
Two
Baju terakhir sudah tersimpan rapi di dalam koper berwarna putih. Mendudukkan diri di samping koper yang telah ditutup, Vanny menghela napas panjang. Ditatapnya pantulan diri di cermin. Dress hitam dengan motif bunga mawar kecil-kecil yang menghiasi sekeliling bagian baju melekat sempurna di tubuhnya. Riasan tipis yang ia beri, menghasilkan kesan natural pada wajahnya. Sayang, sorot mata Vanny terlihat sendu. Nampak tengah mengemban beban yang berat.
"Udah siap?" Suara yang berasal dari pintu kamar menginterupsi lamunan perempuan itu. Ivan berjalan pelan menghampiri Vanny yang duduk di bibir ranjang kamarnya, yang telah menjadi kamar Vanny juga semenjak perempuan itu menyandang status sebagai 'Nyonya Whitelaw'. "Are you okay?" tanya Ivan setelah mengambil duduk tepat di samping Vanny.
Tersenyum kecil, kepala Vanny mengangguk pelan. "I'm okay."
"Apa yang Papa bicarain tadi, jangan terlalu kamu ambil pusing," kata Ivan seraya mengusap kepala Vanny sebelum beranjak menuju walk in closet. Berganti pakaian. Meninggalkan Vanny yang untuk ke sekian kalinya mengembuskan napas pelan.
"Aku bukannya nggak mau hamil, tapi aku--"
"It's okay, Van. 'Kan aku bilang jangan diambil pusing ...." Ivan menyela cepat. Dihampirinya Vanny yang menunduk dengan tangan yang memilin baju. "Kita pelan-pelan, okay? Sekarang, anggap aja kita lagi di tahap pendekatan." Ditariknya pelan tangan Vanny untuk kemudian ia genggam jemarinya.
Menggigit bibir bawah, ragu-ragu Vanny menganggukkan kepala. Tanpa berani menatap balik Ivan yang kini tengah menatapnya intens. "Aku hanya ... nggak mau bikin keluarga kamu berpikir macam-macam tentang kita," cicitnya amat pelan.
Seulas senyum tipis tersungging di bibir Ivan. Sejak mengenal Vanny, satu hal yang langsung dapat ia simpulkan. Perempuan berstatus menikah di sampingnya ini memiliki rasa percaya diri yang amat minim. "Mikir macam-macam juga terserah mereka. Toh, mereka nggak tau, apa yang kita jalani dan rasakan. Right?" Sebelah tangan Ivan terangkat mengusap pipi Vanny dengan tatapan yang mengunci gerak bola mata Vanny. "Jangan terlalu sering mengabaikan kebahagiaan diri sendiri demi memikirkan presepsi orang lain dan mempertimbangkan penuh kebahagiaan mereka," ujar Ivan kemudian. Memberi sedikit masukan kepada sang istri.
"Tapi, dipikir-pikir ... aku kayaknya nggak pantes menyandang gelar 'Nyonya Whitelaw'. Iya, 'kan?" Akhirnya, Vanny secara tidak langsung mengungkapkan kegelisahannya.
"Van ... this is we life. Terserah orang-orang mau bilang apa. Yang menjalani kita, bukan mereka." Usai berkata demikian, Ivan menurunkan koper mereka untuk kemudian diseret keluar.
Tidak lama kemudian, Vanny menyusul sembari membawa sling bag-nya. Menghampiri sang suami yang sudah berada di lantai satu bersama mertuanya.
Ini memang hidupnya. Hidup yang nyaris tidak mungkin untuk bisa orang lain pahami. Memang seharusnya dia tidak terlalu mengambil pusing omongan miring orang-orang. Namun, bagi Vanny yang terlalu terbiasa memasukkan setiap nyir-nyir orang lain ke pikirannya, bersikap masa bodoh tentu bukan suatu hal yang mudah untuk ia lakukan. Sekalipun Ivan berbicara hingga mulut laki-laki itu berbusa. Karena pada dasarnya, Vanny memang tidak sepercaya diri itu menjadi bagian dari WhiteLaw's family.
•••••
Gerbang kayu berdiri menjulang tepat di depan mobil yang dikendarai Ivan. Di sampingnya, duduk Vanny yang ekspresi wajahnya mulai berubah perlahan semenjak mobil Ivan memasuki komplek perumahan elit hingga sekarang mobil putih mengkilat itu terparkir rapi di halaman sebuah rumah yang lebih bisa dikatakan istana. Begitu menurut Vanny yang hidup dalam kesederhanaan selama ini.
Seorang pria paruh baya datang tergopoh, kemudian membantu Ivan menurunkan beberapa barang dari dalam bagasi. Tadi, keduanya sempat singgah ke pusat perbelanjaan untuk membeli ini itu yang sekiranya diperlukan. Selebihnya, bisa diurus belakangan.
"Van, ini ...." Vanny menatap Ivan dengan tatapan yang langsung bisa laki-laki itu artikan.
"For you," sahut Ivan seraya merangkul bahu Vanny. Memutar sedikit tubuh perempuan itu untuk melihat rumah baru mereka.
"Ini ... terlalu berlebihan nggak, sih?" tanya Vanny sembari menatap Ivan yang juga tengah menatapnya dengan ulasan senyum menawan.
"Nggak ada yang berlebihan buat istri aku," kata laki-laki itu santai.
Sontak saja, kedua pipi Vanny merona merah. "Dasar gombal!" ketusnya sambil berjalan mendahului Ivan yang terbahak kecil.
Mereka menikah tanpa cinta. Setidaknya, itu yang ada di dalam pikiran Vanny. "Nyonya Whitelaw ... tidak sopan meninggalkan suami seperti itu!" seru Ivan sembari menyusul Vanny yang sudah masuk ke dalam rumah. Berbincang singkat dengan kepala asisten rumah tangga yang tadi membukakan pintu, sebelum wanita paruh baya tersebut melenggang pergi.
"Di sini ada berapa ART?" tanya Vanny begitu Ivan duduk di sofa sampingnya. Dari arah pintu, masuk satpam dan dua orang wanita kepala tiga dengan membawa koper serta belanjaan sang majikan.
"Enam, kalo nggak salah." Menyandarkan punggung ke kepala sofa, Ivan menjawab santai.
Berbanding terbalik dengan Vanny yang sudah terbelalak matanya. Kaget bukan main. "Demi apa?!" tanyanya nyaris memekik.
Melihat respon sang istri, kekehan pelan meluncur dari bibir Ivan. Laki-laki itu lantas berdiri, mengulurkan tangan ke arah Vanny kemudian. "Mau keliling rumah? Lihat-lihat, maybe," tawarnya yang tidak bisa Vanny tolak.
Perempuan itu langsung menerima uluran tangan Ivan. Keduanya lantas berjalan mengelilingi setiap sisi pun sudut rumah yang baru diketahui Vanny merupakan rumah yang Ivan beli dari gajinya selama enam bulan menjadi asisten pribadi sang ayah dulu. Rumah yang memang dipersiapkan laki-laki itu untuk ditinggali bersama istrinya, ketika sudah menikah.
Tuan Dhananjaya, ayah Vanny bukan orang biasa. Pria paruh baya itu merupakan salah satu pebisnis hebat di Negeri mereka. Kekayaan yang dimilikinya pun tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki Tuan Whitelaw. Keduanya sama-sama tokoh penting di dunia bisnis. Sayang, Vanny sama sekali tidak tertarik untuk turut berkecimpung di dunia bisnis seperti yang ayahnya tekuni. Ia lebih memilih untuk menjadi seorang dosen. Berbagi ilmu sekaligus belajar lebih banyak tentang hal-hal yang belum ia ketahui. Terlebih, semenjak kepergian sang ibunda. Hubungannya dengan Aiwan pun kian hari kian merenggang. Bertemu, hanya saling melempar salam, sapa, dan berbicara basa-baai singkat. Ingin lebih dari sekadar itu semua, namun mungkin tidak akan pernah terwujud karena memang semuanya sudah berakhir. Sejak sang ayah mengikrarkan janji suci bersama wanita lain yang telah memberikannya keturunan, juga. Sejak sang ayah meremukkan hati sang ibu. Sejak keluarga baru ayahnya hidup di bawah atap yang sama. Serta semakin parah, sejak Vanny harus menerima kenyataan, jika dirinya telah menjadi seorang piatu. Ibunya pergi di saat Vanny sedang sangat membutuhkan peran ibundanya dalam proses pendewasaan.
•••••~WhiteRose~•••••
Terus nantikan this story setiap harinyaa, yaaaa😊
Happy reading, readers😍
Salam hangat,
RosIta
Kalimntan Barrat, 3 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro