8. Pisau dan Ramen
_chococheese8 present_
WHO'S THE DEVIL?
Kota jakarta yang terlihat penuh lampu dan hiruk pikuk kendaraan, siapa sangka jika ada gudang besar yang terbengkalai yang terletak di tengah-tengah kota.
Malam begitu kelabu nan muram bagi kedua sebaya yang berada di dalam gudang tersebut. Mereka sedang berbincang dengan emosi dan ambisi yang menyelimuti.
"Bodoh, hanya mengerjakan satu tugas saja kau tidak bisa. Sangat bodoh." Seseorang terduduk di atas drum besi bekas minyak dengan menaikkan satu kakinya. Kepulan asap terus berterbangan akibat sebatang rokok yang ia isap.
Orang di hadapannya mendelik, "jika saja si brengsek itu tidak datang, pasti aku tidak akan gagal!"
"Si brengsek?" Ia terkekeh meremehkan, "bukankan dia pernah menjadi teman baikmu, hm?"
"Ck, tutup mulutmu! Aku bahkan sudah tidak menganggapnya lagi!" Pemuda di atas tumpukkan kayu itu mulai tersulut emosi.
"Kalau begitu seharusnya kau menyerangnya, lawan dia!" serunya menggema, membuat ruangan tak berlampu itu semakin menakutkan.
"Hei! Dia hampir saja membuka topengku, saat itu aku segera melarikan diri. Aku tidak akan membiarkan siapapun mengenaliku," jelasnya, lalu mendengkus kesal.
"Tunggu. Kau tidak melupakan pisaumu, kan?" Tatapannya menyelidik.
Pemuda berjaket hitam itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Aku ... meninggalkannya."
"Apa?! Kau memang sangat bodoh! Bagaimana jika--"
"Berhenti memanggilku bodoh, karena aku tidak sebodoh itu. Aku paham apa yang sedang kau khawatirkan, rubah berbulu domba."
Setelahnya hening, keduanya masih bergelut dengan fikiran masing-masing. Membuat suara hewan malam semakin terdengar memilukan di telinga.
"Lalu, bagaimana selanjutnya?" Dia yang berada di atas drum bertanya.
"Kenapa kau bertanya padaku?"
"Ck, kau ini benar-benar tidak berguna! Apa yang kau bisa? Tidak ada! Hanya bisa mengacaukan segalanya!" Nafasnya memburu. Dia menyambar sekaleng soda di sampingnya lalu meneguknya hingga tandas. Banyak berteriak membuatnya haus.
"Memangnya apa yang sudah kau lakukan, huh?! Kaupun tak melakukan apapun!" Pemuda itu balas menggertak. Ia memutar bola matanya malas lalu menatap keluar jendela. Jauh di sana, terlihat banyaknya rumah penduduk, salah satunya adalah rumahnya. Gudang itu memang lumayan jauh dari kawasan warga, konon gudang tersebut adalah bekas markas mafia yang menjual-belikan narkoba.
"Ah, sepertinya aku ada ide." Ditaruhnya kaleng soda itu kembali ke tempat asalnya lalu menatap teman sebaya di hadapannya.
"Apa itu?" Ia menoleh.
"Aku akan memberitahumu. Tapi dengar, jika kali ini kau kembali gagal, belati ini tidak akan segan untuk mengoyak lehermu."
•••
Suasana kantin sekolah hari ini terlihat begitu ramai, hingga membuat Elina bingung harus duduk di kursi mana. Matanya masih menelanjangi seisi kantin, berharap menemukan satu kursi untuknya.
Hingga netra coklat itu menemukan seseorang yang sangat ia kenal, senyumnya mengembang. Ia segera berjalan menghampiri seseorang yang terduduk sendiri di kursi pojok kantin.
"Mirza! Bolehkah aku duduk bersamamu?" Elina bertanya riang.
Mirza hampir saja tersedak kuah ramennya, lelaki itu kemudian mendongak dan ternganga melihat siapa yang datang.
"E-elina? Oh, iya silahkan duduk saja." Setelahnya Elina tersenyum senang, ia mendudukkan diri di kursi dan berbagi meja dengan Mirza.
Mirza masih mencerna apa yang terjadi, ia mengerjap, apakah yang di hadapannya itu benar Elina? Dia terlihat sangat riang dan manis dengan seyumannya.
Semuanya tau jika semenjak Refal tiada hari itu, Elina menjadi gadis yang pendiam dan muram. Terkadang Mirza saja sampai ngeri jika berdekatan dengan Elina yang hanya diam dengan tatapan tajam.
Tapi sekarang gadis itu terlihat kembali seperti semula, Elina yang murah senyum dan ceria.
"El, kau tidak makan? Atau, kau ingin mencoba ramen? Ini sangat lezat!" Mirza mencoba berbasa-basi. Lelaki itu ingin tau bagaimana reaksi Elina.
"Bernarkah? Ah, aku jarang sekali memakan ramen. Tapi sepertinya itu memang lezat."
"Ya, jika kau mau, pesan saja. Aku yang membayar." Mirza kembali menyantap ramennya.
"Kau serius? Kalau begitu aku akan pesan satu porsi ramen!" Elina berucap penuh semangat. Gadis itu kemudian memesan satu mangkuk ramen dan segelas teh manis untuknya.
Benar, Elina sudah berubah. Dia tidak lagi cuek jika di tawari makan, dia juga tidak malas untuk tersenyum.
Melihat Mirza yang terus memperhatikannya, Elina menghela napas. Dia tentu tau apa alasan dari tatapan itu. Bahkan bukan hanya mirza, tetapi para murid juga memperhatikannya saat ia berjalan riang menuju kantin.
"Apa aku terlihat aneh?" tanya Elina.
"Eh? Ti-tidak, siapa yang mengatakan itu padamu?" Mirza menjadi khawatir atas pertanyaan Elina, dia tidak mau jika temannya itu menjadi gadis yang muram kembali.
"Tidak, hanya saja tatapan kalian padaku terlihat aneh." Elina menundukan kepala.
"Elina, kau tidak aneh. Justru aku senang melihatmu yang kembali seperti dirimu sebelumnya dan mungkin mereka semua juga sama," ucap Mirza menjelaskan.
"Ya, aku sadar jika Refal tidak akan pernah kembali. Jadi untuk apa aku terus bersedih? Hidup ini terus berjalan, kan? Hanya saja, hatiku masih menyimpan rasa dendam. Mirza, bukankan kejahatan harus mendapatkan balasan?"
Mirza masih mencoba memahami setiap kata yang terlontar dari mulut Elina. Terlebih kata terakhirnya, apa maksudnya? Apapun itu Mirza tetap menunjukan senyumnya dan berucap, "iya, kau benar Elina. Kejahatan harus mendapatkan balasan."
Pesanan ramen milik Elina telah datang, setelah mengucapkan terima kasih pada pelayan kantin, gadis itu perlahan menyantapnya.
"Waaah, selama ini aku tidak pernah mencoba ramen di kantin sekolah. Ternyata ini sangat lezaaat!" kata Elina antusias. Mirza hanya tersenyum senang mendengarnya lalu meneguk segelas jus jeruk miliknya.
Elina adalah gadis yang peduli pada penampilan, dia selalu menjaga pola makannya agar tubuhnya tetap terlihat proporsional. Maka dari itu Elina jarang sekali memakan makanan penuh lemak yang tentu saja akan membuatnya gemuk.
Namun kali ini gadis itu terlihat tidak peduli dengan makanan apa yang ia santap, ia makan begitu lahap seperti tidak makan satu bulan. Tapi itu terlihat lucu di mata Mirza.
"Mirza, apakah aku boleh bertanya?" Elina tiba-tiba saja bertanya di tengah kunyahannya, dan tentu memecah lamunan Mirza.
"Tentu saja, apa yang ingin kau tanyakan?"
"Em, tapi kau janji tidak akan marah padaku, kan?" tanya Elina lagi.
Mirza terkekeh, "Elina, tanyakan saja, aku tidak akan marah."
"Sebenarnya aku melihatmu pada malam itu, kau ... apa yang kau lakukan saat itu?" Dengan ragu, Elina menanyakan hal yang sedari lama selalu menghantuinya.
"A-apa?"
"Kumohon, Mirza. Katakan segala yang kau tau, setidaknya itu bisa membuatku jauh lebih tenang." Elina mencoba membuat Mirza mau mengatakan segalanya. Elina yakin jika lelaki di hadapannya itu menyembunyikan sesuatu.
"A-apa maksudmu? Aku ti-tidak-"
"Kau bilang jika kau melihat seseorang mengendap dengan membawa pisau, kan? Tapi Mirza, apa yang kau maksud adalah dirimu sendiri?"
Mirza tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya, lelaki itu menjadi kaku dan tidak tau harus mengatakan apa. Mirza tidak menyangka jika Elina....
"Aku melihatmu, dengan kedua mataku sendiri, Mirza."
•••
Bersambung...
Alhamdulillah, akhirnya bisa update lagi.
Maaf atas keterlambatannya, manteman.
Kemarin aku sempat gak enak badan, terus fikiranku juga lagi gak karuan. Sedangkan nulis cerita ini itu perlu siapin otak yang ... lumayan😭
Tapi yasudahlah, yang paling penting adalah aku sudah bisa update lagi, yeay.
Jangan lupa vote dan komennya ya!
Terima kasih,
CC <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro