari luar, dia memberi pesan singkat. "Mulai dari sini, aku serahkan semuanya padamu." Setelah itu pintunya tertutup.

"Lah aku harus apa jadinya???" Bertanya sendiri di dalam hati meski tahu tidak akan ada jawaban. Selain itu Elizabeth. Karena dia mendengar suara pintu tertutup, dia menampakkan wajahnya sedikit dari dalam selimut.

Yang ia pikirkan, saat ini aku dan Lucy sudah keluar. Karena itu ia mengintip untuk memastikan. Ternyata setelah ia mengintip, masih ada aku di kamarnya. Parahnya lagi, Lucy mengunci ruangan ini dari luar. Elizabeth yang terlihat panik sangat berbahaya. Aku hanya melambaikan tangan satu kali. Sambil menyapa, "Ha-hai."

"KELUAR!" teriak Elizabeth kemudian kembali bersembunyi di balik selimut. Aku yang paham dengan keadaannya memberi penjelasan, "Pi-pintunya terkunci dari luar. Mu-mungkin, tidak akan terbuka sampai masalahmu selesai."

"Aku tidak apa-apa! Ti-tinggalkan saja aku sendiri." Tidak mengindahkan, yang Elizabeth pikirkan adalah aku harus keluar dari kamarnya saat ini. "Ka-kalau begitu ... hei Elizabeth, kenapa kau menghindar dariku? Ma-maksudku, saat itu, kau bersedia untuk menjadi temanku, 'kan?" Aku langsung menyinggung hal yang bermasalah bagiku. Kemudian melanjutkan kalimat. "Aku merasa sedih. Ketika aku coba bertegur sapa tapi malah diabaikan. A-apakah aku melakukan kesalahan? Kalau memang iya, aku mohon maaf."

Elizabeth tampak gelisah, wajahnya menampilkan rasa bersalah. Dia mengintip sedikit dari balik selimut. Kemudian mengatakan sesuatu dengan pelan. "A-Akihiko tidak salah."

"Ha?" Hanya itu respon yang aku tunjukkan. Ketika dia bilang kalau aku tidak bersalah. Aku merasakan lega sekaligus bingung di saat yang sama. Tapi meski aku tidak salah, kenapa dia selalu menjaga jarak? Itu semua masih belum terjawab. Memaksaku untuk bertanya, "Ka-kalau begitu, kenapa kau seperti menjaga jarak dariku?"

Elizabeth memperlihatkan kepalanya, sementara tubuhnya masih dibungkus selimut karena canggung. Meski pelan, dia kemudian menjawab, "Aku juga tidak tahu." Lagi-lagi aku memasang ekspresi tanya. Kenapa dia tidak tahu alasan untuk menjauh dariku? Padahal yang menjauh dariku adalah dia sendiri. Apakah dia seperti dikenakan mantra atau kutukan? Tidak, itu tidak mungkin. Jangan pikirkan hal gila disaat seperti ini. "Bi-bisa kau lanjutkan?"

Mendengar permintaanku, Elizabeth terlihat enggan. Dia menggembungkan pipinya karena kesal. Kemudian mengatur nafasnya agar tenang. Perlahan dan pelan. Elizabeth mulai bicara, "Aku tidak mengerti. Kira-kira apa yang terjadi padaku ya? Aku merasa senang saat menceritakan masa laluku padamu. Rasanya seperti, lega. Aku benar-benar lega. Belum pernah aku menceritakan itu pada orang lain."

"Ka-kalau dibilang begitu. Aku juga senang saat kau ingin berteman denganku. Kau tahu, aku selalu kesulitan dalam berteman, sejak dulu. Karena itu aku selalu berharap bisa punya teman." Akhirnya, aku malah jadi ikut curhat tentang diriku sendiri.

"Hei Akihiko. Jangan hanya berdiri di situ. Sini," kata Elizabeth menepuk-nepuk tempat di sampingnya. Saat ini, dia sedang duduk di kasur. Karena dia menepuk tempat di sampingnya. Apakah aku harus duduk di sampingnya??? Terlebih lagi di kasur yang sama! Kenapa kau bisa mengajak laki-laki luar untuk duduk di kasur yang sama denganmu!?

"Tidak mau, ya?" tanya Elizabeth dengan wajahnya sedikit memelas. Aku yang panik langsung menjawab, "A-ah! Tidak masalah, aku akan ke sana."

Duduk di kasur yang sama dengan Elizabeth. Terlebih lagi bersampingan, di ruang tutup, hanya berdua! Ini situasi paling canggung bukan??? Maksudku, lihat wajahnya dari samping. Wajahnya nampak merah karena menahan malu, itu membuatku semakin canggung. Selain itu, rambutnya memang asli cantik. Pirang cerah dan panjang. Apakah pujian terhadap rambut bisa bernilai pelecehan?

Elizabeth merasa risih karena aku tatap. Normalnya, jika lawan jenis menatapmu sampai lebih dari lima detik. Ada sesuatu yang membuatnya nyaman untuk terus melihatmu. Elizabeth merasakan itu. Dia merasa risih sampai berkata, "Ja-jangan lihat aku seperti itu, bodoh!" Pipinya menggembung karena kesal, tapi dibarengi rasa malu.

Serius, melihat wajahnya saat ini seperti karunia besar yang berharga. Tapi aku mengindahkan peringatan itu hingga membuang pandangan. Benar-benar perasaan canggung. Terlebih lagi suasananya sangat mendukung. Jantungku berdetak kencang sampai punggungku terasa panas!

Secara pelan dan lembut, Elizabeth menyadarkan kepalanya di bahuku. Membuatku kaget sampai merespon, "Elizabeth?" Sementara dia tidak menjawab dan tetap menikmati bersandar di situ. "Kau tahu. Sejak sore itu ketika kau mengajakku berteman. Aku sangat senang. Belum pernah ada yang mengajakku berteman seperti itu, sejak lama. Lalu entah kenapa, saat memikirkan dirimu atau membayangkan dirimu. Jantungku berdebar dan kacau. Rasanya gelisah. Tapi di saat yang sama, aku merasa senang. Bahkan aku sampai tidak sanggup untuk melihatmu di sekolah. Karena alasan itu juga, aku akhirnya menghindar. Khawatir diriku tidak terkendali jika bertemu denganmu."

Elizabeth mulai bicara. Sambil terus bersandar di bahuku, dia membicarakan banyak hal. Aku paham tentang bagaimana perasaannya. Dia yang kesepian sejak kecil, tidak punya orang tua harmonis untuk kembali. Aku tahu rasanya.

Karena itu aku akan memaklumi dirinya dan membiarkan dia bersandar untuk sementara. Sambil berkata, "Mulai sekarang, ayo kita terus berteman." Aku melihat matanya secara langsung.

Perasaan semangat ketika aku pikir akan mendapatkan teman. Aku tidak bisa menahan diri. Entah ini lancang atau apa. Yang penting, aku harus berteman dengannya, hanya itu. Karena aku rasa, aku mengerti Elizabeth. Elizabeth juga mengerti tentangku. Kami adalah teman yang cocok!

"Aku sangat senang, aku ingin kau di sini lebih lama. Biarkan aku bersandar seperti ini sedikit lebih lama, ya? Biarkan aku menceritakan banyak hal tentangku. Kau mau mendengarkan?" tanya Elizabeth dengan senyum tulus yang belum pernah aku lihat.

Elizabeth memang cantik, perangainya juga baik meski dia keras kalau masalah disiplin. Selalu jujur dengan perasaannya sendiri, menjalani semuanya secara sportif. Itu adalah kepribadian yang suci.

Andai Bella bukan pacarku saat ini. Aku mungkin akan menyukainya. Tidak, aku pasti akan menyukainya. Tapi ya, Bella masih tetap yang nomor satu di hatiku. Mengingat, kalau dia adalah orang pertama yang mewarnai kertas dalam hidupku. Aku tidak bisa berkhianat padanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro