9. Elina Hilang (?)
_chococheese8 present_
WHO'S THE DEVIL?
"Nina! Apa kau melihat Elina?"
Nina terlonjak, Reksa berlari dari arah kirinya. Gadis itu berniat untuk pergi ke perpustakaan utama, tetapi sepertinya akan sedikit terkendala dengan kedatangan makhluk pecinta musik itu.
"Elina? Aku tidak melihatnya sejak bel istirahat berbunyi, mungkin saja dia pergi ke kantin sekolah," ucap Nina sekenanya.
"Ah, yang benar saja. Apa aku harus kembali memeriksa ke sana?!" Reksa mengacak rambutnya kesal.
"Memangnya kau sudah ke sana tadi?"
"Sudah! Bahkan sudah dua kali. Tapi tak juga ketemu," jelas Reksa merasa resah.
"Tak biasanya," gumam Nina.
"Ayo bantu aku mencarinya! Entah kenapa perasaanku jadi tidak enak," ajak Reksa.
Nina menatap Reksa beberapa saat, menimbang apakah harus ikut mencari Elina atau mengerjakan tugasnya terlebih dahulu.
"Hei Nina, kenapa kau diam saja?"
"Baiklah, tapi sebentar, aku ingin menaruh buku-buku ini dulu. Kau duluan saja, nanti aku menyusul!" Perintah Nina yang hanya di balas anggukan oleh Reksa. Saat lelaki itu melenggang pergi dari hadapannya, Nina pun segera berjalan dengan tergesa menuju perpustakaan utama.
Gadis itu melepas kedua sepatunya untuk kemudian memasuki perpustakaan, dan segera membereskan beberapa buku yang ia bawa.
"Ada-ada saja, kemana sebenarnya anak itu. Kuharap dia tidak membolos, apa Elina lupa jika jam kedua adalah pelajaran Pak Niko? Bisa habis dia jika benar membolos!" Nina menggerutu sembari menaruh beberapa buku ke atas rak satu-persatu.
Setelah selesai dengan tugasnya, ia memperhatikan sekeliling, terlihat sangat sepi.
Semenjak kejadian itu, perpustakaan utama menjadi sepi. Jarang sekali ada murid yang membaca buku di dalam. Kebanyakan dari mereka akan meminjam buku dan membacanya di dalam kelas atau taman sekolah.
Nina menghela napas pelan, lalu melangkah perlahan dengan tangan yang mengabsen buku-buku yang terjejer rapi. Langkahnya terhenti tepat di hadapan jendela bagian belakang ruangan itu. Kebetulan jendelanya pendek hingga dapat di raihnya yang memiliki tubuh yang mungil.
Nina membuka kunci jendela dan membukanya sedikit agar udara dapat masuk, mengingat AC di ruangan itu sedang dalam perbaikan.
"Eh, apa itu?" Matanya tak sengaja menangkap sesuatu yang terlihat mencolok di bawah sana, di samping semak-semak. Nina membuka jendela lebih lebar dan berniat untuk meraih benda itu, tetapi tiba-tiba saja ada yang menggapai lengannya dari arah belakangnya. Hal itu membuatnya terkejut, dan hampir saja terjatuh.
"Farrel! Mengagetkanku saja!" Nina memegangi dadanya. Jantungnya hampir saja copot.
Sementara Farrel hanya menatapnya dengan wajah datar tanpa ekspresi, "Kau hutang penjelasan padaku," ucapnya.
Nina tersentak, seketika ia mengingat suatu hal yang mati-matian ia lupakan.
"Sudahlah, itu nanti saja. Aku harus mencari Elina terlebih dahulu." Nina segera melangkah melewati Farrel begitu saja. Gadis itu merasa tindakannya salah, tetapi dia masih enggan untuk mengatakan hal itu. Lagipula ia harus mencari Elina.
"Elina?" Farrel mengernyitkan dahi.
"Iya, sejak tadi dia menghilang entah kemana. Aku ingin mencarinya, aku takut terjadi hal buruk padanya." Nina kembali mengenakan sepatunya satu-persatu, lalu meninggalkan perpustakaan yang diikuti oleh Farrel.
"Kau selalu saja memikirkan orang lain, lalu bagaimana dengan dirimu?"
Nina menghentikan lajunya, lalu membalikkan tubuhnya dan menatap Farrel, "memangnya ada apa denganku? Aku tidak kena-"
"Kau sedang tidak baik-baik saja." Farrel menatap manik cokelat Nina, terlihat dengan jelas jika gadis itu tengah menyimpan beban dan luka.
"Nina, tak bisakah kau berbagi kisahmu sedikit denganku?"
•••
Waktu terus berjalan, Reksa benar-benar bingung harus mencari Elina kemana lagi. Dia sudah mengelilingi sekolah, hingga ke tempat yang jarang sekali gadis itu singgahi, tapi batang hidungnya tak juga terlihat.
"Agh! Kemana perginya dia? Bukankah dia sudah janji akan meminjamkanku buku catatannya?" Reksa mengerang, merasa frustasi karena belum juga menemukan Elina.
Lelaki itu mengintip jam yang melekat di lengan kirinya, "oh, yaampun, Pak Niko akan segera mengajar, tapi tugasku belum kukerjakan!"
Dua hari yang lalu dia dan seluruh teman sekelasnya diberi tugas oleh Pak Niko, tetapi Reksa tidak mengerjakannya. Seperti biasa, lelaki itu akan meminjam catatan milik Elina atau temannya yang lain.
"Reksa!" Nina datang dengan Farrel, menghampiri Reksa yang berdiri bimbang di tengah lapangan futsal. Untung saja lapangan sedang sepi.
"Bagaimana? Elina sudah ketemu?" tanya Nina dengan napas yang masih memburu akibat sedikit berlari saat menghampiri Reksa.
"Belum." Reksa menggeleng lemah, "Rasanya tidak sopan jika aku mengambil buku di tasnya tanpa sepengetahuannya," gumamnya yang masih terdengar oleh Nina dan Farrel.
"Jadi kau mencari Elina hanya untuk meminjam catatan? Kau tidak mengerjakan tugas lagi?" Nina berkacak pinggang seraya menatap bengis teman laki-lakinya.
"Iya, aku tidak pernah menyukai sejarah!" Menurut Reksa mata pelajaran sejarah itu merepotkan. Kenapa kita harus susah payah mempelajari sejarah nenek moyang, bukankan kehidupan kita di masa sekarang lebih menarik? Pikirnya.
Nina hanya mendengkus sembari memutar bola matanya malas. Entah bagaimana bisa dia memiliki teman seperti Reksa.
"Suatu saat kau akan menyukai sejarah." Farrel yang sedari tadi diam, kini menyeletuk dengan wajah datarnya.
"Sudahlah, lebih baik kita kembali mencari Elina. Dia tidak pernah menghilang seperti ini, biasanya dia akan mengabariku. Tapi kali ini aku yakin sekali jika sudah terjadi suatu hal padanya." Nina kembali cemas. Gadis itu kemudian meraih ponsel dari saku seragamnya dan membuka aplikasi pengirim pesan lalu mengirim pesan pada Elina.
"TANAM-TANAM UBI, TAK PERLU DIBAJAK!" Mereka bertiga terlonjak, dilihatnya Ghandi yang berjalan riang di koridor sembari bernyanyi lantang.
Saat menyadari ada teman-temannya di lapangan, lelaki itu kemudian menghampiri mereka yang masih kalut memikirkan Elina. "Hei, ada apa dengan kalian? Wajah kalian terlihat cemas, ada sesuatu?" tanyanya heran.
"Apa kau berganti profesi menjadi penyanyi dadakan?" Reksa mencibir.
Ghandi hanya mendelik dengan sedikit menjulurkan lidahnya, lalu kembali menatap Nina dan Farrel bergantian, menunggu jawaban.
"Elina hilang, aku tidak tahu kemana dia pergi. Yang jelas, aku khawatir sekali padanya." Nina menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan.
"Apa?! Bagaimana bisa?!" Seperti biasa. Pemuda bertopi putih itu selalu heboh dalam segala hal.
"Entahlah...."
Sesibuk apapun Elina, gadis itu tidak pernah menghilang tanpa kabar. Yang membuat Nina menjadi sangat khawatir adalah ponsel Elina tidak aktif, Nina sudah menghubunginya sejak tadi. Entah itu menelpon atau mengirimnya pesan, tetapi tak juga ada jawaban.
"Elinaaa?!" Teriakan itu tiba-tiba menggema dari arah belakang tubuh mereka. Mereka semua menoleh dan mendapati Mirza yang berlari dari arah kantin.
"Hei, Mirza! Kau juga sedang mencari Elina?" tanya Ghandi lebih dulu.
Mirza yang menyadari jika teman-temannya juga mungkin sedang mencari Elina pun menghampiri mereka semua. Nafasnya memburu, ada segelintir ketakutan dalam hatinya.
"Ya, aku sedang mencarinya. Tadi aku dan Elina sedang makan ramen di kantin, tapi-"
"Jadi kau yang terakhir bersamanya? Apa yang kau lakukan padanya?! Kau menculiknya?!" Ghandi menyeru lantang hingga membuat mereka semua menjadi pusat perhatian.
"Ghandi, tenanglah. Dengarkan penjelasan Mirza dulu," kata Farrel tenang.
"Aku memang bersamanya tadi, tetapi saat kami sedang makan, Elina memintaku untuk mengambilkan sambal untuknya. Dan saat aku kembali, Elina sudah tidak ada di tempat kami makan. Aku mencarinya tapi tak juga ketemu," jelas Mirza panjang lebar. Keringat membasahi pelipisnya akibat telah berlari kesana-kemari mencari Elina.
"Sejak kapan Elina suka sambal? Bukankah dia sangat menjauhi makanan pedas dan berlemak?" Nina bertanya heran.
"Aku juga tidak tahu, tapi tadi dia sangat lahap memakan ramen. Aku pun bingung melihatnya." Mirza terlihat sangat kalut, bagaimana bisa Elina menghilang secepat itu?
"Ini aneh. Kau tidak sedang mengarang cerita, kan?" Reksa menyelidik, bertanya dengan nada bicara yang terdengar sangat curiga pada Mirza.
"Aku tidak berbohong! Kenapa kau selalu saja mencurigaiku?!" Mirza meraung. Dadanya naik turun terlihat sangat emosi, muak dengan semua tuduhan itu.
"Karena kau memang selalu mencurigakan."
"CUKUP! Ada hal yang lebih penting dari perdebatan tak berguna kalian!" Nina menyeru dengan suara yang parau, membuat semua temannya terfokus padanya.
"Lihat, Elina menelpon!" Nina menyodorkan ponselnya dan memperlihatkan layar benda pintar itu yang menunjukkan panggilan video masuk dengan nama Elina terpampang di sana.
"Cepat, angkat!"
Nina mengangguk dan menggeser ikon hijau di layar ponselnya, setelahnya mereka semua terkejut dengan apa yang mereka lihat.
"Apa yang terjadi padamu, Elinaaa!" Nina meyeru, ia membekap mulutnya dengan kedua tangan. Tatapannya berubah sendu, hingga tanpa seizinnya air mata lolos begitu saja.
•••
Bersambung...
Elina is gone! Huhuuu
Apa yang terjadi pada Elina? Mau tau? Tunggu chapter selanjutnya ya xixi.
Stay healthy!
Jangan lupa krisar dan dukungannyaaa
Terima kasih,
CC <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro