10
Menurut perkiraanku, ini sudah hampir dua jam semenjak bel akhir latihan berbunyi. Dan bukankah akan lebih baik andai saja aku tidak bertemu Ren dan tidak ikut serta ke dalam permainan konyolnya itu. Aku bisa menghabiskan waktu memukuli samsak atau bertandang ke ruang umum untuk mengakses lebih banyak novel picisan. Tapi alih-alih itu semua, kenapa aku malah terdampar di tempat macam ini?!
Ah, ya! Semuanya berawal dari Ren, pemuda sialan itu! Bagaimana dia bisa meninggalkanku begitu saja setelah menyeret dan memaksaku mengekorinya menguntit Orion. Dia seharusnya di sini juga. Setidaknya menemaniku menghadapi tiga orang manusia bermata tajam yang tak henti memelototiku.
Seakan bergerak barang sedikit saja merupakan sebuah hal paling tidak wajar di dunia. Mereka turut memperhatikanku saat aku menyisipkan anak rambutku ke belakang telinga. Mereka masing-masing, duduk dengan gaya berbeda. Seorang perempuan bertubuh tiang yang duduk paling kiri, sedang selonjoran di kasur, badannya menghadap ke dua temannya yang lain, tapi wajahnya tercurah sepenuhnya menyorotku. Salah satu kakinya tertekuk, satu lainnya membentang sampai hampir menyentuh ujung lain ranjang. Orang tinggi memang beda, ya.
"Kau level berapa?" tanya gadis kuncir dua yang sedang memeluk boneka berbulu yang punya dua mata obsidian. Dia duduk bersila, terlihat manis dan imut, tapi tatapannya sama sekali tidak imut. Itu sangat tajam.
"Masih D3," jawabku pelan. Ini benar-benar membuang waktu. Aku ingin sekali menerobos keluar ruangan ini lalu pergi ke kamar. Itu akan lebih baik ketimbang meladeni tiga orang ini. Toh, Orion, selaku orang yang menyeretku ke sini, malah sibuk dengan hologramnya di sisi lain ruangan. Dia terlihat sangat sibuk.
"Wah, masih sangat junior." Satu lainnya, memberikan tepukan pelan di kepalaku. Dia adalah lelaki bertubuh kekar dengan kepala plontos yang sempurna memantulkan cahaya hologram Orion. "Kalau bos saja sampai merekrutmu sedini ini, kau pasti punya kemampuan hebat. Tidak akan sulit untuk naik level."
Aku tertawa garing. "Kuharap begitu ...."
Mari kembali ke setengah jam sebelum kecanggungan ini dimulai. Saat aku berkata, "Ren bilang, bukan hal bagus untuk direkrut olehmu."
Orion menggosok wajahnya dengan keras waktu itu. Ketara sekali dia begitu terganggu oleh kata-kataku. Dia mangalihkan pandangan jauh ke belakangku sambil berkacak pinggang, berdecak kemudian menyahut, "Dan kau percaya?"
Aku memiringkan kepalaku, alisku mengerut mempertanyakan pertanyaannya. "Memang?" Dia ikut mengerutkan alis. Aku melanjutkan, "Dan kenapa juga aku harus tidak percaya?"
Orion mengalihkan pandangan lagi, terlihat lebih kesal daripada sebelumnya. Bibirnya membentuk garis lurus yang sepertinya akan sulit untuk dibengkokan lagi. Aku makin memiringkan kepala.
"Orion," panggilku. Dia menoleh sejenak, tapi kemudian kembali memindahkan pandangan ke belakangku. Saat itulah, aku merasakan sesuatu menempel di kepalaku.
"Polos sekali ...." Suara itu muncul begitu dekat. Seperti seseorang sengaja bicara tepat di telingaku. Dan memang benar, aku berbalik, terkejut sendiri saat menemukan perempuan yang sedang membungkuk di belakangku. Dia tersenyum kemudian menarik diri. Aku kembali dikejutkan oleh tingginya setelah dia berdiri tegak. Dia bahkan lebih tinggi dari Orion. Sebelum aku waras dari gelombang kejut itu, dia melontarkan pertanyaan, "Kau nemu di mana, Yon?"
"Di selokan."
Oke, aku terlalu terkejut untuk menggebuk Orion—aku tak berani juga. Cowok itu berbalik dan masuk ke pintu berneon ungu. Tak perduli tatapanku yang menuntut jawaban darinya mengenai siapa perempuan raksasa di belakangku ini.
Aku didorong masuk begitu saja oleh perempuan itu. Dia bilang, "Ayo, lekas, kita harus nurut sama bos." sambil mengaduh saat kepalanya terantuk kosen pintu. Kami disambut ruangan yang lumayan besar dengan beberapa perabotan yang mengkilat tersiram cahaya dari pintu.
Mereka tidak repot-repot menyalakan lampu dan langsung menutup pintu. Satu-satunya cahaya di ruang ini berasal dari hologram yang Orion mainkan di sudut ruangan. Sementara itu, aku dihadapkan dua manusia yang sedang berbincang di sebuah ranjang. Si perempuan raksasa ikut bergabung. Mereka lalu kompak menatapku tajam setelah si cewek tiang itu membisikkan sesuatu ke dua orang itu.
Aku cuma melongo saat itu.
"Siapa pelatihmu?" tanya salah satu dari mereka. Menyadarkanku dari lamunan tentang bagaimana aku terjebak di sini.
"Eh, aku tidak kenal namanya, sih," jawabku sembari mengingat-ngingat apakah pelatihku itu pernah menyebutkan namanya walau cuma sekali. Sepertinya tidak. "Kalian tahu, senior berbadan besar yang suka belagu-"
"Sisi" Orion memotong tanpa mengalihkan pandangan. Ketiga orang itu dengan segera bergumam tidak jelas.
"Lelaki brengsek itu ... " desis si tubuh tiang.
"Sudah hampir ujian kenaikan level, kau hebat kalau bisa bertahan selama itu," kata kepala botak. Dia menatapku sambil tersenyum.
Ya, aku rasa itu hal yang patut untuk dibanggakan setelah aku melewati banyak fase di mana aku ingin berdemo di depan ruangan para petinggi akademi untuk mengganti pelatihku. Tapi entah mengapa aku merasa dia punya maksud lain saat dia mengatakan itu. Kalimat tersirat yang membuatku merasa rendah diri.
Aku menganggu pelan, mengiyakan saja. "Hidupku barangkali bakal sedikit damai setelah kenaikan level nanti. Itupun kalau aku masih hidup."
"Jangan murung begitu," hibur si botak. Aku sama sekali tak merasa terhibur. Dia tersenyum lagi, jenis senyum yang mengesalkan, "Ayo bicarakan hal lain-"
"Tidak ada hal lain." Orion memotong. Dia tahu-tahu sudah ada di belakangku. Matanya menekuri tiga orang itu. "Para junior sudah menunggu untuk latihan, pergilah! Jangan jadi idiot yang mengintimidasi anggota baru."
"Siap, bos!" Seru ketiganya.
Mereka bergegas bangun dari ranjang. Berlomba-lomba mencapai pintu lebih dulu. Kaki si plontos tidak sengaja menendang kursi yang kududuki, aku jatuh, tanganku terinjak si kuncir dua, tenggelam dalam langkah kaki mereka yang morat-marit. Aku menyumpah tentang bagaimana aku ingin memotong-motong tubuh mereka untuk kuberikan ke koki kantin yang kekurangan bahan makanan. Tapi makian dan cercaan mereka bahkan lebih keras dariku.
Rasanya jarak antara pintu dan ranjang yang kami duduki tidak terlalu jauh, tapi mereka bahkan masih bisa berdebat dengan santainya sementara aku meringis-ringis sakit di bawah sini.
"Kau mau pergi latihan dengan boneka norak itu, Nero?"
"Ini tidak norak! Kalian tidak bisa menghakimi kesukaan orang lain!"
"Ah, ya, Nero dan mulutnya yang licin."
"Terkutuklah tubuh tiangmu, wanita licik!"
"Oh, jangan iri, jangan dengki, cebol!"
"Tubuh kecil itu imut!"
"Pemikiran tolol."
"Wanita sialan!"
"Mengumpat itu tidak imut, Nero."
Perempuan tiang dan kuncir dua tak berhenti saling menghina sampai kepala botak melerai mereka dengan sia-sia. "Ayolah teman-teman, kapan kalian bakal akur?"
Mereka berdua kelihatan akur saat menginterogasiku tadi, ya, 'kan? Perdebatan mereka merambah ke ranah lain, tapi tak lama karena saat pintu dibuka, gelombang suara dari luar sana mampu mengalahkan suara mereka. Juga sinar warna-warni yang merangsek masuk ke sini, menyinari setengah wajahku yang babak belur. Membuatku sibuk menggeliatkan tubuh untuk menghindarinya.
"Bocah-bocah ini." Orion berkacak pinggang, nampak jengkel dengan tingkah anak buahnya. Dia "Langsung kembali ke kamar setelah latihan!"
"Siap bos!" seru mereka.
Pintu tertutup, dan ruangan ini menjadi sunyi.
"Bangunlah," perintah Orion.
Aku bangkit dengan lumayan kesal. Kenapa aku apes sekali malam ini, astaga. Sudah berapa kali aku terjatuh, rasanya hampir keseluruhan tubuhku nyeri-nyeri. Bekas pukulan pelatih bahkan masih berdenyut-denyut dengan menyebalkan sampai sekarang.
"Buruk," gumam Orion.
"Hah? Kenapa?" tanyaku tak terlalu mendengar suaranya. Dia menggeleng, matanya senantiasa menatapku, dari kepala sampai kaki. Memang dia bisa melihat dengan jelas dalam kegelapan seperti ini, apa? "Kau bilang apa?"
"Buruk. Penampilanmu buruk, selalu." Aku menyesal sudah bertanya. Dia mendirikan kembali kursi yang sebelumnya kududuki, lalu menempatinya. Dia menepuk bagian ranjang, "Kemari, duduk di sini."
"Mau apa?" tanyaku sambil menepuk bokongku, barangkali celana trainingku kotor saat jatuh tadi.
"Duduk saja." Orion yang pemaksa.
Aku menurutinya, duduk canggung di ranjang. Orion segera mengulurkan tangan, aku mundur, mengira dia ingin mencekikku, rupanya dia cuma meletakan tangannya di tengkukku, dia menekan pelan di sana.
"Sakit?" Aku menggeleng.
Tangannya meninggalkan leher lalu menyentuh pipiku, dia memberikan elusan lembut, hangat dan entah kenapa membuatku ingin tersenyum. Aku tidak melakukannya dan menatapnya yang tengah menekuri wajahku. Kenapa pula dia, apakah ada hal aneh di wajahku? "Apa yang kau lakukan?"
"Diam." Dalam keremangan ini, kulihat samar-samar alisnya yang mengerut. Bulu matanya bergerak indah saat netranya bergerak menangkap mataku. "Mana lagi yang sakit?"
"Hah?" Aku melongo, dalam film-film lawas yang sering dipertontonkan di proyektor kelas, wanita cantik melongo dengan elegan. Mulut sedikit terbuka dengan mata kecil bulat yang melotot imut. Tapi melihat Orion tidak terkesan sama sekali, barangkali wajahku memang sejelek itu, ditambah dengan memar dan bekas darah mimisanku yang belum sepenuhnya hilang. Bukannya cantik, aku malah terlihat seperti gadis bar-bar yang habis jempalitan di ring sambil adu jambak dan cakar dengan wanita bar-bar lain.
"Bodoh." Orion mencondongkan badannya ke samping, kudengar suara gesekan memilukan, saat dia kembali menegakkan tubuh, sesuatu yang kecil dan panjang sudah ada di genggamannya.
"Apa itu?" tanyaku. Dia tidak menjawab, tapi mengangkat benda itu ke depan mukaku. Aku melongo lagi, "Apa?"
Klik!
Cahaya benderang menimpaku begitu saja, menyilaukanku yang sudah terbiasa dengan gelapnya ruangan ini. Aku menyipitkan pandangan dan mengangkat tangan sebagai refleks melindungi mata. Oke, itu senter, cuma senter. Kami terpaku beberapa detik sampai Orion berdecak. Dia menarik tanganku yang masih terangkat di udara, lalu mengarakan senternya ke sana.
Aku tidak punya waktu untuk memeriksa seberapa parah luka yang diberikan oleh orang-orang tak beradab yang kutemui sebelumnya. Itu ternyata cukup parah, luka parut menghiasi telapakku, berwarna kecoklatan bekas darah dan karat dari lantai ruang latihan yang sudah bobrok. Sejujurnya, itu tidak terasa sakit sebelumnya, tapi setelah tahu seberapa parah, sakitnya mendadak datang begitu saja. Aku meringis-ringis saat Orion menyentuhkan tangannya ke sana. Seperti sebuah deja vu, aku melihat pendar kehijauan muncul, lalu sakitnya hilang lagi.
"Orion," panggulku, "kok, tanganmu bisa bersinar begitu?" tanyaku.
Orion tidak menjawab, dia kembali mengarahkan senter ke wajahku. Aku menolehkan wajah, mencoba menghindari belati sinarnya. Aku memprotes tapi dia masih bergeming, menatapku dalam diam. Kalau diperhitungkan, perjumpaanku dengan Orion tidak terlalu sering. Aku lebih sering menghadapi wajah-wajah cemberut dengan alis menukik tajam dan dahi dikerutkan ketimbang wajah datar tanpa riak milik Orion yang kini dia tampilkan. Dan kalau biasanya aku akan ikut cemberut dan layu setelah menghadapi orang-orang, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa kali ini, mendadak saja otakku seperti tidak pernah berfungsi sama sekali. Apakah keadaanku dengan Orion selalu secanggung ini? Sepertinya kemarin-kemarin tidak.
Apa yang salah?
"Kau tahu," tuturku setelah berhasil menenangkan peperangan batin antara kesal, canggung dan takut untuk menegur Orion, "memuakkan kalau kau terus berkata sepatah dua patah begitu." Dia masih diam, membiarkanku lebih lama lagi menanti cemas untuk melihat reaksinya.
Dan tidak, dia tidak bereaksi sama sekali.
Senternya meninggalkan wajahku, kini menyorot tanganku yang lain, yang baru dia sambar dengan tidak sabar. Dia kembali menyentuhkan tangannya. Lumayan lama sampai dia kembali mencondongkan badan ke arah sebuah laci (aku tahu karena dia menyorotinya dengan senter yang dia capitkan di gigi) yang kembali berdecit memilukan saat ditarik terbuka. Dia kembali lagi dengan benda lain lagi di tangan, di bawah sinar senter, aku mengenalinya sebagai salep, mirip dengan yang sering dimiliki droid perawat. Orion menjadi sibuk dengan benda itu, membalik-baliknya lalu menggaruk tengkuknya, lalu membaliknya lagi, dan di atas segalanya, dia melupakan aku dan tanganku yang sebelumnya dia pegang-pegang (jangan ngelantur saat aku bilang begitu, aku cuma mendeskripsikan).
"Orion." Aku memanggil lagi. "Kau tidak mau bicara?"
Masih dengan senter di gigi, Orion mendongak dari usahanya membuka penutup salep. Wajahku kembali di siram cahaya senternya, dan aku masih terkejut saat mendapatinya, omong-omong. Mencoba menutupi mata dengan tangan adalah hal yang sia-sia karena aku bakal tidak bisa melihat Orion, jadi aku memanjangkan tangan kananku menangkup senter untuk menghalangi cahayanya. Itu berhasil, tapi nyeri kembali menyerang telapakku, aku meringis sementara Orion mengeluarkan suara tersedak.
"Sialan!" umpatnya setelah berhasil mengeluarkan senter yang tak sengaja kudorong masuk ke mulutnya. Aku terlonjak sambil mengeluarkan suara 'ups' pelan.
"Uh, Orion." Tanganku berusaha menggapainya dengan ragu, kugigit bibir untuk beberapa saat. "Sori."
Dia menaruh senter di ranjang dengan sedikit sewot, matanya memerangkap mataku. Aku bisa merasakan keringat mengaliri punggungku. Aku baru mau membuka mulut, tapi dia menarik tanganku yang masih tergantung di udara. Dia mengoleskan sesuatu di sana. Oh, dia berhasil membuka salep itu rupanya.
"Nah," katanya setelah lama menahan diri sambil menekan-nekan lukaku sampai aku meringis-ringis. Suaranya masih sama seperti dulu, berat dan maskulin, dan membekas sekali di kepala. "Melihatmu tidak bertanya macam-macam saat aku mengajakmu ke markas, apa saja yang sudah diceritakan Ren padamu?"
Oke, itu kalimat yang lumayan panjang. Mengabaikan sensasi aneh yang meresapi poriku saat dia berbicara, aku menjawab, "Dia cuma bilang sesuatu tentang perekrutan yang kau lakukan."
"Kenapa kalian menguntitku?" Dia mengangkat muka lagi saat bertanya. Dan itu masih berupa wajah datar.
"Ah, itu, Ren bilang tentang permainan petak umpet—Ah! Sakit kalau ditekan-tekan begitu!"
"Dan kau percaya?"
"Kau mengirimnya buat memastikanku tidak terpenyet-penyet oleh pelatihku, 'kan?" Aku meniup-niup telapak tanganku setelah berhasil lepas dari cengkramannya. Aku memanyunkan bibir, "Mana aku tahu aku tidak harus mempercayainya."
Dia berdecak. Dia melemparkan salep kecil yang habis dia gunakan buag mengobati tanganku ke ranjang. Dia lalu bangkit dalam satu hitungan. "Ikut aku."
"Kemana lagi—"
"Ikut saja!"
Aku ikut bangun, melirik sekilas ke senter yang tergeletak di ranjang, masih menyala dan menyorot ke dinding. Dengan jari -jari yang beruntung tidak terkena amukan olesan salep Orion yang meleber sampai ke pergelangan tangan, aku meraihnya, lalu menggigitnya seperti yang Orion lakukan. Aku menerangi lantai dengan itu, menunduk dan mendongak untuk melihat sisi lain ruangan yang tidak terkena sinar dari luar sebelumnya.
Lantai sejauh ini bersih dari barang-barang selain kursi yang diduduki Orion sebelumnya dan sebuah kotak besi yang tergeletak di dekat kabinet meja tempat Orion mengambil salep. Ada ranjang lagi di sisi sini, barangkali itu yang sebelumnya di pakai Orion saat berkutat dengan hologramnya. Ranjangnya terbuat dari rangka besi, seperti yang lumrahnya ada di sini, tapi dengan matras yang lebih empuk dan nyaman juga seprai krem yang bersih. Aku bakal kerasan tinggal di sini andai diizinkan soalnya matras di kamarku sudah mulai aus dan keras, ditambah aku lupa melepas seprai untuk di kirim ke ruang cuci kemarin.
Di sampingnya ada kabinet lain juga, lebih tinggi dan besar dengan peti-peti besi yang berjubelan di asatnya. Selain itu, ruangan kosong melompong.
Aku sedang sibuk menunduk-nunduk, berusaha menyoroti laci kabinet paling bawah yang sedikit terbuka saat Orion memanggilku. Aku mendongak cepat, menemukan Orion yang sedang bersandar di dinding sambil melipat tangan ke dada. Dia menggeleng-geleng melihat wajah konyolku dan air liur yang menetes dari celah dimana senter berada.
"Masuklah," perintahnya sekali lagi. Dia membuka pintu cokelat yang entah sejak kapan ada sampingnya, menunjukan sebuah koridor.
Bukan koridor bersisi tembok atau pintu-pintu, atau kaca tembus pandang seperti yang biasanya kulihat, tapi sebuah koridor besi yang menggelantung di atas ketinggian, diapit ruang kosong yang dinamakan kegelapan. Dan sebelum aku terkejut lagi dengan pemandangan di sana, aku lebih dulu menutup mata, menghindari tekanan angin yang tiba-tiba saja menampar wajahku.
Apa-apaan Orion ini?!
Silahkan tinggalkan jejak (人 •͈ᴗ•͈)
Salam manis plus pahit dari author yang suka ilang-ilangan ini, semoga kalian enggak lari saat ngeliat notif update-an work ini :'v
Nguhehehehe :-D
Paipai, selamat pagi, siang dan malam!
2409 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro