Let's be Festive!! #4 - Ada Awal ada Akhir
(Name POV)
.
"Hari ini shiftmu sudah selesai (Name)."
"Eh??"
Aku mengedipkan mata gak percaya. Hokuto-kun dengan santainya mengeluarkan papan jalan dari balik jaketnya. Bagaimana dia menyimpan benda sebesar itu di sana aku tidak mau tahu. Hokuto-kun menunjukkannya di depan mataku. Aku memicingkan mata.
Benar. Shift-ku hari ini sudah selesai.
"Tapi--hari ini kan hari paling sibuk Hokuto-kun!! Aku bisa membantu!!" Seruku protes. Hokuto-kun menggeleng tegas.
"Aku tidak mau mengambil resiko kau meracuni satu kota."
"Ouch." Balasku. Hokuto-kun menghembuskan nafas tidak habis pikir. Tapi sedetik kemudian dia tersenyum hangat, mengacak rambutku.
"Aku bercanda. Kau memang berhak mendapatkan waktu liburmu." Katanya. Aku menatapnya sebal.
"Hoku-chan nggak pinter bikin candaan." Balasku kejam. Hokuto-kun tertawa agak kikuk, kali ini benar - benar merusak rambutku. Aku segera menyudahinya. Setelah meyakinkannya kalau aku tidak akan menyusup diam - diam ke kelas dan mengikat Souma-kun di toilet supaya tidak ada yang curiga, akhirnya aku pun mengelana sendirian di sekolah.
Hari ini rambutku kugerai dengan asal - asalan karena aku sudah lelah mengurusi diriku sendiri. Aku bahkan salah memakai kaos dan malah memakai rok seragam. Untungnya Adonis-kun berbaik hati meminjamkan jaketnya lagi. Jadilah aku tampak kikuk dengan jaket kebesaran dan baju yang banyak salahnya. Bahkan kaos kakiku saja salah pasangan.
Untungnya tidak ada yang memerhatikan. Sekolah terlalu padat populasi untuk meluangkan sedikit perhatian pada anak cewek biasa macamku. Teman - teman yang lain juga sibuk di kelasnya masing - masing. Bahkan Mao-kun yang berjanji akan mengajakku jalan secepat yang dia bisa pun tak pernah muncul lagi sejak hari itu. Aku juga sudah mengunjungi semua atraksi disini dalam dua hari terakhir. Jadi aku pun juga tidak punya tujuan.
Kurasa..... dia pun juga sudah tidak punya tujuan kan??
Sekarang sudah pukul 15.00. Sedikit lagi festival akan benar - benar berakhir(meski masih 3 jam lagi). Tapi tidak masalah kan kalau aku melakukannya sekarang?? Toh biar semua beban terangkat. Biar kita benar - benar bisa "menutup" semuanya.
Aku mengubah haluanku. Kakiku segera membawaku menuju halaman sekolah. Sedikit berlari kecil.
Benar dugaanku. Tidak ada siapa - siapa disini. Bahkan angin pun seolah sungkan untuk berhembus disini. Terkadang aku berpikir, sekolah ini terlalu luas, jadi kalau ada satu dua tempat yang kosong semacam ini jadi tidak aneh. Aku bahkan takkan protes kalau ada yang bilang taman bunga sekolah kita agak tidak berguna. Selain mengherankan bagaimana bisa bunga - bunga disana tetap segar dan harum seolah tidak mengenal kata mati.
Aku memutuskan untuk duduk di pinggir panggung. Meski tidak ada juga yang bisa dilihat. Kakiku mengayun pelan. Rokku agak tersibak berkat gerakan kakiku.
Saat itulah.
"Ah."
Aku tidak menoleh.
Suaranya sudah jelas untuk memberitahu bahwa dia pun datang lebih awal dari janji kita. Dia menghampiriku tanpa suara. Beranjak duduk di sampingku.
"Yo, gimana kabarmu?? Katanya kamu hampir ngeracunin aktor terkenal ya??"
Nggak bisa apa dia nanya yang lain??!!
Aku reflek memukulnya. Dia tertawa lebar. Meski agak tertahan. Aku mendelik sebal. Tapi enggan mengkonfirmasi kabar itu. Sialan Sena-senpai. Pasti dia tersangka berat atas tersebarnya kabar ini. Meski aku yakin itu karena dia tak sengaja bilang di depan Tenshouin-senpai dan Ketua OSIS tercinta itu membincangkannya dengan Hibiki-senpai. Yah. Pasti begitu.
Oke, jadi melenceng dari tujuan awal. Morisawa-senpai menenangkanku. Tanpa menatapku, dia lalu bertanya.
"Jadi, apa jawabanmu??"
Deg.
Aku menggigit bibirku pelan. Bahkan setelah dia tahu persis bagaimana perasaanku selama ini, dia masih bertanya seperti itu?? Apakah dia benar - benar masih punya harapan atau tidak aku tidak mengerti lagi. Aku takkan pernah mengerti logika jatuh cinta.
Tapi aku mengerti aku harus menyelesaikan semua ini.
Aku menggeleng pelan, agak ditegaskan. Lantas aku berkata sejelas mungkin.
"Maaf Senpai. Aku tak bisa menerima senpai."
Hening setelah itu.
"...... aku mengerti. Tapi ini bukan karena Maeda kan??"
Aku menoleh cepat padanya. Ternyata dia sudah menatapku serius. Aku menatapnya tak mengerti sekaligus ngeri. Dia beranjak berdiri. Menjulurkan tangannya padaku.
"Aku ingin kau menjawab berdasarkan apa yang ada di dalam hatimu (Name)-chan."
Aku menyambut tangannya. Ikut berdiri.
"Aku ingin kau menjawab tanpa memikirkan statusmu, sekelilingmu, ataupun perasaan orang lain. Aku ingin jawaban yang berasal dari dalam hatimu. Bukan dari yang lain." Tegasnya. Kukira dia sudah akan menangis karena suaranya sudah gemetar. Tapi dia tetap tersenyum. Sabar menunggu jawabanku. Mengikuti teladannya, aku berusaha tersenyum. Mengumpulkan keberanian.
Aku sekali lagi menggeleng.
"Maaf Senpai.... aku tak bisa menerima Senpai." Jawabku. Suaraku kali ini seolah terdengar jauh. Seolah bukan dari diriku. Morisawa-senpai tidak menjawab. Aku menunduk. Senyumku semakin nyata.
"Aku.... aku memang menyayangi senpai. Aku akan selalu berterima kasih atas semua yang telah senpai lakukan padaku. Senpai adalah salah satu orang terbaik yang pernah kutemui." Aku menatapnya. Dia balas menatapku. Aku melanjutkan kalimatku.
"Tapi itu semua bukan berarti aku harus menyayangi senpai dengan cara itu. Ada banyak bentuk cinta di dunia ini. Dan apa yang kurasakan sudah jelas bukanlah cinta yang itu. Aku mengerti senpai merasakan cinta yang berbeda dari apa yang kurasakan. Tapi bukankah...." aku berhenti. Sedikit tercekat.
"Bukankah cinta datang tanpa ada yang tahu....??"
Morisawa-senpai masih terdiam. Tidak membantah satupun kalimatku. Aku menghembuskan nafas. Lega telah mengatakannya.
"Maafkan aku senpai. Aku memang tidak merasa seperti itu." Lanjutku. Morisawa-senpai tetap diam. Karena dia tidak menjawab apapun, aku menatapnya lebih baik. Dan seketika mataku melebar.
Morisawa-senpai menangis.
Tanpa suara. Wajahnya sudah basah begitu saja. Aku terkesiap. Tapi tak kuasa berkata satu kata pun. Aku terlalu terkejut bahkan untuk sekadar menepuk bahunya. Menyadarkannya. Kami berdua sama - sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing - masing. Aku tak tega mengusiknya.
Morisawa-senpai terguncang. Dia merangkulku pelan. Aku tidak menolaknya. Membiarkannya saja.
"....... baiklah. Aku mengerti." Gumamnya. Aku tetap terdiam.
"Cinta datang tanpa ada yang tahu yah..... keren juga kau bisa mengatakan hal seperti itu."
"Memangnya menurut senpai ini semua salah siapa??" Ketusku. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya dan menghembuskan nafas lelah. "Kau tak tahu bagaimana Sena-senpai menceramahiku kemarin."
"Sena?? Maksudmu Sena Izumi yang itu??" Morisawa-senpai menoleh dan menatapku seolah aku baru mengatakan Subaru-kun datang ke sekolah dengan seragam yang benar. Aku mengangkat bahu tak peduli.
"Aku seolah diseret ke kuliah percintaan. Ah, waktu Sena-senpai mau nembak, senpai juga sempat nyeramahin aku." Kataku tiba - tiba teringat kejadian musim panas lalu. Morisawa-senpai tercekat. Mungkin dia malu dan tak menyangka aku masih mengingat itu. Dia membuang mukanya.
"Yah..... yah.... begitu---"
"Jadi kalian selama ini sobat senasib??" Seruku mulai memahami semuanya. Morisawa-senpai tak menjawab. Tapi karena dia tidak balik menatapku itu berarti aku benar.
Aku tertawa tertahan. Meninju bahunya pelan.
"Hey, itu wajar. Kurasa Sena-senpai tak seagresif yang kukira."
"Hati - hati (Name)-chan, dia jauh lebih agresif dari yang kau kira." Timpal Morisawa-senpai buru - buru. Aku tertawa lagi. Seketika suasana mencair. Meski Morisawa-senpai masih menangis. Tapi itu tidak menahannya untuk tertawa. Aku sendiri juga, rasa bersalah itu seketika tersiram begitu saja. Percakapan mengalir begitu saja. Kita langsung sibuk membahas hal lain. Membicarakan banyak hal. Tertawa.
Seperti kita yang biasanya.
Kukira penolakan ini akan berjalan lebih dramatis. Tapi hey, apa yang kuharapkan dari idol - idol di sekolah ini?? Mereka terlalu unik untuk drama percintaan yang biasa. Tapi diluar semua keunikan itu, mereka tetaplah remaja cowok normal lainnya. Mereka juga bisa jatuh cinta. Dan kurasa, tak terelakkan akulah sosok ideal untuk tempat jatuh cinta mereka.
Dari percakapanku sore itu bersama Morisawa-senpai, aku jadi tahu bahwa masih banyak lagi yang menyukaiku. Aku ingin tidak percaya, tapi kalau dipikir - pikir aku juga tidak pernah mengira Mao-kun akan menembakku. Kurasa kemungkinan itu memang masih ada.
Tapi Morisawa-senpai bilang aku tidak perlu hati - hati. Dan entah kenapa aku tidak bisa mengerti untuk yang satu itu.
Tak terasa hari sudah senja selagi kami asyik mengobrol. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.25. Aku yakin yang lain juga sudah menutup atraksi karena para pengunjung sudah memadati gerbang sekolah. Morisawa-senpai mengajakku kembali. Dia berkata mungkin yang lain juga sudah bertanya - tanya dimana kita. Aku menurut. Mengikuti langkahnya yang sudah menuruni panggung.
Perjalanan pulang terasa lebih sunyi. Tapi entah kenapa terasa lebih ringan.
Teringat sesuatu, langkahku mendadak terhenti. Morisawa-senpai ikut berhenti, memberiku tatapan heran. Aku membuka mulut. Tapi menoleh kesana kemari dulu untuk memastikan tidak ada yang mendengar.
"Anu... senpai...."
"Iya??"
Ditatap seperti itu, aku jadi makin tegang. Tapi bagaimanapun aku harus menanyakan ini. Jadi aku lanjut berkata.
"Kenapa.... senpai tadi menangis?? Bukankah senpai tak pernah menangis untukku.... ataupun yang lain?? Bukankah senpai selalu berusaha untuk tersenyum dan membuat kita semua tersenyum??" Tanyaku dengan suara pelan. Tapi karena suasana sepi, aku yakin dia pun mendengarku dengan jelas. Morisawa-senpai tidak langsung menjawab. Dia melihat langit di atas kita sejenak.
"(Name)-chan."
"Iya??"
Dia menurunkan pandangannya. Tersenyum arif padaku.
"Terkadang menangis bukanlah tanda bahwa kamu lemah, tapi justru adalah hadiah karena kau telah kuat menghadapi semuanya."
Aku menelengkan kepala. Tidak mengerti.
Morisawa-senpai hanya tertawa santai. Tidak berniat menjelaskan, langsung kembali melangkah. Aku berseru kaget, buru - buru menyejajarkan langkah kakiku. Morisawa-senpai memang penuh kejutan. Selalu ceria, tapi terkadang bisa bijak gini.
Nyebelin.
Aku menarik ujung bajunya. Sekali lagi Morisawa-senpai menoleh padaku. Tapi kali ini langkah kita tidak berhenti.
"Apa.... apa Maeda tahu soal ini??"
Aku takut - takut bertanya. Khawatir dia tersinggung karena aku menyangka yang tidak - tidak atau bagaimana.
Morisawa-senpai dengan santai menggeleng.
"Tidak."
Entah kenapa aku jadi lega mendengarnya.
Gedung sekolah yang penuh cahaya lampu langsung menyambut kami. Para siswa berseliweran di depan pintu utama. Beberapa yang melihat kami ramah menyapa. Aku langsung bergabung dengan Souma-kun dan Sakasaki-kun yang bertugas untuk membawa balok kayu menuju halaman. Ringan tangan membantu.
Pukul 17.45
Saatnya festival sekolah bersiap untuk berakhir.
~~~~~
Setelah memastikan semuanya sudah rapih dan siap, kami semua berbondong - bondong menuju lapangan dimana biasanya upacara dilaksanakan. Kami sekelas sudah bersalin dengan baju olahraga. Aku tentu saja dengan baju seadaku sejak pagi. Untung saja Adonis-kun masih berbaik hati meminjamkan jaketnya sampai acara selesai.
Hokuto-kun menghampiriku. Baru saja aku berniat menyapanya, dia sudah menempatkan selembar tisu tepat di depan hidungku. Aku melongo. Bingung harus bereaksi bagaimana.
Seolah paham, dia langsung menjelaskan. "Itu, hidungmu merah sekali, lebih baik kau keluarkan saja ingusmu." Katanya dengan datar, seolah baru saja mengomentari cuaca. Aku mengerutkan dahi. Tak berani mengomentari niat baiknya yang jelas - jelas salah tempat.
Aku melirik sekitarku. Sena-senpai ada di ujung timur laut, sedang menggigit kaos Arashi-kun yang cuma bisa "ara ara~" sambil memperhatikan kami. Aku menoleh ke arat barat. Subaru-kun sedang mengeluarkan aura paling menyeramkannya, sedangkan Makoto-kun cuma bisa tersenyum serba salah. Aku memutar kepalaku lagi. Tenshouin-senpai seperti biasa tersenyum diplomatis dengan Mao-kun yang sudah lelah dengan semua ini.
Menyadari aku terlalu lama membuat Hokuto-kun menunggu, akhirnya aku menelan ludah pasrah.
"Ba-baiklah...." kataku. Lantas benar - benar mengeluarkan ingusku layaknya balita. Aku baru sadar kalau aku mengidap flu setelah melakukannya. Sepertinya Hokuto-kun sudah menyadari sejak pagi karena wajahnya terlihat lega setelah aku selesai. Dengan telaten dia melipat tisu bekas itu dan membuangnya. Setelahnya, dia memberikanku sekotak tisu sedang.
"Sebaiknya kau membawa ini, malam ini lumayan dingin."
"Makasih Hokuto-kun..... ngomong - ngomong kamu juga. Wajahmu merah banget tuh." Balasku khawatir. Hokuto-kun memasang wajah kaget. Langsung menyambar cermin sakunya. Tunggu, sejak kapan dia punya cermin saku. Memangnya dia anak cewek. Lain dariku, sepertinya Subaru-kun tidak memusingkan soal cermin sakunya Hokuto-kun dan menghampirinya dengan ceria.
Kenapa dimiringin?? Karena jelas - jelas senyumnya tidak ikhlas.
"Hokke~~!! Jangan paksakan dirimu membantu yang lain. Sebaiknya kau perhatikan dirimu sendiri terlebih dulu~~☆☆!!" Serunya yang entah kenapa terdengar tajam. Aku menelan ludah. Merasa tersingkir karena tidak mengerti. Hokuto-kun buru - buru menggeleng, tapi gelengannya sama tidak ikhlasnya dengan senyuman Subaru-kun.
"Bukan begitu, a-aku---"
"Subaru benar Hokuto, kau harus memerhatikan dirimu sendiri lebih baik." Tiba - tiba Mao-kun menyeruak masuk. Menepuk bahu Hokuto-kun dengan senyum yang lebih tidak ikhlas. Makoto-kun kikuk ingin masuk, tapi tidak berani. Selagi aku masih bingung akan apa yang terjadi, tahu - tahu malah ada yang menepuk bahuku. Aku menoleh. Mika-chan dengan wajah yang lebih merah daripada siapapun malam ini, akhirnya membuka suara.
"(La-Last Name)-san pasti---"
"TIDAK BOLEH ADA YANG MEMBERSIHKAN INGUS (NAME) SELAIN AKU!! MINGGIR KALIAN!!" Akhirnya Sena-senpai yang menyelesaikan. Kasar menyingkirkan adik kelasnya dan merangkulku menjauh. Gantian aku yang paham. Reflek aku menangkis rangkulannya.
"Tidak ada yang boleh membersihkan ingusku. Apalagi senpai." Kataku kejam. Sena-senpai merengek. Tapi aku tidak peduli. Daripada kenapa - kenapa, akhirnya aku memilih mengamankan diri bersama Hajime-chan dan Shinobu-kun. Lebih damai.
Sepertinya Hasumi-senpai juga sama setujunya karena dia sudah mengetuk mikrofon di tangannya, membuat kami semua berhenti bersitegang. Kukira dia yang akan memberikan pidato karena para sensei memilih untuk tidak ikut acara ini. Tapi ternyata dia menyerahkan benda itu pada Tenshouin-senpai yang ajaibnya sejak festival dimulai belum ambruk sedikitpun. Mungkin justru dia yang punya jiwa muda dibandingkan kami.
"Tes tes, ah---" dia sengaja memotong ucapannya. Menoleh pada Sena-senpai. "Maaf Sena-kun, bisa lebih tenang?? Aku agak bersimpati pada Narukami-kun di sebelahmu."
Bilang aja sih udah gak tega liat Arashi-kun yang setengah telanjang karena bajunya sudah dirobek - robek Sena-senpai. Sena-senpai menggerutu, menurut. Mengembalikan kaos yang sudah gak jelas bentuknya itu. Arashi-kun cuma bisa tersenyum pahit. Menelan ludah. Mungkin dia tidak punya uang untuk membeli yang baru.
Tenshouin-senpai berdeham. Kembali dengan mikrofonnya.
"Terima kasih atas kerja keras kalian tiga hari ini tanpa henti. Aku bisa melihat dimanapun pasti sedang ramai membicarakan festival sekolah kita!! Bayangkan!! Dalam tiga hari sekolah kita sudah menjadi tujuan populer di kota ini untuk menghabiskan waktu dengan bersenang - senang!!"
Semuanya bertepuk tangan. Aku tersenyum semangat. Menunggu pengumuman selanjutnya.
"Tentu saja seperti sekolah lainnya, kita sudah menentukan pemenang atraksi paling populer di sekolah ini!! Hasil penilaian ini didasarkan oleh angket yang kami sebarkan tiap harinya. Kira - kira kelas siapa yang meraihnya~~??" Tenshouin-senpai mengedipkan matanya. Mungkin niatnya ingin menggoda kita, tapi jelas - jelas kita udah kebal sama pesonanya. Seolah barusan tidak ada apa - apa, Yuzuru-kun sudah menyodorkan selembar kertas pada Tenshouin-senpai. Tenshouin-senpai menerimanya dengan gembira dan bersiap membacanya.
"Di peringkat ketiga..... kita punya 'Kita bawa kamu ke Neraka!!: Rumah Hantu kelas 1-B'!! Selamaaat!!" Seolah tidak mau didahului oleh siapapun, dia langsung heboh bertepuk tangan. Shinobu-kun dan Himemiya-kun di kanan kiriku sontak berseru histeris. Sudah loncat - loncat kegirangan. Yang lain langsung bergabung ikut bersorak. Aku menoleh ke depan, Tsukasa-kun tampak berdiri agak jauh. Tapi aku tahu dia ingin sekali ikut merayakan bersama teman - teman sekelasnya. Tanpa banyak bicara aku langsung menarik lengannya. Tsukasa-kun tampak kaget.
"O-Onee-sama--"
"Rayakanlah. Kalian sudah bekerja keras." Kataku sambil menepuk rambut merahnya itu. Tsukasa-kun tampak terharu. Tenma-kun dan Harukawa-kun langsung meraihnya, melemparnya ke tengah lingkaran. Aku tersenyum senang. Bertepuk tangan sekali lagi.
"Peringkat kedua, diraih oleh dua kelas!! Yaitu 'Kita buat Jantungmu Berdebar♡: Maid Cafe kelas 2-A' dan 'Konser Live Kelas!! Bukan Unit!!: panggung kelas 3-A'!! Wah, ternyata kelasku." Tenshouin-senpai menggaruk rambutnya bingung. Tapi tentu saja tidak ada yang peduli.
Kelasku langsung bersorak senang. Apalagi Souma-kun dan Sakasaki-kun. Keduanya langsung sujud syukur dan berpelukan sambil menangis. Astaga. Segitu terharunya kah kelas kita menang(baca: mereka terlalu senang perjuangan mereka tidak sia - sia). Subaru-kun juga menangis. Lompat ingin memelukku.
"(NAME)-CHAAAAAN!!"
"Wah!! (Last Name)-san kelas kita barengan lhooo!!" Terlambat, Mikejima-senpai sudah menggendongku duluan. Aku yang tak menduga akan digendong langsung berseru kaget. Subaru-kun terpaksa merelakan dahinya terantuk punggung Mikejima-senpai. Mikejima-senpai sendiri tidak menghiraukan adik kelasnya itu, memutarku dengan riang. Aku bingung harus apa.
"A-anu senpai.... ini terlalu memalukan...." gumamku. Di luar dugaan, Mikejima-senpai menurut, menurunkanku. Begitu aku turun, dia langsung berbisik di telingaku.
"Berterima kasihlah, berkatku mereka tidak akan berantem lagi."
Lebih tepatnya, kau baru saja membuatnya tambah ribet.
Tentu saja aku tidak mengatakan itu keras - keras. Aku hanya tersenyum pasrah sebagai jawabannya. "Arigatou senpai."
"Eits, panggil aku Mama, (Last Name)-san!!" Serunya sambil menyentil dahiku pelan. Aku mengaduh. Menatapnya bingung.
"Tapi kan senpai cowok....."
"Mimpiku adalah menjadi ibu yang baik!! Ayo panggil aku Mama!!" Pintanya sambil menepuk dada dengan putus asa. Aku makin bingung(lebih tepatnya dengan mimpinya). Jadi aku hanya menelengkan kepalaku.
"Mama......-san??"
"Kenapa make '-san' (Last Name)-saan??!!"
"Karena.... biar sopan??" Kataku coba - coba. Mikejima-senpai jatuh ke tanah. Tampak sedih. Aku pun naik tingkat jadi ekstra bingung.
Ah sudahlah.
"Hei hei, kita belum mengumumkan peringkat pertama loh!! Tenang dulu semuanya!!" Seru Hasumi-senpai mengambil alih. Selebrasi ronde dua terpaksa terhenti lagi. Hasumi-senpai mengambil alih kertas dari Tenshouin-senpai dan sok - sokan berdeham. Setelah membenarkan letak kacamatanya. Dia pun membaca tulisan itu.
"Peringkat pertama diraih oleh 'Ramal dirimu sendiri!!: Ramalan kelas 2-B'!! Selamaat!!" Seru Hasumi-senpai. Mendadak kita hening semua.
"Eh---"
"EEEEEEEEEEHH??!!!" Satu lapangan langsung berseru kaget. Anak kelas 2-B langsung berkumpul. Mengamankan diri dari tekanan batin satu sekolah.
Aku menghampiri Mao-kun. Sebelum dia sempat berkata - kata, aku sudah menggoyangkan bahunya dengan ganas.
"Apa ini apa ini??!! Bukannya ramalan kalian gak ada yang bener semuaa??!!" Seruku tak percaya. Bukan bermaksud kasar, tapi memang kenyataannya begitu. Aku sempat mampir sekali di hari kedua dan tak ada satupun yang mendekati. Mendekati lho. Mao-kun menghentikan tanganku, mengacungkan jarinya di depan wajahku.
"Itu dia. Aku juga bingung."
"LALU APA YANG KELAS KALIAN LAKUKAAAAN??!!" Jeritku histeris dan mengguncangnya lagi. Arashi-kun yang sudah pasrah dan tidak memakai bajunya lagi, menepuk bahuku pelan. Aku dan Mao-kun sama - sama menoleh. Dia berdeham kecil. Sepertinya malam ini mendadak semua orang kena flu atau bagaimana.
"Seperti kata (Name)-chan, memang benar ramalan kita tak ada yang benar semua. Kita kan bukan peramal atau dukun." Desahnya dengan dramatis. Lantas dia menunjuk Koga-kun yang berdiri tak jauh dari kami. "Tapi Koga-chan dan Yuzuru-chan melakukannya dengan marah - marah atau dengan kalem tapi menusuk. Dan entah kenapa, pengunjung menganggapnya lucu dan jadilah kelas kita ramai."
Lapangan hening. Satu persatu akhirnya mulai manggut - manggut.
"Masuk akal sih. Emang lucu dalam beberapa cara."
"Kalau itu alasannya, aku juga takkan protes."
"Selamat, selamat."
"MAKSUD KALIAN APA HAAAH??!!" Raung Koga-kun tak terima. Sontak kita semua tertawa. Aku yang sudah melepaskan Mao-kun ikut tertawa lebar melihat reaksi Koga-kun. Mao-kun di sampingku menggaruk lehernya gugup. Sedang menimbang - nimbang sesuatu.
"Eh.... anu.... (Name)-chan..." gumamnya. Aku menoleh. Wajahnya sudah merah. Tapi karena dia sejak tadi belum bersin ataupun batuk, jadi kurasa itu bukan karena demam.
Mao-kun mengulurkan tangannya padaku. Aku menelengkan kepalaku bingung.
"Eh, itu.... kan aku sudah berjanji akan mengajakmu jalan saat festival, tapi karena aku dan kamu sama - sama sibuk jadi tidak sempat. Jadi... etto.... sebagai gantinya--maukah kau dansa denganku??" Katanya akhirnya. Mau tak mau akhirnya wajahku menghangat. Jadi itu maksudnya. Aku benar - benar tak menduga semua tingkah teman - temanku malam ini. Benar juga. Api unggun sudah dinyalakan, dan tradisi umumnya adalah berdansa.
Meski tidak yakin apakah ada tradisi dansa di sekolah ini, tanganku tetap menyambut tangan Mao-kun. Tersenyum tipis. "Tentu saja boleh."
Wajah Mao-kun semakin merah. Sampai - sampai aku tidak bisa membedakan dengan warna rambutnya.
Lagu mengalun. Entah siapa yang memainkan. Mao-kun menuntunku untuk berdansa. Ternyata dia pandai juga. Aku menelan ludah. Merasa aneh. Selain kami, tidak ada seorang pun yang ikut berdansa. Mereka semua menonton dari pinggir lapangan sambil senyam senyum sendiri. Mendadak darah naik ke kepalaku. Aku yakin sekarang wajahku sudah memerah hebat.
Mao-kun sepertinya menyadarinya, karena dia menatapku serius. Saat kukira dia akan mengatakan sesuatu lagi yang akan membuatku semakin malu, tiba - tiba dia mendekat. Aku makin panik, hampir menginjaknya.
Dekat!! Terlalu dekat!!
Menjawab sinyal SOS-ku, tanganku ditarik. Aku tersentak. Di detik selanjutnya aku sudah pindah ke pelukan lelaki lain. Tangan dingin yang memeluk pinggangku membuatku segara tersadar.
Hokuto-kun baru saja memasuki medan perang.
"Kurasa aku harus jujur, bahwa aku juga ingin berdansa dengan (Name)." Katanya tegas. Wajahku makin panas. Mao-kun tampak terkejut sekaligus tidak rela. Tapi Hokuto-kun sudah memutarku dan melanjutkan dansanya. Aku mengikuti saja. Wajahnya yang pucat agak memerah, sama seperti sebelumnya. Tapi entah kenapa ekspresinya tampak kesal.
Aku mencubit pipinya pelan. Hokuto-kun mendadak keselek.
"A-ada apa (Name)---"
"Wajahmu tampak seolah ingin menghajar seseorang. Aku kan jadi ngeri." Kataku jujur. Hokuto-kun ber-aah paham. Memutarku sekali lagi. Begitu aku kembali ke pelukannya, dia langsung berkata.
"Karena aku cemburu."
Eh??
Aku menatapnya kaget. Memastikan aku tidak salah dengar. Tapi dia malah menatapku serius. Wajahnya semakin memerah. Astaga. Dia serius. Kakiku oleng karena mendadak lemas. Penyelamat berikutnya datang. Pinggangku langsung diraih dan aku dilempar ke udara begitu saja. Aku memekik kaget. Untung saja aku mendarat dengan selamat di lengan seseorang lainnya. Wajah Hinata-kun yang tak berdosa menyambutku.
"Hehe~~!! Senpai santai sedikit dong!!"
"SANTAI NDAZMU!!" Jeritku kehilangan kendali. Sepertinya aku sudah mencapai batasku malam ini. Atau malah sudah melewati batas?? Hinata-kun hanya tertawa lebar, memutarku. Aku berseru protes. Dari seberang, Sakasaki-kun langsung menangkapku. Memeluk pinggangku.
"Kurasa kamu lupa kalau aku pernah bilang bahwa banyak yang menyukaimu." Desahnya. Aku melotot tak terima.
"Tak ada!! Tak ada yang menyukaiku!! Jangan sembarangan!!" Seruku kalut. Sakasaki-kun menatapku bersimpati. Langkah kaki kami sudah selaras kembali dengan lagu yang mengalun. Dia mendekatkan wajahnya ke telingaku. Lantas berbisik pelan.
"Lihat saja nanti."
"EEEEEH??!!"
Dengan teganya dia melemparku lagi ke orang berikutnya. Aku sudah terlalu pusing. Jadi tak peduli siapa selanjutnya yang akan berdansa denganku. Begitu tangan kita bertemu, mataku langsung melebar.
"Ah....."
"Ah, (Last Name)-san. Mohon bantuannya." Tenshouin-senpai tersenyum ramah. Memeluk pinggangku dengan lembut. Kurasa..... kalau Tenshouin-senpai tak masalah. Aku balas menggenggam tangannya, tersenyum pasrah.
"Mohon bantuannya."
Dan begitulah malam festival sekolah kami ditutup.
Selanjutnya aku masih berdansa dengan banyak orang. Dilempar sana - sana. Diputar kesana kemari. Sampai rasanya kalau aku mabuk juga gak akan sepusing ini. Beberapa memang tidak ada yang berdansa. Seperti Hajime-chan dan Midori-kun contohnya. Tapi aku harus mengambil resiko dipermainkan Hibiki-senpai. Atau dilempar ke udara oleh si kembar. Dan mendengarkan ceramah panjangnya Hasumi-senpai. Aku begitu pusing dan lelah sampai aku harus digendong Ayah begitu diajak pulang.
Tapi apapun itu, festival kami berakhir dengan sama menyenangkannya dengan permulaannya. Memang ada beberapa kejadian yang mempermainkan hatiku dengan begitu teganya. Tapi kurasa itu hanya karena terbawa atmosfer festival yang menyenangkan. Aku yakin semuanya akan kembali seperti semula.
Aku yakin semuanya akan kembali seru seperti biasanya.
.
.
.
Atau tidak??
~~~~~
YAHO MINNAAAAA~~☆☆!!
AUTHOR KEMBALI LOH WUHUUUUUU//PLAK
Maafkan saya yang agak telat apdetnya--- *bungkuk 90 derajat*
Sepertinya kelamaan hiatus membuat author gak bisa mengatur ulang jadwal lagi. Tapi apapun itu, author akan senang sekali kalau kalian tetap menantikan serial ini. Semuanya, terima kasih banyak!! *sujud*
DAN MARHABAN YA RAMADHAN!! IYEEEEEYY~~☆☆!!
Telat banget author bilangnya karena dua minggu lagi udah lebaran wkwkwk. Tapi gk apalah. Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan~~☆☆!! Meski PSBB begini, tetap semangat yah!! Fightiing!!
Author sih selama PSBB belum pernah keluar karena author terlalu malas bebersihnya pas pulang. Jadi klo ortu author pergi belanja author memegang peran menjaga rumah wkwk. Sekalian yang beresin barang - barang.
Kalian gimana PSBB nya?? Apakah seru?? Membosankan?? Menyenangkan?? Atau malah biasa aja?? Apakah kehumoran kalian semakin anjlok, ataukan justru sudah menggelar panggung komedi sendiri?? Apakah bakat terpendam kalian keluar?? Atau malah makin tersembunyi??
Author pengen banget mulai masak - masak lagi. Tapi sepertinya karena telah bertahun - tahun gak nyentuh kompor jadi anjlok kemampuan masak author. Alhasil pas dapet buat makan siangnya klo gk ada makanan be like nyeduh mie hiksu//*nangis*
Saa!! Festival sekolah akhirnya berakhir iyeeeey!!
Sungguh akhir yang biasa saja(maksudmu thor??!!)~~!! Ditutup dengan api unggun, berdansa bersama, dan harusnya ditutup sama kokuhaku tapi ini malah ditutup sama penolakan aduh sakit(ini salahmu thor).
Dan setelah menulis chapter ini, sepertinya author merasa genre komedi lebih cocok menjadi jalan ninjaku dibanding genre romantis huhu gk ada baper2nya euy penolakannya---
Tapi apapun itu----TERIMA KASIH BUAT KALIAN YANG TETAP SETIA DENGAN AUTHOR BOBROK INIII~~!! KALIAN EMANG DE BEST!! 🎉🎉🎉
Selanjutnya pun masih akan ada banyak festival yang menanti~~!! Nantikan di chapter berikutnyaa~~!!
Terima kasih telah membaca chapter ini dan sampai jumpa di chapter berikutnya~~☆☆!!
Adioos~~☆☆!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro