Let's Be Festive!! #3 - Nasihat dari Senpai
(Name) POV
.
Tanpa diketahui siapapun, tahu - tahu hari kedua festival sudah tiba.
Oke---itu tadi terdengar sangat salah. Tentu saja. Semuanya pasti tahu kalau hari ini adalah hari kedua festival. Bahkan seorang Ayah saja bisa mengingatnya dan berjanji akan meneleponku begitu nanti dia datang. Karenanya tadi pagi aku harus memuntahkan susu yang kuminum karena aku terlalu terkejut.
Aku tak bisa menyalahkan siapapun. Aku saking traumanya atas kejadian kemarin sampai melupakan semuanya dan bangun pagi ini dengan keadaan prima luar biasa. Bahkan aku lupa kalau harus ke sekolah. Entah aku harus bersyukur atau tidak Ayah mengingatkanku. Untuk sekolah maksudnya.
Lagipula, aku yakin kalau tanpa aba - aba aku membolos, pasti ponselku akan meledak karena pesan yang akan dikirimkan teman - temanku. Belum dari angkatan lain. Jadi daripada aku membakar ponselku sendiri, lebih baik aku ke sekolah. Meski demi apapun---aku tak ingin bertemu dengan orang "itu".
Hasilnya aku masuk lewat dinding belakang. Lebih spesifik lewat laut belakang sekolah. Aku sengaja memutari jalan utama dan memutuskan untuk jalan kaki saja ke sekolah. Siapa tahu kan, tanpa sengaja aku ketemu "dia", jadi aku bisa kabur kapankun aku mau. Disaat seperti ini rasanya aku bersyukur sekali bisa melakukan gerakan akrobatik.
Intinya, sekarang aku sudah berhasil sampai di sekolah.
Shift ku pagi ini sebenarnya adalah tim promosi bersama Souma-kun. Tapi karena "satu dan lain hal", akhirnya aku meminta izin pada Hokuto-kun agar bertukar shift dengannya yang kebetulan bekerja di dapur pagi itu. Ia mengangkat alisnya heran begitu aku bertanya.
"Memangnya kenapa?? Apakah ada sesuatu??"
Yap ada banget. Banget bangetan. Tapi aku tak selera maupun punya tenaga untuk mengingat kembali kejadian tak terduga kemarin sehingga aku tak bisa bilang padamu apa alasan sebenarnya aku tak bisa menunjukkan wajahku pada seisi sekolah pagi ini--tidak---hari ini. Mungkin selamanya. Yap. Benar sekali.
Tentu saja aku tak mengatakan itu padanya. Aku hanya mengarang apapun yang bisa kukarang.
"Soalnya.... hari ini ramalanku bilang benda keberuntunganku kompor portabel??" Kataku coba - coba. Hokuto menurunkan alisnya serius.
"Bukannya apel?? Tadi pagi aku lihat zodiakmu benda keberuntunganmu apel." Balasnya serius. Gantian aku yang menaikkan alis.
Pertama, untuk apa seorang Hidaka Hokuto menonton ramalan?? Bahkan mengingatnya?? Dan---darimana dia tahu zodiakku?? Apa dari ulang tahunku?? Apapun itu, sepertinya izinku tidak berhasil.
Oke, saatnya plan B.
"Soalnya.... kan kemaren Hokuto-kun dan Sakasaki-kun sukses besar promosinya!! Jadi aku mikir lebih baik Hokuto-kun juga pergi hari ini!! Apalagi hari ini Hokuto-kun lebih ganteng dari biasanya!! Wah, kamu make pensil alis baru yah~~??" Kataku penuh antusias. Sial. Aku tahu kok alasanku barusan benar - benar payah. Maksudku, sejak kapan Hokuto-kun yang sudah tampan dan indah sejak jaman kapan entah tahu butuh make up lagi??
Tapi sepertinya kenyataannya berbeda jauh dari bayanganku. Hokuto-kun tersipu mendengar pujianku. Buru - buru ia memalingkan wajahnya.
"M-maa, kalau kau sampai bilang begitu, mungkin sebaiknya aku keluar saja---"
"Hokuto-kun, itu santan. Bukan susu." Potongku ngeri, melihatnya memasukkan santan ke dalam adonan pancake. Hokuto-kun menoleh ke bawah. Menyadari tadi ia meleng. Makin merah, dia menyerahkan mangkok itu padaku dan meraih jaketnya.
"J-Jaa!! Aku keluar dulu!! Sisanya kuserahkan padamu (Name)!!" Serunya sambil ngacir keluar. Aku melebarkan mata terkejut.
"Cho---Hokuto-kun!!" Terlambat, sosoknya sudah tidak terlihat. Kuharap dia tidak loncat lewat jendela saking ingin cepatnya keluar. Lagian ada apa sih dengannya sejak kemarin. Selalu saja dia merah kalau berbicara denganku. Apa dia baru saja tanning tapi gagal sehingga kulitnya jadi merah - merah gitu apa gimana??
Lupakan. Setidaknya pagi ini rencana pertamaku berjalan lancar. Aku sudah mengamankan keberadaanku di sekolah ini. Setidaknya selama 5 jam kedepan aku bisa memastikan aku takkan bertemu siapapun kecuali teman - teman sekelasku.
Sekarang, tugasku adalah membetulkan pancake santan ini.
Begitulah aku menyukseskan pagiku. Sebuah awal sempurna untuk hari dimana aku harus bersembunyi. Tapi sayangnya, prakteknya tak pernah berjalan semulus rencanaku.
Kukira dengan menyembunyikan diriku entah bagaimana, aku akan lebih tenang dan mampu mengatasi semuanya. Well, tentu saja. Aku bisa mengatasi semuanya. Seharusnya.
Kenyataannya aku benar - benar kacau. Bahkan setelah aku meminjam jaket Adonis-kun sehingga aku benar - benar tenggelam di dalamnya. Dan memakai kacamata cadangan Makoto-kun sebagai semacam penyamaran diri. Aku tetap tak bisa berpikir jernih.
Aku tetap melakukan kesalahan. Aku menuangkan teh yang sudah susah payah dibuat Subaru-kun ke dalam pot - pot bunga. Aku juga menyiramkan pancake dengan minyak goreng---bukannya sirup maple seperti seharusnya. Dan aku malah menaburkan serbuk kapur sisa dari papan tulis alih - alih gula bubuk ke atas parfait cokelat untuk seorang bapak paruh baya. Aku ulangi, bapak paruh baya.
Bapak itu seorang aktor. Untung saja dia bukan tipe yang lebay dan akan mengumbarkan aibku di televisi nasional atau bagaimana. Dia memaafkanku entah bagaimana caranya. Sambil tertawa simpati begitu aku meminta maaf padanya secara langsung.
"Yah, seharusnya kau bereskan pikiranmu dulu sebelum bekerja, Nona. Aku khawatir harimu hanya akan semakin buruk." Katanya. Aku hanya membungkuk sekali lagi dengan kalut. Aku tahu bapak itu tidak bermaksud buruk. Jadi aku melepasnya setelah memberikan ganti berupa pancake buatan Souma-kun yang sempurna dan berjanji akan menonton dramanya nanti malam.
Yah, bapak itu tak salah.
Seharusnya aku memang menyelesaikan masalahku dulu. Bukannya kabur begini.
Waktu lagi - lagi berlalu tanpa kusadari. Dan sekarang sudah siang.
Seharusnya aku kembali keluar sana dengan kostum maidku dan meneruskan pertandinganku dengan Subaru-kun. Bahkan tim promosi saja sudah kembali dari tadi dan kembali membantu tim yang bertahan di kelas. Tapi aku tetap tak bisa membawa kakiku untuk keluar dari dapur. Pikiranku semakin kalut hanya dengan mengingatnya. Jadi aku meminta izin sekali lagi pada Hokuto-kun untuk meneruskan kerjaanku di dapur sebentar lagi. Dia tidak banyak bertanya. Hanya mengiyakan dan mengingatkan cepat atau lambat Subaru-kun dan yang lain pasti akan kewalahan dan segera butuh bantuanku. Aku menghela nafas sebagai jawabannya.
Aku kembali dengan tugasku---memberikan sentuhan terakhir pada setiap pesanan. Sambil menelan kembali semua energi negatifku, aku menuangkan teh kembali gelas - gelas. Kalau dihitung - hitung, setiap 5 menit sekali selalu ada pesanan 5 gelas teh. Kalau benar begitu berarti kelas kami lumayan sukses juga.
Ponselku di saku bergetar. Aku meraihnya karena penasaran. Sudah pasti bukan Darling karena semalam dia sudah minta maaf padaku melalui telepon. Sebuah pesan masuk. Rupanya dari teman - temanku di sekolah lama. Aku memencet salah satunya.
''''
From: Iwa-chan
Subject: Festival sekolah!!
(Name)-chaan!! Aku dan yang lain sudah sampai di sekolahmu!! Kelasmu 2-A kan?? Tadi ada lelaki tampan bersurai hitam yang mengantar kami. Teman sekelasmu ya?? Ganteng bangeet!! Namanya Hidaka-kun ya?? Kenalin dong!!
''''
Pesan itu dikirimkan beberapa menit sebelumnya. Jariku menggeser ke bawah lagi. Rupanya ada pesan tambahan.
''''
From: Iwa-chan
Subject: Re:Festival sekolah!!
(Name)-chan~~?? Aku dan yang lain sudah memesan makanan lho. Kok kamu gk keliatan?? Katanya kamu jadi maid?? Tadi ada temanmu yang lain mengatakan kamu bertugas di dapur hari ini. Padahal kan kita ingin ketemuu kan kangen :((
Bisakah kamu keluar sebentar?? Bergabung dengan kami lima meniit saja?? Ya??
''''
From: Iwa-chan
Subject: Re:Festival Sekolah
(NAME)-CHAAAN??!! KOK CUMA DIBACA??!! KELUAR DOOONG X"(((
''''
Sial, sepertinya dia memerhatikan tindakanku.
Aku tersenyum di luar kendaliku. Aku senang sekali mereka mau datang setelah kuundang beberapa waktu lalu. Tentu saja aku ingin sekali bertemu mereka. Sudah lama sekali sejak aku bersantai dan bercanda bersama teman - teman perempuanku. Tapi...
Aku masih takut.
Jariku pelan mengetikkan balasannya.
''''
To: Iwa-chan
Subject: Maaf ya!! :"((
Iwa-chaan!! Maaf banget yah!! X'((
Aku sedang ada beberapa masalah, jadi aku harus tetap stay di dapur. Makasih banget udah dateng hari ini!! Aku seneng banget kalian mau ke sekolahku. Tapi maaf, aku tak bisa bertemu kalian kali ini. Maaf banget yah!! Aku janji bakal menebusnya dengan baik dan datang ke festival sekolah kalian. Sekali lagi maafkan aku (;>_<;) (。-人-。) 💦💦
''''
Sip. Tinggal dikirim. Dengan ini aku hanya bisa berharap mereka takkan memasukkan namaku ke dalam deathnote atau bagaimana.
Baru saja aku mau melanjutkan proyek menyempurnakan es tehku, lagi - lagi ponselku bergetar. Aku mendecak sebal. Kenapa sih, orang - orang hari inu terus mencariku??!! Giliran hari lain aja, dicuekin. Kan kan, ah yasudahlah. Tanganku lagi - lagi merogoh saku celana. Nama "Ayah" terpampang di layar ponselku. Sepertinya ia sudah sampai di sekolah.
"Moshi moshi~??"
"Ah!! (Name)?? Kamu bisa jemput Ayah di bawah?? Ayah sudah datang nih, sama Kira-kun. Kita juga ketemu sama Hidaka-san, bapaknya Hokuto-kun sepertinya." Jawabnya riang. Aku terdiam sebentar. Memikirkan jawaban yang pas buat Ayah yang masih akan menguntungkan persembunyianku.
"(Name)?? Kau masih disitu??"
"Eh, ah, iya. Anu...." aku menggigit bibir. Cepat memikirkan jawaban. "A-aku lagi sibuk sekarang!! Pelanggannya lagi banyak!! A-apa Ayah bisa telepon Hokuto-kun saja?? Kurasa dia bisa menjemput kalian dibawah!!" Seruku. Hokuto-kun yang kebetulan lewat disitu menatapku bingung. Aku melotot menyuruhnya diam.
"Hokuto-kun?? Bisa aja sih.... kamu ada disitu kan??" Balas Ayah terdengar curiga. Aku menyeringai pelan. Sepertinya aku ketahuan(??).
"Oh iya, tentu saja!! Aku masih di kelasku!! Yasudah, sampai nanti yah!!" Cepat - cepat kuakhiri perbincangan itu. Kumatikan ponselku dan menyelupkannya ke dalam ember air bekar cuci piring. Hokuto-kun yang masih disitu(karena menunggu penjelasanku), hanya menatapku bingung atas tindakanku barusan.
Aku mengangkat bahu tak peduli. "Ponselku anti air kok."
"Yah, hari ini kamu agak aneh ya." Komentarnya kehilangan kata - kata. Aku tak menjawab. Meneruskan kerjaanku dan melambaikan tangan padanya.
"Ayahku, Kira-kun, dan ayahmu ada di bawah. Aku telah bilang pada mereka kalau kamu akan datang menjemput. Bisakah kau menggantikan posisiku??" Pintaku sambil menyerahkan baki es teh padanya. Hokuto-kun yang mengenakan kostum lengkapnya hanya bisa menerima baki itu sambil meringis.
"Yah.... bisa sih."
"Sip!! Thanks Hokuto-kun!!" Seruku tanpa basa - basi dan langsung mengusirnya secara halus. Hokuto-kun tampak membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu. Tapi melihat tatapan mengancamku, dia urung mengatakannya lalu balik badan. Mengantarkan pesanan es teh itu.
Aku menghela nafas panjang.
Baguslah. Setelah ini bisa dipastikan takkan ada lagi yang akan menggangguku---
"Jadi ini yah, cewek yang hampir ngeracunin aktor terkenal, nyiram teh panas ke kepala kakak kelasnya, mengacaukan proyek kelasnya, mengabaikan teman - temannya, dan membuat ayahnya sendiri menunggu di bawah??" Seru sebuah suara yang menyebalkan. Aku meletakkan cangkir tehku dengan keras.
Sekarang siapa lagi tamunya?? Aku balik badan dan bersiap menyemprot siapapun itu yang berniat mengganggu hariku selanjutnya. Tapi niat itu terpaksa menguap begitu melihat siapa tamunya. Sena-senpai tampak bersender ke pintu dapur, melipat tangannya arogan dan menatapku sok penasaran.
"Aoba terpaksa kramas lagi lho, karena teh beras merahmu." Tambahnya yang sangat informatif. Aku meringis mendengarnya.
"Seingatku aku menyiram teh ke pot bunga." Bantahku yakin.
"Yah, pot bunga di jendela lantai dua. Dan kamu tidak melihat ke arah yang kau siram. Seperempat dari isi tekomu tumpah membasahi Aoba." Balasnya sambil beranjak mendekatiku. Aku meringis lagi. Sepertinya aku lebih kacau dari yang kuduga. Jangan - jangan aku malah menaburkan semen tadi ke atas kue sifon. Sena-senpai sudah tiba di sampingku. Baru saja aku mau mengangkat cangkir tehku, dia menahan tanganku. Aku menoleh sebal padanya.
Sena-senpai sudah menatapku duluan. Gantian aku yang menelan ludah. Jarak wajah kita dekat sekali. Dia menatap wajahku lama, lantas mengabaikanku yang sudah deg - degan, dia santai mencopot kacamata yang sedari tadi kupakai.
"Kamu lebih cantik gak pakai kacamata. Jadi ini kulepas." Katanya sambil melempar begitu saja kacamata tadi. Mataku langsung melebar kaget. Balik menatapnya tak percaya yang sudah menatapku santai.
Sena Izumi, membuang kacamata Makoto-kun??!! Dunia, ini keajaiban dunia yang harus dicatat di buku rekor. Aku yakin dia pun sebenarnya sadar kalau itu tadi kacamata Yuu-kun-nya.
Sena-senpai sendiri seolah tidak menyadari apa dosa yang telah diperbuatnya tadi. Dengan santai dia mengambil alih kerjaanku tadi dan ringan hati melanjutkannya. Aku berdiri di sebelahnya. Dikuasai oleh perasaan shock, bingung, tak percaya, sekaligus sebal. Sebal atas kedatangannya tentunya.
Menanggapi perasaan sepihakku itu, Sena-senpai sudah mendelik pedas padaku. "Teh ini takkan jadi dengan sendirinya." Sindirnya. Gantian aku yang mendelik.
"Situ sendiri udah ngambil alih."
"Karena aku tahu kamu gak akan nerusin sampe kiamat. Sini!! Bantu aku." Balasnya. Akhirnya aku mengalah. Mengambil sendok gula dan menuangkan setengah sendok ke masing - masing gelas. Sena-senpai sudah berhenti menyindirku. Khusyuk sekali menuangkan teh ke gelas. Kayaknya aku udah gak perlu ragu lagi kalau Sena-senpai pasti akan mengukur ketinggian tiap cairan sampai per milimiternya.
Sejenak kita berdua sibuk bekerja dalam diam.
Tanganku yang mengangkat gula itu mendadak terhenti. Aku menoleh pada Sena-senpai, teringat sesuatu.
"Senpai gak ada proyek kelas??"
"Ngawur." Balasnya kejam. Aku mengurucutkan bibir sebal. Kan cuma nanya. Sena-senpai tidak mempedulikan. "Kemarin aku manggung trus apa?? Itu proyek kelasku. Karena sudah selesai, semuanya setuju hari selanjutnya kita akan membantu proyek lainnya. Seharusnya aku dan Chiaki jadi guide bagi pengunjung yang tersesat. Tapi karena aku mendengar kalau kamu sampai membuat kekacauan semengkhawatirkan itu, akhirnya aku kesini---" Sena-senpai mendadak berhenti. Mungkin dia menyadari kalau tadi---meski secara tersirat---dia mengatakan kalau dia khawatir padaku, mendadak dia jadi malu sendiri. Dengan cepat wajahnya memarah.
Tapi sayangnya aku malah gak sadar. Aku justru sudah tersetrum sendiri oleh nama yang tadi tak sengaja dia sebutkan. Sendok yang kupegang sontak berkelontangan jatuh. Yang lain tidak menyadari percakapan kami. Mereka masih sibuk dengan masakan masing - masing.
Aku tergagap. Membungkuk mengambil sendokku. "A-ayahku tidak sendirian...." kataku dengan kelewat gemetar. Berusaha mengembalikan topik omelannya saat tadi dia masuk. Sial. Kepalaku terantuk dengan tidak santainya saat aku mencoba bangun. Sena-senpai sepertinya sudah kembali ke bumi karena dia menatapku prihatin sekaligus merendahkan(yah, hanya orang - orang macam Sena-senpai yang bisa).
"Kamu kenapa si??" Tanyanya sebal. Aku tak menggeleng tak mengangguk. Hanya mencoba menarik membuang nafas sebagai usaha terakhirku menenangkan diri. Sena-senpai menatap wajahku dengan alis terangkat.
"Chiaki nembak kamu ya??"
YA ALLAH YA RABBI YASSALAM----
Ingin rasanya aku berteriak. Oke, itu tidak perlu kulakukan karena aku sudah reflek memegang pipinya sebal dan mencubitnya dengan gemas sekaligus ganas. Sena-senpai berusaha berkilah. Menahan seranganku. Aku sudah menggeram gak jelas. Kenapa kenapa kenapa KENAPA diantara semua orang yang kuduga akan mengetahuinya, kenapa harus Sena-senpai duluan??!!? Tidak tahukah dia aku seharian ini hampir gila tiap kali melihat cowok berambut cokelat??!!
Sepertinya dia tidak tahu karena dia sudah sukses menurunkan tanganku. Nafasku terengah - engah. Sudah. Cukup. Aku bakal gila kalau menyimpannya sendirian. Maka tanpa beban lagi aku sudah menjatuhkan kepalaku ke bahu Sena-senpai. Sena-senpai langsung loncat kaget. Aku tak menghiraukan. Aku sudah mengerang pilu.
"Aku harus gimana......"
Ingin rasanya aku menangis.
Sena-senpai masih diam. Tangannya terangkat, berusaha mengelus kepalaku. Aku menghela nafas. Melepaskan diri dari semacam posisi berpelukan ini dan menatapnya memohon.
"Bisakah kau jelaskan pada dia kalau aku adalah laki - laki??"
"Tidak dan aku takkan pernah bisa." Jawab Sena-senpai langsung. Aku menghela nafas putus asa. Kehilangan cara untuk mengatasi masalah ini. Untungnya Sena-senpai tidak. Dia memanggil salah satu anak yang ada disitu dan segera memerintahkannya untuk mengatasi pekerjaanku. Lantas tanpa menjelaskan apapun dia sudah menyeretku ke pojok kelas. Aku mendongak, menatapnya tak mengerti.
"Kau harus menyelesaikan masalahmu, bagaimanapun juga." Jelasnya, untuk pertama kalinya hari ini dengan nada yang lebih prihatin. "Aku khawatir kau hanya akan semakin kacau kalau kau terus - terusan memendamnya."
Dia benar. Aku hanya akan semakin gila kalau aku hanya memikirkannya. Jadi aku pasrah, dan membiarkan Sena-senpai sebagai terapisku untuk membantuku dari permasalahan cinta yang ruwet ini.
Kami berdua dengan cueknya memilih duduk di atas karung tepung terigu. Aku langsung duduk dan mengacak - ngacak rambutku. Sena-senpai memberikanku sekaleng kopi. Dengan beringas aku mengenggaknya dan menghabiskannya dalam sekali tenggak.
Begitu habis, aku mendongak padanya. "Kau punya bir kaleng??"
"Kamu masih dibawah umur." Balasnya. Aku menghembuskan nafas kesal. Mengacak - acak rambutku lagi. Sena-senpai beranjak duduk di sampingku.
"Memang segitu bencinya kah kamu kalau Chiaki suka sama kamu??" Tanyanya, terdengar sekali kalau menurutnya reaksiku seolah mendengar seseorang berkata kalau bulan itu lebih besar daripada matahari. Aku menoleh cepat padanya. Menatapnya sama tak habis pikirnya.
"Dia itu temanku!!" Seruku keras. Refleks aku berdiri. Sena-senpai menyuruhku diam sambil ber-sshhh. Tapi aku sudah tak peduli. Kukeluarkan semua pemikiranku 24 jam terakhir sejak aku ditembak oleh Morisawa-senpai.
"Sejak masuk sekolah ini keberadaannya itu yang selalu menenangkanku!! Senpai tak bisa membayangkan betapa leganya aku begitu tahu ada yang kukenal disini. Aku selalu menganggapnya sebagai kakakku dan aku selalu menganggap dia menganggapku begitu!! Makanya waktu dia menembakku kemarin aku sudah gak kuat lagi!! Maksudku---aku juga takkan pernah mengira dia punya perasaan seperti itu padaku. Apalagi dia teman baiknya Maeda. Aku takkan pernah bisa membayangkan orang seloyal dia berani mengkhianati sahabatnya dengan menyukaiku!! Aku!! Adik kelasnya!! Tunangan sahabatnya!!" Seruku kalut. Beberapa teman sekelas yang bertugas di dapur sudah tak perlu susah payah menutupi niat jahat mereka mengupingku karena suaraku sudah terdengar jelas sampai luar kelas. Untung saja perhatian para pengunjung teralihkan dengan musik yang disetel.
Sena-senpai menatapku datar. Kukira dia akan mengatakan sesuatu yang menyebalkan, tapi yang keluar dari mulutnya malah. "Dia tidak mengkhianati siapapun. Tidak sama sekali."
Aku refleks membuka mulutku, ingin balas membantahnya. Tapi dia sudah keburu memotongku lebih tegas.
"Dia menyukaimu juga bukan karena dia yang mau. Aku bahkan berani bertaruh dia tak pernah bermimpi untuk menyukaimu." Bantahnya tegas. Terdengar menekan. Aku terdiam. Sedikit bingung meski lebih banyak gak percayanya dengan kata - katanya barusan. Sena-senpai melanjutkan.
"(Name), cinta itu datang begitu saja. Tanpa permisi tanpa izin. Mungkin dalam kasus beberapa orang memang terjadi di luar akal manusia seperti cinta pada pandangan pertama. Mungkin ada juga yang masih bisa dilogiskan seperti pertunangan---seperti milikmu. Tapi apapun itu, cinta selalu datang tak terduga. Tak pernah diketahui siapapun." Jelas Sena-senpai. Aku tak menjawab ataupun berniat protes. Aku terlalu kagum karena dia bisa mengeluarkan kata - kata seperti itu.
"Dalam kasus Chiaki, mungkin kau berpikir kalau dia hanya salah menyikapi. Atau kegeeran. Atau malah kau menyesal berteman dengannya, menghabiskan waktu dengannya, karena kau merasa bersalah telah membiarkan semua waktu itu menjadi ladang bagi Chiaki untuk menumbuhkan perasaannya. Betul??" Tembak Sena-senpai. Aku menggigit bibir. Berniat menggeleng. Tapi Sena-senpai pasti akan tahu kalau aku berbohong. Jadi aku mengangguk lemah.
Sejujurnya aku memang mendadak merasa menyesal telah berteman terlalu dekat dengannya. Andai saja aku lebih menjaga jarak. Mungkin dia tidak akan menyukaiku sampai seperti ini. Setidaknya itulah pikirku.
Sena-senpai menghela nafas pelan melihat raut wajahku. Lantas dia menarikku lagi untuk duduk di sampingnya.
"(Name)." Panggilnya. Aku menoleh pelan. Sena-senpai tersenyum tipis. "Kau tak perlu menyesal."
Aku menaikkan alisku.
"Karena ini semua diluar kuasa siapapun." Jawabnya. "Chiaki jatuh cinta padamu bukan karena dia terbiasa berada di dekatmu. Bukan juga karena kalian berteman selama ini. Tapi semata - mata karena tiba - tiba perasaannya tumbuh disana. Tak ada yang bisa menghentikannya." Jelasnya. Aku menelengkan kepala keberatan.
"Tapi kan, itu gak masuk akal."
"Coba sekarang aku tanya." Sena-senpai sepertinya telah menyiapkan bahan presentasi atau semacamnya karena dia kelihatan selalu yakin tiap kali bertanya padaku. "Kau sudah bersama teman - teman sekelasmu berapa bulan??"
"Hampir setengah tahun." Jawabku langsung. Sena-senpai mengangguk puas.
"Kalian dekat??"
"Tiap hari kemana - mana selalu berempat." Jawabku, mengacu pada Subaru-kun, Hokuto-kun, dan Makoto-kun.
"Lantas apakah selama setengah tahun itu kau jatuh cinta sama salah satu dari mereka??" Tanyanya langsung ke inti masalah. Tentu saja aku langsung menggeleng.
"Tidak."
"Nah!!" Seru Sena-senpai puas. "Kau sendiri tak jatuh cinta pada mereka kan. Padahal selalu lengket tiap kemana - mana sampe aku kesel sendiri." Balasnya telak. Aku menyipitkan mata tak setuju.
"Tapi kan aku punya tunangan!! Jadinya beda kan!!" Kilahku. Segera saja Sena-senpai menggeleng.
"Jatuhnya sama (Name). Bagi Chiaki, Maeda adalah sahabat baiknya. Dan seperti katamu, untuk orang seloyal dia, tak mungkin dia punya niat itu untuk mengkhianatinya." Jelas Sena-senpai, yang entah kenapa akhirnya terdengar masuk akal bagiku. Aku menunduk menatap lantai kelas.
Dipikir bagaimanapun juga, Morisawa-senpai bukan orang seperti itu. Aku yakin seyakin - yakinnya dia takkan pernah punya pikiran seperti itu. Mungkin bagi beberapa orang, menyukai tunangan---atau pacar---temanmu adalah bukan kejahatan selama kamu tidak melakukan apapun. Tapi bagi Morisawa-senpai sudah tentu pastinya itu adalah hal yang haram. Kalau perlu mungkin dia tebus dosa(??)nya dengan nyawanya. Tapi kalau sampai Morisawa-senpai yang seperti itu menyatakan rasa sukanya padaku secara terang - terangan......
Aku menoleh pada Sena-senpai dengan segala asumsiku. Aku yakin wajahku sudah pucat sekarang karena Sena-senpai kembali menatapku dengan tatapan herannya. Sebuah kesimpulan akhirnya terbentuk di kepalaku dan seketika menusuk hatiku saat itu juga.
Itu berarti, Morisawa-senpai benar - benar menyukaiku!!
Sena-senpai yang seolah bisa membaca seluruh pemikiranku hari ini pun juga mengangguk. "Yap. Dia benar - benar serius menyukaimu."
Aku sontak jatuh terduduk. Terkalahkan oleh diriku sendiri. Aaah!! Apa yang telah kulakukan padanya??!! Padahal dia setulus dan seserius itu, tapi aku malah dengan teganya menggantungkannya dengan meninggalkannya kemarin tanpa aba - aba setelah kami berdua sama - sama tercebur ke kolam. Bahkan aku tak bisa berterima kasih padanya telah menyelamatkanku dari tenggelam saking aku risihnya dengan pernyataan cintanya.
Memahami perasaanku, Sena-senpai sudah ikut jongkok di sampingku dan menepuk pundakku pelan. Aku mendongak dengan putus asa padanya.
"Pergilah. Temui dia dan bicarakan hal itu padanya." Katanya, lagi - lagi membuatku tak tahu harus berkata apa.
"Dia mengatakan itu buat menebus rasa bersalahnya sendiri. Meski aku yakin dia sudah siap kalau kamu membencinya seumur hidupnya, tapi aku tahu dia akan lebih lega setelah kau sendiri yang menjawabnya." Katanya lagi. Aku mendengus. Tersenyum geli padanya.
"Jadi apa?? Sekarang senpai membantu rival senpai??" Balasku sinis. Sena-senpai memerah, mengacak rambutku dengan tidak santainya.
"Aku hanya ingin mengatakan apa yang kupikirkan. Lagipula, aku paham perasaannya." Balasnya kikuk. Aku terkekeh pelan. Sena-senpai menatapku serius, sebelum akhirnya menepuk poniku lebih bersahabat.
"Aku yakin (Name) pasti bisa. Nolak aku waktu itu aja bisa. Masa sekarang enggak??" Katanya. Aku tersenyum. Merasa terhibur meski geli sendiri dengan perkataannya.
"Arigatou Senpai. Semoga aku bisa."
"Pasti bisa. Tenang saja." Katanya sambil berdiri. Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambarnya, juga berdiri dan menepuk - nepuk bajuku dari debu yang menempel. Sena-senpai menepuk bahuku.
"Cewek segalak sebar bar dirimu mana mungkin gak bisa nolak cowok."
Astaga!!
Baru saja aku mau menimpuknya, sebuah sosok yang masuk ke dapur sudah menghentikan niatku. Terlihat sosok Kira-kun dengan baju sekolahnya. Begitu dia melihatku, dia langsung merangsek ke arahku dan menjewer telingaku.
"Jadi ini ya, anak bandel yang bersembunyi dari semua orang."
"I-i-ittai!! Sakit!! Kira-kun!! Lepasin--" seruku berusaha melepaskan jewerannya. Usaha yang sia - sia. Sejak dulu hingga sekarang hanya di tangan Kira-kunlah aku bisa takluk. Kecuali urusan voli tentunya. Kira-kun menoleh pada Sena-senpai yang terpaku karena baru pertama kali melihatnya, dan mengangguk kecil.
"Maaf ya (Name)-chan kita merepotkanmu. Setelah ini dia akan kita hukum naik bungee-jumping oleh teman - temannya." Katanya. Aku mendadak terkesima mendengarnya menyebut teman - temanku. Kira-kun tersenyum kecil.
"Semuanya masih menunggumu. Ayah, Iwashita-san, yang lain. Bahkan Seiya-san juga." Jawabnya. Aku langsung merasa terharu. Padahal aku sudah jahat sekali menggantungkan mereka, tapi mereka tetap bertahan di sekolah demi bisa bertemu denganku.
"Sana, keluar." Usir Sena-senpai. Aku meleletkan lidahku sebal padanya, tapi aku tetap menyambar kostum maidku dan beranjak ke ruang ganti untuk bersalin.
Sena-senpai benar. Bapak aktor itu juga benar. Tak seharusnya aku lari dari masalahku. Apalagi masalah sepelik ini. Sudah sepatutnya aku langsung menyelesaikan dengan memberi penjelasan agar situasi seperti ini tak berlarut - larut. Demi diriku, teman - temanku, juga Morisawa-senpai sendiri.
Sambil merapihkan aksesoris rambutku, dengan percaya diri aku keluar dari dapur.
~~~~~
(Author POV)
.
Chiaki tampak lunglai menuju loker sepatu. Hari ini tidak ada yang spesial. Setidaknya menurutnya. Apalagi setelah kejadian tak terduga kemarin sore. Ia benar - benar tak mengira orang itu akan bereaksi seperti itu. Tidak. Dia kira dia akan mendapatkan reaksi yang lebih buruk. Ia tak pernah masalah jika orang itu balas memakinya, tapi jika tiba - tiba saja orang itu kabur, semuanya justru semakin buruk. Semakin membingungkan.
Chiaki menghela nafas. Setidaknya hari ini tidak berjalan lebih buruk lagi.
Jika hari biasanya, tentu sore itu sudah terlalu larut untuk pulang. Tapi ini masih festival. Pulang secepat itu adalah hal tak lazim. Tapi Chiaki benar - benar tak punya apapun lagi untuk dikerjakan. Daripada membiarkan pikirannya kemana - mana, lebih baik ia pulang dan membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah.
Tangannya pelan membuka loker sepatunya. Selembar kertas yang terlipat dua jatuh bersamaan dengan dia membuka pintunya. Membuat bunyi "tuk" kecil begitu menyentuh lantai.
Chiaki menautkan alisnya serius. Kertas?? Kertas apa itu?? Masa iya surat dari seseorang?? Selama sekolah disini, Chiaki tak pernah sekalipun mendapatkan surat yang disematkan di loker sepatu. Budaya seperti itu tak pernah ada di sekolah khusus laki - laki yang terlalu unik ini. Lagipula, siapapun bisa berbicara dengannya kapanpun dimanapun. Kenapa harus surat??
Tapi pikiran semacam itu tak menghentikannya untuk membuka surat itu. Begitu lipatannya terbuka, sebuah tulisan singkat berwarna hitam menyambut matanya.
Temui aku di belakang panggung besok sore, sebelum penutupan festival dilangsungkan. Kau tahu aku akan membicarakan apa. Aku tunggu.
-(Name)
Jantungnya bagai meloncat keluar begitu selesai membaca tulisan itu.
Secepat itu?? Well, bukan salahnya juga sih. Ia tahu cepat lambat pasti dia akan mendapat jawaban itu. Tapi...
Dia belum siap untuk mengakhiri persahabatannya.
Chiaki melipat kertas itu kembali. Menyelipkannya ke dalam tasnya. Seolah tidak terjadi apapun, dia melangkah keluar dari gedung dan mempercepat langkahnya menuju gerbang.
Tidak.
Ia seharusnya lebih siap dari siapapun.
Ia tahu persis apa konsekuensinya dari perbuatannya.
Maka dengan langkah yang terpaksa dimantapkan, Chiaki melanjutkan perjalanan pulangnya.
~~~~~
HALOOOO AUTHOR IS BACK IYEEEEY~~!!!
Tadinya author mau buat yang singkat dan padat gak tahunya malah sepanjang ini---
Gak papa. Yang penting teori cintanya tersampaikan--//gk gitu
Setelah pernyataan cinta tak terduga kemarin, (Name) justru semakin bingung dan seperti biasa, malah mengacaukan hidupnya!! Di tengah - tengah situasi tak terpercaya itu, datanglah Izumi dengan segudang teori cintanya??!! Apakah Izumi sejak jatuh cinta ikut kelas filsafat apa gimana??!! Apakah Izumi dan Chiaki janjian berguru ke Mario Teg*h apa gimana??!! Hanya Tuhan Yang Maha Tahu yang tahu--//plak
Apapun itu, sepertinya keputusan sudah ada di tangan kalian~~☆☆
Jujur sih, author gak pernah dapet permasalahan cinta seserius itu. Author mah hidupnya datar - datar aja. Sekalinya belok palingan gk tajem tajem amat. Karena itulah author seneng banget buat hidup kalian makin tajem gak jelas di cerita ini!!//heh
Mendekati penyelasaian masalah ini, justru masalah berikutnya akan beruntun datang!! Apakah kalian siaap~~??
Dan lagi, besok udah Ramadhan iyeeey~~☆☆!!
Ntah napa author gk begitu semangat. Mungkin karena vibenya sama aja karena di rumah terus ( ;∀;), tapi apapun itu, ini Ramadhan!! Its still Ramadhan!! Of course something fun will happen!!
Dan berhubung---pjj author udah selesai, tapi masih ada tugas yang belum kekumpul--uhuk--yah begitu. Mana mutabaah gk diisi lagi. Ish ish ish. Jangan ditiru yak author mah. Kerjakan tugas kalian dan kumpulkan oke?? Tapi kalo gak kuat gak papa//gmn.
Yoosh~~!!
Terima kasih telah membaca chapter ini dan sampai jumpa di chapter berikutnya~~☆☆!!
Bay bay~~☆☆
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro