Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8

Di tengah ruangan sana, kulihat Orion sedang berhadapan dengan bocah perempuan yang tingginya bahkan cuma sedadanya, entah Orion yang terlalu tinggi atau si bocah yang terlalu pendek. Dia berbicara dengan segala karismanya, sayang aku tak bisa mendengarnya. Lama menatapi mereka yang berbicara akrab, aku dan kaki kecilku akhirnya menyerah dan memilih untuk kembali duduk, membiarkan cowok rambut merah di sampingku melanjutkan acara menguntitnya. Dia kuat sekali berlutut dalam waktu yang lama.

"Hei!" Kupanggil dia sambil menampar bokongnya. Dia berjengit menjauh tapi aku ikut bergeser mendekatinya lagi, sumpah serapahnya mengalun pelan. Mencoba mengalahkan bisikan berisi kata kotornya, aku berucap, "Sebelum kita bermain, aku perlu tahu namamu. Kita juga belum memutuskan mau ma-"

"Ren," sambutnya tanpa bergerak dari posisinya.

"Apa?" tanyaku.

"Namaku." Dia menoleh sebentar untuk melihat wajah dunguku.

Aku menganguk-angguk dengan wajah puas, lelah mendeskripsikannya dengan rambut merah. "Oke, Ren. Kita main apa?" tanyaku lagi.

"Petak umpet." Dia menjetikkan tangan dengan lentik.

"Kau bercanda?!" Dia tertawa pelan.

"Kita main pentak umpet bersama Orion, ayo ikuti dia. Yang ketahuan lebih dulu akan dapat hukuman," jelasnya. Dia menunjuk si bocah yang entah mengapa, tiba-tiba jatuh terduduk. Aku curiga Orion menyerangnya.

"Apa yang terjadi?" tanyaku kembali berlutut, dan menyangga tangan ke pembatas ring.

"Sebuah prosedur ... mungkin?" Dia sendiri tampak ragu saat menjawabnya. Kakiku makin ingin mengambil langkah untuk menerjang Orion saat kulihat dia menggendong tubuh lemas si bocah lalu berjalan, mengikuti arus orang-orang yang hendak keluar dari tempat ini. Dalam keadaan seramai ini, tidak ada yang mencurigai tindakan penculikannya.

"Apa yang akan terjadi?" Aku kembali bertanya, mataku liar menatapi tubuh Orion di antara lautan manusia, mencoba untuk tak kehilangan dia—jejaknya.

"Dia akan membawanya ke kamarnya." Ren turut menarikku lagi. Sebisa mungkin untuk tak ketahuan cowok berambut panjang itu, aku heran dengan diriku sendiri saat kudapati diriku rela tergencet di sudut lift dengan mata tak lepas dari punggung Orion. Kepulan asap rokok yang entah dari siapa, turut membuatku sesak nafas.

Bau kecut keringat ikut  menyengat hidungku, apalagi saat Ren akhirnya memutuskan buat berdiri di depanku, melindungiku dengan tangan membekap mulutku yang hampir saja menyuarakan serapah.

Setelah mendapat sedikit kepercayaannya untuk melepas tangan berkeringat miliknya, aku berjinjit untuk mendekatkan mulut ke telinganya. "Kau tahu apa yang kupikirkan sekarang?" bisikku pelan.

Dia menaikkan alis lalu melempar tatapan memang-aku-perduli miliknya. Aku memukulkan kepalan tanganku ke dadanya, menggantikan wajah menyebalkannya dengan raut kesakitan yang dibuat-buat. Aku meralat pemikiranku tentang dia yang tidak pandai mengendalikan mimik muka, dia malah pandai mengejek dengan ekspresi.

Tanganku meraih bahunya dan kembali berjinjit dan berbisik, "Aku berfikir untuk meninggalkan permainan konyol ini lalu mengadu ke Orion kalau kau tidak becus menjalankan tugas."

"Coba saja." Dia menempelkan dahinya ke dahiku. Matanya tajam menyorotiku. "Hidupmu tak akan tenang setelah kau melakukan itu."

"Memang kapan hidupku pernah tenang?" Aku ikut menekankan wajah, tapi dia langsung menjauh lalu kembali menggencetku dengan tubuh kerempengnya. Itu cukup membuatku sesak nafas dan merengek minta dilepaskan.

"Aku bukan golongan cowok yang tidak bisa berbuat kasar kepada cewek." Dia berkata cuek.

"Aku sudah tahu. Itu tercermin jelas dari wajahmu," selorohku sambil memiringkan kepala untuk menghindari aroma tidak sedap darinya. Dia seperti sengaja menggapit kepalaku di ketiaknya. Andai bisa, aku ingin menarik hidungnya agar memanjang menuju ketiaknya sendiri, dia perlu tahu penderitaanku. "Betul-betul tipikal orang biadab. Mau membunuhku, eh?!"

"Aku suka dengan kosa kata itu. Aku memang biadab," balasnya lalu terdiam untuk beberapa saat. Aku masih tidak bisa bernapas dengan lega bahkan ketika satu persatu orang mulai keluar dari lift. Mataku melirik panel hologram di sisi pintu, masih di lantai tujuh. Kenapa lift mendadak bergerak seperti siput, lambat sekali rasanya. "Aku selalu punya variasi mengagumkan untuk mencekik orang."

Aku menggepuk punggung Ren, mencengkram hoodie marunnya lalu menariknya menjauh, tapi itu tidak berhasil memerdekakanku.

"Aku akan berteriak memanggil Orion kalau kau tidak melepaskanku," ancamku dengan suara tersiksa.

Dia serta merta melepasku dan mundur selangkah walau tangannya masih mengurungku. Setidaknya aku sudah bisa bernapas dengan benar. "Kau juga tipikal takut-takut berani ya. Kau takut Orion tapi suka memberontak."

"Kau tipikal orang kepo yang sesungguhnya," gerutunya.

Tidak ada perkelahian lagi di antara kami. Ren masih memunggungi pintu untuk mengawasiku sementara aku merenungi punggung Orion. Dia sama sekali tidak terlihat kelelahan menggendong bocah perempuan itu.

Sangkar besi ini berderak naik lagi setelah lama memuntahkan orang-orang gempal. Aku terkadang berfikir bagaimana lempengan besi ini bisa menampung puluhan manusia, aku pernah dengar dari guru, kalau pernah ada masa saat lift cuma bisa menampung tujuh sampai delapan orang saja.

Tinggal enam orang tersisa di sini. Semuanya membisu, tak ada sedikut pun niatan untuk mengajak bicara atau sekedar kenalan dengan yang lain. Ini juga alasan aku tak pernah dapat teman sebelumnya, indvidualisme adalah hal wajar di sini.

"Ren," panggilku pelan. Dia berdehem sebagai sahutan. Aku terdiam beberapa saat sampai akhirnya kembali meraih bahunya dan berjinjit untuk berbisik, "Orion level berapa?"

"Ish! Jangan kepo!" Dia menumpukan dagunya ke puncak kepalaku. Di saat itu lah, aku benar-benar merutuki tubuh pendekku.

"Aku cuma mau tahu, kok."

"Tanya saja sendiri, sana." Dia sama sekali tidak tertarik untuk kembali berdebat lagi.

"Ya sudah, aku mau bertanya." Aku sudah akan mendesak keluar dari kungkungannya tapi dia menarikku lagi.

"Jangan sekarang juga," desisnya jengkel.

Mempersetankan larangan Ren, aku kembali berusaha melepaskan diri darinya, bukan untuk bertanya tentang level Orion, tapi untuk mengejar Orion yang tahu-tahu sudah melangkah keluar lift. Tanganku menggapainya dengan sia-sia dengan mata tak lepas dari sosoknya di sela pintu lift yang mulai menutup.

Masih memberontak dalam pelukan Ren, aku akhirnya ikutan jengkel saat dia masih tak mengerti alasanku menujuk-nunjuk pintu lift. Dia yang menjadi sangat marah saat aku tak berhenti bergerak, akhirnya membenturkan dahinya dengan keras ke kepalaku.

Dihantam kedongkolan yang amat sangat, membuatku kembali ingat kalau aku punya mulut—setelah sedari tadi cuma berisyarat bak orang bisu bahkan saat Orion akhirnya lepas dari pandanganku—lalu menyentak, "Sakit, Ren!"

"Kau bakal membuat kita ketahuan—"

"Orion sudah keluar, tuh!" Dia menoleh cepat ke belakang. Rahangnya menjadi keras saat tidak mendapati Orion di sana. Kepalanya bergerak sedikit, menoleh ke panel hologram di sisi kanan pintu demi melihat angka enam belas tercetak jelas di sana.

"Sial! Orion sialan!"

Lift berhenti di lantai empat belas, lantai di mana kami dan Orion seharusnya turun. Ren menggeretku keluar dengan tergesa lalu membawaku keliling ke koridor yang di sisinya penuh dengan pintu lift. Ketika menemukan salah satu lift yang mengarah ke bawah, dia segera menekan tombol untuk membuatnya berhenti.

Dia terlihat seperti cacing kepanasan saat menunggu pintu lift terbuka. Berkali-kali dia menatapku yang juga tengah memperhatikannya, sepertinya dia mulai mempertimbangkan untuk mengakhiri permainan konyol yang sama sekali tidak asik ini. Ren adalah perencana permainan yang buruk.

Dia kembali menyeretku masuk ke lift saat pintu terbuka. Cuma ada seorang gadis bertudung hitam di pojok saat kami masuk. Aku melayangkan pukulan dengan kesal sementara Ren menekan angka sepuluh di panel. Dia sepertinya punya hobi menarik-narik orang.

Kali ini tak lama, tidak sampai semenit kami sudah tiba di lantai sepuluh. Lagi, dia menarikku. Kami kembali dihadapkan oleh koridor penuh lift di bagian kiri sementara bagian kanannya cuma dinding yang dengan cabang koridor.

Dari arsip di komputer ruang umum yang kemarin kukunjungi, Dynox terdiri dari tiga gedung pokok yang berjejer menghadap ke utara. Yang tengah dan merupakan yang paling tinggi adalah bangunan sekolah, tempat para fox untuk belajar di pagi hari. Di sisi kirinya ada gedung yang sedikit lebih pendek, itu adalah asrama untuk fox dengan kode GA dan gedung satunya adalah asrama fox berkode NB. Jangan tanya aku apa perbedaan keduanya, aku pun tak tahu.

Kode fox-ku sendiri adalah GA dan saat ini masih di level D3, level terbawah.

Untuk bangunan kelas, biasanya satu lantai di isi empat sampai lima kelas yang lumayan luas. Dan untuk gedung asrama, umumnya punya struktur yang sama. Seperempat bagian terkiri bangunan diisi lift, lalu dari sana, empat koridor lain bercabang dari sana yang merupakan akses kamar bagi fox. Kurang lebihnya seperti itu. Tapi kali ini, bukan puluhan pintu kamar yang kulihat setelah kami ada di salah satu dari empat koridor itu.

Dinding di sisi lorong bukan terbuat dari lempengan besi atau semacamnya, melainkan dari kaca tembus pandan sehingga aku bisa melihat kegiatan di setiap ruangannya. Banyak orang-orang berjas putih dengan kaca mata yang tampak berkilauan terpasang di kepala mereka. Melihat segala kilauan dan higenisnya tempat ini, entah kenapa aku menjadi mual dan ingin segera pergi dari sini. Suatu memori tentang hari pertama aku bangun di tempat ini terasa sangat menggangguku.

Seperti deja vu, langkahku tiba-tiba terhenti seakan segala gravitasi cuma berpusat di bawah kakiku. Kudengar Ren mengumpatiku karena langkahnya harus ikut terhenti. Tapi aku terlalu tersesat pada sepasang mata biru terang yang menatapku dari balik salah satu ruangan. Senyum tenangnya mengingatkanku pada seseorang paling kejam yang pernah kutemui.

*****

Hai! Apa kabar kalian semua? Semoga sehat dan menyempatkan diri membaca ini.


Sembari menyeret Zie dan antek-anteknya, saya akhirnya kembali \(^o^)/\(^o^)/\(^o^)/

Sebulanan ini (itu kedengaran aneh) aku disibukkan sama ujian praktek sekolah, jadi baru sempat ngetik hari ini.

Semoga suka, ya. Sehat selalu!

Silahkan tinggalkan jejak anda (人 •͈ᴗ•͈)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro