
7. Rumor Mistis
_chococheese8 present_
WHO'S THE DEVIL?
"Kau! Kenapa kau harus membawaku seakan kau ini penculik?!" Ghandi bertanya, menatap garang pada Farrel yang berada di hadapannya.
"Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Ada yang sedang memperhatikanmu, mangkanya aku segera menyuruh temanku untuk membawamu masuk ke mobil." Farrel membuka segel minuman rasa jambu lalu meneguknya.
"Apa?! Siapa yang berani memperhatikanku? Apakah dia wanita cantik?" tanya Ghandi membuat Farrel hampir saja tersedak minumannya sendiri.
Pemuda bermata tajam itu menghela napas sebelum kembali berbicara, "Bukan."
"Lalu siapa?"
"Tidak tau. Aku hanya melihatnya sekilas, dia memakai jaket merah juga memakai masker. Aku tidak tau betul apa niatnya, tetapi aku hanya takut jika dia berbuat buruk padamu." Ghandi memiringkan kepalanya. Siapa yang telah memperhatikannya?
"Kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Pasti sudah aku habisi dia!"
"Itulah yang tidak aku inginkan, karena kau gegabah. Jika orang itu kembali mengawasimu, baru kita akan bertindak." Ghandi hanya mengerlingkan mata.
"Omong-omong, wajahmu saat di mobil tadi itu sangat cocok menjadi penculik sungguhan." Ghandi tertawa dengan mulut penuh oleh makanan.
"Aku sengaja menakutimu." Setelah mendengarnya tawa Ghandi terhenti dan melayangkan tatapan kesal pada Farrel.
"Menyebalkan!"
Pukul 5 sore, kantin rumah sakit terlihat sepi. Hanya ada mereka berdua dan beberapa pengunjung yang memesan makanan. Di waktu sore memang rumah sakit itu selalu sepi.
Orang bilang, ada rumor menakutkan di sana. Itu pasti, setiap rumah sakit selalu ada rumor mistis di dalamnya.
"Hei, Farrel. Kau tau tidak jika pada jam enam sore, rumah sakit ini selalu sepi pengunjung. Dan para pekerja di sinipun jarang ada yang berkeliaran, kecuali dalam keadaan genting." Ghandi memulai kembali pembicaraan, walau dia adalah orang yang penakut, tetapi entah kenapa selalu penasaran dengan hal yang berbau mistis.
"Mungkin sebagian dari mereka sedang beribadah," jawab Farrel acuh. Mie ayam level lima kembali disantapnya.
"Tidak. Maksudku, ada hal lain yang menyebabkannya. Orang bilang, ada makhluk astral yang mengganggu siapapun yang berkeliaran, ih, seram!" Ghandi bergidik ngeri.
"Aku tidak percaya."
"Ah, yasudah. Oh, atau ... bagaimana jika kita membuktikannya? Ya, benar! Kita buktikan saja!" Pemuda itu menjentikkan jarinya, tersenyum merasa telah menemukan ide cemerlang.
Farrel menghela napas seraya memejamkan mata, lalu kembali menatap lelaki di hadapannya.
"Aku tidak memiliki waktu untuk melakukan hal konyol seperti itu."
"Kau ini sok' sibuk sekali, katakan saja jika kau takut!" Ghandi menggebrak meja hingga membuat jus alpukatnya tumpah dan mengotori baju putihnya. "AAAKK! HAISH, KENAPA AKU SIAL SEKALI!"
Farrel terkekeh melihat kelakuan teman nyelenehnya itu, hingga menyadari satu hal. Dia merasa jika telah banyak bicara dengan Ghandi dan mereka berdua merasa sangat akrab, padahal Farrel sangat jarang sekali berbicara pada orang jika tidak terlalu penting.
Rasanya Farrel ingin berbicara lebih dan berdiskusi dengan lelaki itu, tetapi ia harus menahan diri. Farrel tidak mau berbicara pada orang yang salah. Aku tidak boleh gegabah, aku harus terus mengawasi mereka semua.
"Ayo, antar aku!"
Farrel mengerjap, mencoba meraih kembali fokusnya. "Hm? Kemana?"
"Toilet! Ayolah, aku ingin membersihkan bajuku," ucap Ghandi memohon pada Farrel, lelaki itu menatap sendu baju barunya yang sudah tak bersih lagi.
"Sepertinya tadi ada yang mengatakan jika aku penakut? Lihat, siapa di sini yang penakut," ucap Farrel menyindir.
"Ya, baiklah. Aku minta maaf! Sekarang ayo antar akuuu!" Ghandi merengek. Akhirnya Farrel mengangguk dan beranjak dari duduknya.
"Begitu dong! Ayo." Tiba-tiba tangan Farrel ditarik hingga membuat lelaki itu kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh.
Tak!
"Eh?" Ghandi memungut benda berselimut sapu tangan yang baru saja terjatuh dari saku Farrel.
Farrel terbelalak, "Ghandi, jangan sentuh itu!" Terlambat, Ghandi sudah meraihnya dan melihat benda apa yang berada di balik sapu tangan itu.
"Pisau lipat? Untuk apa kau membawa pisau lipat, Farrel?"
•••
Waktu terus berputar, langit sore semakin menggelap dengan sedikit warna jingga di ufuk barat. Halaman rumah sakit semakin sepi, tidak ada orang yang berlalu lalang di sana.
Namun, Mirza dan yang lainnya masih berada di parkiran rumah sakit. Mereka semua berniat untuk pulang sejak tadi, tetapi tiba-tiba mobil milik Reksa tidak mau menyala.
"Bagaimana? Apa sudah bisa menyala?" Nina menghampiri Reksa dan Mirza yang masih berkutik dengan mesin.
"Belum. Jika kalian lelah, duduk saja di sana, tunggu sampai mobil ini kembali menyala." Mirza menunjuk ke arah kursi gandeng yang berada di teras rumah sakit. Lelaki itu tidak tega melihat perempuan kelelahan.
Elina menghela napas jengah, lalu melenggang menuju kursi itu. Berbeda dengan Elina, Nina justru masih setia berdiri di samping mobil sembari mengamati kedua temannya.
"Em, apa kalian haus? Ah! Tunggu sebentar, aku akan membelikan minuman untuk kalian." Tanpa menunggu jawaban dari kedua sebaya yang masih berkutik di bawah sana, Nina segera menuju kantin rumah sakit untuk membeli minuman dan beberapa camilan.
Rumah sakit terlihat sangat sepi, tidak ada yang berlalu lalang di sana. Jantungnya berdetak tak karuan. Tangannya menggenggam erat tali tas selempang di depan dada, sandal slop berwarna broken white itu terus melangkah menyusuri lorong yang sunyi.
"Nina...."
Gadis itu terkejut hingga matanya membola. Tidak, aku harus menghiraukannya. Nina terus melenggang menuju kantin. Namun, tidak dapat dipungkiri jika fikirannya mulai terserang kepanikan.
"Nina, jangan pura-pura tidak mendengar suaraku...."
Nina menghentikan laju kakinya, nafasnya memburu. Suara itu semakin membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia menolehkan kepalanya ke belakang dengan kaku. Tidak ada siapapun, hanya ada lorong panjang dengan beberapa lampu di atasnya.
"Nina... aku di belakangmu...."
Remaja berponi itu kembali tersentak, mengatur nafasnya yang semakin tercekat. Nina membalikkan badannya ke arah semula dengan perlahan.
"AAAAK!" Nina menjerit tertahan. Kedua tangannya ia gunakan untuk membekap mulut. Tidak menyangka jika akan kembali melihatnya. Ada perasaan aneh di dalam dadanya. Matanya memanas, tanpa sadar air bening menetes dari kelopak matanya.
"Kenapa kau terkejut, Nina? Bukankah kau sudah terbiasa melihat kami?"
Perlahan Nina memperhatikan sekelilingnya, bohong jika tidak ada siapapun di sana. Terlihat sangat jelas jika banyak yang mengganggu pandangannya.
Namun, dia. Dia yang berada tepat di hadapannya telah mengaburkan semua makhluk yang berada di sana. Nina hanya memfokuskan pandangan padanya.
"Pe-pergi, kumohon pergi...." Nina tak kuasa melihatnya. Gadis itu sangat takut dengan darah.
Makhluk di hadapannya terus mengeluarkan darah dari perutnya hingga mengalir dan menetes ke lantai, membuat pakaiannya menjadi merah pekat. Juga, salah satu matanya teetutup oleh tetesan darah dari pelipisnya.
"Nina, aku kembali hanya ingin mengatakan sesuatu padamu. Tolong, jangan tutupi rahasiamu. Mereka semua perlu tau."
"T-tidak, kau tau jika aku memiliki alasan untuk ini!" Nina menyeru, beruntung lorong rumah sakit benar-benar sedang sepi.
"Aku tau, tapi apa kau akan membiarkan mereka semua mati? Nina katakan segalanya, sebelum semuanya terlambat."
Setelah mendengarnya Nina menggelengkan kepalanya, kakinya perlahan melangkah mundur. Ia berniat untuk pergi dari sana secepat mungkin.
"Nina! Kumohon jangan pergi dulu, Nina!"
Nina berlari sangat cepat, menghiraukan dia yang masih menyerukan namanya. Tangannya mengusap jejak air di kedua pipinya dengan terus berlari.
Gadis berhoddie hijau army itu berniat ke kamar mandi dahulu untuk mencuci wajahnya. Dia tidak ingin jika teman-temannya menyadari perubahan matanya yang terlihat lesu. Aku tidak siap untuk mengatakan ini pada mereka. Nina membatin dengan terus berlari.
"Hey, Nina!"
"AAAAAAAAK! PERGI DARI SINI, PERGIII!" Nina berteriak lantang. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi seluruh wajahnya.
"Nina! Ada apa denganmu?!"
Nina menghentikan teriakannya, dengan segera ia mendongak untuk melihat siapa yang baru saja datang. "Ghandi?" Nina mengerjap.
"Iya ini aku. Kau ini kenapa? Oh! Apa kau juga melihat hantu?!" tanya Ghandi histeris. Lelaki itu menatap Nina tanpa berkedip.
"A-apa? Ha-hantu?"
"Iya! Tadi aku melihatnya, apa kau melihatnya juga?" Lagi, Ghandi bertanya. Lelaki itu pun berlari karena telah melihat hantu di kamar mandi. Dia sampai melupakan Farrel dan meninggalkannya.
"Eh, ti-tidak. Aku hanya melihat ... kecoa! Aku melihat kecoa j-jadi aku sangat ketakutan. Hehe."
•••
Bersambung...
Siapa yang ngobrol sama Nina? Hmmm...
Yeay, update lagi!
Jangan lupa dukungannya, ya!
Terima kasih,
CC <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro