Twenty Six
Hari ketiga pasca Via meninggal, tidak ada yang terlalu berubah selain kondisi mental Vanny yang mulai membaik. Perempuan itu benar-benar terpuruk setelah kejadian tempo hari. Ivan yang paling berperan dalam membangkitkan rasa percaya diri sang istri. Mengembalikan senyum indahnya. Dan semua itu, tentu memerlukan pengorbanan.
Perihal Nina, sampai detik ini tidak ada kabar apa pun dari kediaman Dhananjaya. Sekalipun basa-basi mengajak Vanny dalam acara pengajian yang diadakan setiap malam. Semua ini, entah bagaimana bisa terjadi.
"Kamu nggak apa-apa aku tinggal sendiri?" Ivan menatap Vanny yang tengah menciduk nasi goreng ke dalam piringnya. Sinar di wajah Vanny memang belum sepenuhnya pulih, namun lebih baik dari waktu hari di mana Nina dengan tanpa menyaring kalimat, mencaci Vanny.
Menyodorkan piring yang sudah terisi nasi goreng buatannya tadi, Vanny mengulas senyum tipis. "Aku yang harusnya nanya begitu." Sorot mata perempuan yang pagi itu masih mengenakan piyama motif bunga-bunga meredup.
"Nggak masalah," sahut Ivan santai. "Kalau ada apa-apa, segera kabari aku, ya?" pesan Ivan yang dijawab anggukan kepala oleh Vanny.
Setelahnya, kedua pasangan suami istri itu menyantap sarapan dalam diam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Perlahan mulai merancang skenario untuk waktu ke depannya.
Hingga sekitar tiga puluh menit kemudian, Vanny mengantarkan Ivan ke teras rumah. Sembari menyerahkan jas laki-laki itu, Vanny kembali meminta maaf.
Saat mereka memutuskan pulang ke Jakarta tempo hari, pekerjaan Ivan di Bali belum sepenuhnya selesai. Alhasil, hari ini hingga beberapa hari ke depan, Ivan harus kembali ke Bali demi untuk menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda.
"Omongan apa pun itu, dari siapa pun itu, aku harap kamu nggak terlalu mengambil pusing, ya?" Menarik tubuh istrinya masuk ke dalam dekapan, Ivan melayangkan satu kecupan lembut tepat di pucuk kepala Vanny.
"Hm. Kamu hati-hati. Kalau udah sampai, langsung kabari aku."
Akhirnya dengan berat hati, Ivan meninggalkan sang istri. Dalam hati berjanji, akan menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Meski Vanny tidak berbicara secara gamblang, namun Ivan cukup peka, kalau perempuan itu menyimpan beban hati yang cukup berat. Yang pastinya memerlukan topangan bahu orang lain. Dan Ivan adalah orang lain itu untuk saat ini.
Tanpa keduanya sadari, perlahan benih-benih cinta mulai bertunas. Siap menjelma menjadi sebuah cinta yang matang. Cinta yang menyeimbangkan antara nurani dan logika. Cinta yang tidak hanya dilandasi rasa nyaman karena terbiasa.
•••••
"Papa?"
Untuk beberapa saat, Vanny menahan napas setelah melihat siapa yang tadi menekan bel rumah.
Pria paruh baya yang turut menyumbangkan DNA ke dalam tubuh Vanny itu berdiri di depannya. Menatap Vanny dengan tatapan yang sulit diartikan.
Sekarang … apalagi yang ingin ayahnya lakukan?
Apa yang akan pria itu katakan?
Akankah Aiwin ingin meluruskan kejadian tempo hari?
Atau malah … membenarkan kalimat paling tidak diinginkan Vanny untuk didengar?
Setelah tidak memberi kabar pasca kejadian tempo lalu, baru hari ini Aiwin menampakkan batang hidungnya. Sebelum ini, jangankan untuk menemui Vanny, memberi kabar via telepon atau pesan saja tidak. Setidakpenting itukah Vanny bagi Aiwin?
"Boleh Papa masuk?" tanya Aiwin memecah keheningan.
Mengangguk kaku, Vanny membuka pintu lebih lebar. Memberi jalan masuk untuk sang ayah. "Mau minum apa, Pa?" tanya Vanny mencoba bersikap biasa saja.
"Papa nggak lama." Aiwin memberi kode kepada Vanny untuk ikut duduk di sofa seberang.
Hati Vanny mulai disergap rasa cemas. Selalu begitu, setiap kali akan berbicara serius dengan Aiwin.
Hening mengambil alih untuk beberapa detik kemudian. Membiarkan akal menyusun matang kalimat yang akan diucapkan. Sebelum lisan yang curahkan isi hati.
"Papa rasa kamu masih ingat jalan ke rumah Papa," ujar Aiwin membuka pembicaraan. Matanya menatap lurus sang anak.
Vanny sedikit mengernyitkan dahi. Tidak paham, ke mana arah pembicaraan ayahnya. "Maksud--"
"Yang meninggal itu adik kamu, Vanny. Meski Via adik tiri kamu, dan sekalipun selama dia hidup sikapnya sedikit membuat kamu tidak nyaman, tapi dia tetap bagian dari keluarga Dhananjaya. Keluarga tempat kamu dilahirkan."
Deg!
Vanny tertegun. Tidak menyangka, ayahnya akan berbicara demikian. Padahal, pada hari itu sang ayah berada di tempat. Menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana cara Nina mengusir Vanny. Melempar cemoohan yang amat melukai harga diri. Dan sekarang, ayahnya berbicara seolah-olah Vanny sama sekali tidak memiliki niat berdamai dengan keadaan?
"Iya, Vanny minta maaf."
Dan memang seharusnya Vanny sadar, jika dari dulu ia tidak pernah benar di mata sang ayah. Seberapa benarnya pun Vanny, di mata Aiwin dia tetap bersalah.
"Papa harap kamu bisa lebih bersikap dewasa ke depannya."
Hanya itu. Pria paruh baya berstatus ayah kandung dari Vanny itu datang sekadar untuk menghakimi Vanny. Menyalahkan dirinya atas keadaan yang terjadi.
"Tapi, Vanny masih belum mengerti, kenapa Bunda mengatakan Vanny 'anak pembawa sial'."
Langkah Aiwin yang sudah hampir mencapai pintu, terhenti. Terdengar hembusan napas berat keluar dari bibirnya. "Via bunuh diri. Bundamu menemukan diari-nya yang berisi, jika anak yang ia kandung adalah anak Ivan, bukan Vero." Setelahnya, Aiwin melanjutkan langkah. Meninggalkan sang anak yang sudah bagai ditarik paksa separuh nyawanya.
Perkataan sang ayah beberapa saat yang lalu, terus terngiang-ngiang di pikiran. Berulang-ulang bak kaset rusak. Hingga timbulkan denyut memburu di kepalanya. Dan yang terakhir Vanny ingat adalah kedatangan Davina sebelum semua berubah menjadi gelap. Dalam hati, ia menaruh harap besar, jika apa yang Aiwin ucapkan bukanlah sebuah kebenaran.
•••••
Ponsel di saku celananya mengeluarkan dering pertanda telepon masuk. Sambil terus berjalan keluar dari lobi, Ivan mengambil ponselnya. Menggeser ikon hijau setelah melihat nama yang tertera pada layar benda pipih tersebut. Menempelkannya di telinga kemudian.
"Vanny pingsan!"
Dua kata itu, berhasil menghentikan langkah kaki Ivan. Tubuhnya menegang. Belum ada sehari ia meninggalkan rumah, sudah sampai kabar buruk seperti ini. "Sekarang gimana keadaannya?" tanya Ivan sambil melanjutkan langkah yang sempat terhenti.
"Dia belum sadar, tapi ada hal yang gue rasa lo perlu tau," sahut seseorang di seberang sana.
"Apa?" tanya Ivan seraya masuk ke dalam mobil yang sudah siap di depan lobi.
"Gue nggak sengaja dengar, Om Aiwin bilang kalau Via hamil anak lo, bukan Vero. Dan buat hal satunya, gue rasa itu hak Vanny sepenuhnya."
Belum sempat Ivan kembali menyahut, panggilan diputus sepihak. "Shit!" Umpatan pun tanpa bisa dicegah terlontar dari mulutnya. Menyandarkan kepala ke sandaran jok, Ivan mengembuskan napas kasar.
"Via sialan!" maki Ivan pelan, nyaris berupa desisan.
•••••~WhiteRose~•••••
Up Up Up
Follow, read, vote, coment, and share😍
Salam hangat,
RosIta
KalBar, 28 Nov 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro