7. Lelucon Macam Apa Ini?
Giana membuka pintu dengan terburu-buru dan hampir saja berteriak saat mendapat sesosok wanita duduk meringkuk dengan rambut tergerai. Beruntung ia bisa segera mengenali sosok tersebut sebagai sang kakak. Bila tidak, maka mereka akan menjadi pusat perhatian di tengah malam. Giana berlutut di depan Ariani yang sepertinya tengah tertidur setelah menunggunya cukup lama. Disenggolnya pelan lengan Ariani, "Kak? Bangun, Kak!"
Sebuah erangan pelan meluncur dari bibir tipis berwarna pink milik wanita berusia 22 tahun itu. Perlahan, kepalanya terangkat, matanya mengerjap—menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. "Eum ... kamu udah lama pulangnya?" racaunya dalam keadaan setengah sadar.
Giana menghela napas sembari menggeleng pelan. Kalimat tersebut seharusnya diucapkan olehnya, bukan Ariani. "Terbalik, Kak. Harusnya aku yang nanya. Kalau aku kan dari tadi udah di dalam rumah," ujar Giana memperingatkan.
Ariani menyengir lebar. "Salah, ya?" racaunya sembari mengucek matanya pelan. Nyawa yang tadi sempat berpencar pun sudah terkumpul sedikit demi sedikit.
"Iya, salah," balas Giana tegas. "Kakak udah lama pulangnya?" tanyanya pada sang kakak sembari memasang wajah bersalah. "Maaf, ya, Kak. Aku ketiduran tadi. Aku juga lupa ngasih tau kakak alamat rumah ini," ujarnya lagi penuh sesal.
Ariani menurunkan kakinya, lalu menegakkan badan. Direnggangkannya tubuhnya hingga terdengar suara tulang yang berderak dengan keras. "Ugh ...," lenguhnya lega. Ia menatap sang adik yang masih berjongkok sembari mendongak menatapnya. "Ayo, masuk!" ajaknya. Ia sudah lelah dan ingin merebahkan diri di atas kasur setelah membersihkan badannya.
"Sudah lama, Kak?" ulang Giana sembari mengekori.
Ariani menggeleng pelan. "Belum, Dek. Paling setengah jam," ujarnya setelah melirik jam dinding sekilas. Tiba-tiba, langkahnya terhenti sehingga Giana yang mengekor tepat di belakangnya menabrak dirinya. Hampir saja ia tersungkur, beruntung Giana menariknya.
"Kenapa gak panggil?" tanya Giana dengan nada mendesak.
Ariani mengangkat bahunya. "Kukira kamu gak ada. Tadi aku sempat cari di rumah Om Ridwan, tapi sudah kosong. Jadi, aku ke sini karena tahu kamu pasti pulang ke sini. Karna lampunya tidak dihidupkan, kupikir kamu lagi keluar mencari sesuatu. Makanya aku menunggumu di luar," jelasnya panjang lebar dan diakhiri dengan kuapan lebar.
Giana semakin merasa bersalah melihat kelelahan yang begitu terpancar di wajah Ariani. "Maaf," cicitnya pelan. "Kakak pasti capek, tapi aku malah ngebiarin kakak terkunci padahal aku enak-enakan tidur di dalam," lanjutnya lagi.
Ariani terkekeh pelan. "Enak-enakan tidur dari mana?" tanyanya pelan. Tanpa bertanya pun ia bisa tahu bahwa adiknya itu bukan sengaja tidur, melainkan ketiduran akibat kecapekan mengurus pindahan mereka. Alih-alih merasa kesal, justru ia merasa bersalah pada sang adik. Ia merasa ia masih tidak cukup pantas menjadi kakak yang baik.
Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Ariani, Giana tiba-tiba berucap. "Ngomong-ngomong, Kak. Apa kakak mencium aroma ikan asin sekarang?" Giana mengerutkan hidung sembari memasang tampang jijik.
"Heh! Adik kurang ajar! Maksudnya kamu ngatain aku bau gitu?" sungut Ariani dengan senyum merekah.
Giana menggeleng dengan tampang nakal. "Aku gak bilang apa-apa loh, Kak. Kakak yang ngaku sendiri," ujarnya sembari memeletkan lidahnya pada sang kakak. "Sepertinya aku harus masuk ke dalam kamar agar tidak terkontaminasi dengan aroma menyengat ini," ujarnya sembari membuka pintu coklat yang ada di sebelah kanan.
"Ini kamar kita. Kamar di sini hanya ada dua. Kamar sebelah punya papa. Semua barang-barang sudah aku susun," ujar Giana memberitahukan dengan singkat.
Ariani mengangguk pelan. "Oke. Kalau gitu aku mandi dulu," Ariani berjalan menuju sebuah ruangan yang ditutupi oleh pintu plastik berwarna biru muda. "Oh, iya, Gia. Sebelum aku mandi, kamu mau gak aku peluk dulu?" Ariani mengedipkan sebelah matanya jail.
"Enggak! Mandi sana. Bau bangkai," ejek Giana. Wajahnya sarat akan penolakan keras atas tawaran Ariani tadi. Ia segera masuk ke dalam kamar dan kembali keluar untuk menyerahkan satu pasang baju tidur serta handuk untuk sang kakak.
***
Tok! Tok! Tok!
Giana memutar bola matanya malas. Sebuah erangan tak senang meluncur dari bibirnya. Sejak kedatangan Aiptu Andre dan Briptu Joshua, ia menjadi benci dengan suara ketukan pintu. Dan rasanya kakinya terlalu berat untuk melangkah ke depan pintu demi melihat siapa tamu yang datang pagi-pagi begini.
"Gia! Tamunya gak bisa buka pintu sendiri," tegur Ariani yang tengah menggoreng telur sebagai topping nasi goreng mereka.
Gia menggeram sebal. "Tidak masalah kalau dia mau masuk sendiri," gumamnya kecil, tetapi masih bisa ditangkap oleh pendengaran Ariani.
Ariani menggeleng pelan. Di saat seperti ini, adiknya terlihat seperti remaja biasa dan itu sedikit menenangkan hatinya. "Gia, kalau tamunya masuk sendiri itu bukan bertamu namanya, tapi menerobos. Paham?" Ariani terkekeh pelan saat melihat Giana berjalan dengan langkah terseok-seok ke depan.
"Permisi! Maaf, bisa kami bertemu dengan Nona Ariani Aurelia Adiputra dan Nona Giana Anggraini Adiputra?" tanya seorang pria berbadan kekar berseragam abu-abu. Giana melirik sekilas lambang yang tersemat di seragam tersebut—2 balok emas.
Perwira tinggi, pikir Giana. "Saya Giana Anggraini Adiputra. Ada urusan apa bapak mencari saya dan kakak saya?" tanya Giana langsung setelah memperkenalkan diri.
"Kedatangan saya ke mari untuk mencari Bapak Angga Adiputra. Apakah Bapak Angga Adiputra ada di tempat? Kami mendapatkan laporan bahwa Bapak Angga Adiputra menjadi salah satu tersangka atas kasus pembunuhan Salah seorang rekannya yang berinisial R," jelas pria berpangkat Iptu itu dengan tenang dan berwibawa. Terlihat sekali ia sudah berpengalaman dengan situasi ini.
"Maaf, menyela. Apa maksud Bapak dengan ayah saya menjadi salah seorang tersangka atas kasus pembunuhan?" Ariani muncul dari balik dapur. Wajahnya sarat akan kekhawatiran serta kebingungan.
"Persis seperti yang saya katakan, Nona. Ayah Nona masuk menjadi daftar tersangka atas kasus pembunuhan seorang rekan kerjanya yang berinisial R," ulang pria itu sekali lagi.
Giana mendengus kasar. "Apakah bapak memiliki bukti atas tuduhan tersebut?"
Pria itu tetap tenang walau tahu amarah Giana sudah tersulut. "Menurut beberapa saksi mata, korban melakukan kontak terakhirnya dengan ayah Nona sebelum keduanya menghilang," jelasnya.
Tawa meremehkan meluncur dari bibir Giana. "Apakah hanya dengan ucapan beberapa saksi itu bisa dijadikan sebagai bukti bahwa ayah saya pasti membunuh korban? Bukankah seharusnya kalian melakukan penyelidikan lebih dalam agar bisa mengetahui pelakunya secara pasti? Bagaimana bisa kalian menuduh seseorang yang tidak bersalah sebagai pelakunya? Apakah kalian bisa bertanggung jawab bila sudah mencoreng nama baik seseorang hingga mengakibatkan kehancurkan hidup orang tersebut?" cecar Giana dengan berapi-api.
Pria dengan nametag "Aritonang" itu terdiam sejenak. Sedikit tak menyangka seorang gadis SMA bisa menyuarakan pemikirannya dengan begitu berani dan tepat.
"Bagaimana? Apakah Anda bisa bertanggung jawab, Iptu Aritonang?" tantang Giana dengan suara dingin.
Iptu Aritonang terdiam. Walau sudah pernah mendapatkan serangan balasan seperti ini, tetapi ini pertama kalinya ia diserang oleh anak SMA. Awalnya, ia berpikir bahwa mencari seorang pria yang tinggal bertiga dengan kedua putrinya merupakan hal yang mudah. Maka dari itu, ia berangkat dengan perasaan ringan. Namun, tak ia sangka, di sini ia malah bertemu dengan lawan yang tangguh.
"Begini, Nak. Ayah kamu hanya masuk sebagai daftar tersangka dan belum menjadi tersangka resmi," jelasnya dengan pelan.
"Lantas apa bedanya? Dari ucapan Anda, Anda ingin menjadikan ayah saya tersangka setelah mendengar pengakuan beberapa orang yang mengatakan bahwa si korban melakukan kontak terakhir bersama ayah saya sebelum menghilang. Harap diingat kembali, ya, Pak. Bapak memasukkan ayah saya sebagai daftar tersangka, bukan calon," ujar Giana penuh penekanan.
Detak jantung Ariani terlompat beberapa ketuk. Ia tahu adiknya logis dan cepat memahami situasi. Akan tetapi, ia tak tahu adiknya akan seberani itu membantah seorang perwira tinggi. Mata Ariani membelalak lebar saat melihat bibir Ariani kembali terbuka. Sementara, pria berseragam di depannya terdiam lantaran tak menyangka respon defensif dari Giana. Ariani segera membekap mulut sang adik sebelum melontarkan kata-kata yang melewati batas, walau tentu ia tahu kemungkinannya sangatlah kecil.
"Mohon maaf, Pak. Ayah kami sedang bekerja saat ini dan masih belum pulang. Bapak bisa kembali lagi nanti untuk meminta keterangan dari ayah kami," ujar Ariani dengan sopan. Ia lantas memandang jam dinding secara terang-terangan agar pria di depannya tahu bahwa mereka tidak bisa ditahan lebih lama lagi.
"Baiklah. Saya mengerti. Maafkan saya bila kata-kata saya tadi menyinggung nona kecil ini. Sudah waktunya nona kecil yang pintar ini berangkat ke sekolah. Nanti saya akan kembali lagi untuk meminta keterangan pada Bapak Angga Adiputra," pamit Iptu Aritonang dengan nada tenang.
Begitu Iptu Aritonang meninggalkan kediaman kecil mereka, Ariani segera menyeret Giana masuk dan menutup pintu rapat-rapat. "Apa-apaan ini?" teriaknya dengan suara tertahan.
Ariani berjalan bolak-balik di ruang tamu. "Papa menjadi tersangka pembunuhan? Lelucon macam apa ini?"
"Bukan lelucon. Ini kenyataan. Dan dari ucapannya. Bertemu atau tidaknya dia dengan Papa, dia akan tetap menjadikan Papa sebagai seorang tersangka," ujar Giana dengan tenang.
-------------------------
1377.25052023
What? Apa-apaan ini? Tiba-tiba jadi tersangka? Emangnya ini masuk akal?!
Btw, bagi yang mau baca lebih cepat bisa baca di Karyakarsa yak. Thank you.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro