Twenty Five
Suasana mulai memanas. Apalagi, saat Nina dengan kasar menepis tangan Vanny yang ingin kembali menyentuhnya. "Pergi kamu!" usirnya kemudian. "Keluar!" pekik Nina yang jelas menarik perhatian orang-orang.
"Bunda!" Aiwin yang tadinya sedang berada di ruang tamu, langsung menghampiri sang istri. Ia tahu atas kedatangan Vanny. Namun, ia tidak menyangka, jika Nina akan menyambut dengan begitu 'luar biasa'.
"Suruh anak pembawa sial ini keluar, Pa!"
Deg!
Tubuh Vanny menegang. Tangannya yang tadi ingin kembali menggapai tangan Nina, terhenti di udara. Kalimat yang barusan didengarnya, bagaimana bisa keluar dari mulut seseorang yang sudah ia anggap seperti ibu kandung sendiri?
Dengan gerakan kaku yang sepelan mungkin, Vanny mendongak. Menatap Nina yang berdiri di depannya dengan tatapan nanar. Wanita yang biasanya bertutur kata lembut penuh keibuan itu, kini menghunuskan sorot penuh kebencian ke arahnya. Sorot yang baru pertama kali ia terima sepanjang mengenal Nina.
Ivan bergerak lebih dulu dibanding Vanny yang nampaknya terlalu merendah diri di depan orang yang sudah menginjaknya tanpa belas kasihan. Ditariknya lembut Vanny untuk bangkit berdiri, sebelum memapah perempuan itu keluar dari rumah yang bak neraka.
"Kenapa, sih?"
"Nggak tau. Tapi, kayaknya perempuan itu penyebab anak Bu Dhananjaya meninggal."
"Itu bukannya anak pertama Pak Dhananjaya, ya?"
"Eh? Iya, ya."
"Jangan-jangan gara-gara itu, dia nggak pernah diakui sama Pak Dhananjaya."
"Gara-gara itu apa?"
"Pembawa sial."
Kepalan tangan di kedua sisinya mengetat. Bukan karena amarah, melainkan emosi kesedihan yang ditahan agar tidak meledak.
Langkah Ivan semakin cepat membawa Vanny pergi dari kediaman Dhananjaya. Dibanding Vanny, mungkin Ivan yang lebih merasa marah.
Saat tahu berita kematian Via, mereka langsung terbang kembali ke Jakarta. Dari bandara langsung menuju rumah orangtua Vanny. Sampai di tempat, sambutan seperti ini yang mereka dapatkan.
Ivan benar-benar tidak menyangka, jika Nina memiliki sisi munafik seperti itu. Ia jadi curiga, kalau selama ini yang wanita paruh baya itu tunjukkan hanya lah sebuah topeng belaka.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Vanny sama sekali tidak buka suara. Perempuan berstatus sebagai istri Ivan itu sepertinya masih tidak menyangka, jika akan terjadi hal seperti tadi. Mengingat hubungannya yang amat dekat dengan Nina.
"Jangan berikan akses masuk kepada siapa pun!" titah Ivan kepada satpam khusus yang ia pekerjakan di rumahnya.
"Siap, Tuan!"
Tidak menunggu Ivan lagi, Vanny melenggang memasuki rumah seorang diri. Langkahnya gontai. Pandangannya kosong. Semuanya bagai mimpi. Keadaan berhasil memainkan perasaannya. Semula senang, sedih, lantas marah. Yang sayangnya, untuk rasa terakhir tidak bisa ia luapkan secara gamblang. Air mata, menjadi cara meluapkan yang selalu ia pilih.
Langkah kakinya membawa Vanny menuju ke sebuah ruangan yang didominasi warna abu-abu. Sudah cukup lama, ruangan yang dulunya kosong itu direnovasi menjadi ruangan pribadi Vanny. Bersebelahan dengan ruang kerja Ivan.
Menutup pintu, Vanny memutar kunci. Ia sedang ingin sendiri. Termasuk Ivan, untuk saat ini belum Vanny ingin temui. Dia perlu menjernihkan pikiran. Jangan sampai emosi membuatnya menyesal di kemudian hari.
•••••
"Vin, buruan!"
Di lain tempat, Davina terus mendesak Delvin agar lebih memacu kecepatan mobil yang sedang dikemudikan menuju ke rumah Ivan dan Vanny.
Sebagai seorang sahabat, Davina tentu sangat cemas saat ini. Belakangan, ujian tiada henti menghantam sahabatnya. Tidak jarang, Vanny datang ke rumah atau meneleponnya sambil menangis tersedu. Mengungkapkan keluh kesah hatinya. Dari dulu, memang hanya kepadanya Vanny mengadu. Nenek dan kakek perempuan itu sudah lama meninggal. Ibunya juga. Hal itu yang membuat Davina berperan sebagai kakak bagi Vanny.
Sayangnya, saat sudah sampai di tempat tujuan, pintu gerbang tidak dibukakan. Padahal, satpam rumah sudah mengenal mereka dekat, tapi tetap saja tidak memberikan akses masuk.
Tidak kehabisan akal, Davina mencoba menelepon Vanny. Begitu pula dengan Delvin yang menghubungi Ivan.
Nahas, keberuntungan sedang tidak berpihak kepada mereka. Baik Vanny maupun Ivan, sama-sama tidak menjawab panggilan mereka.
"Ke mana sih, mereka?" Davina berdecak kesal. Mengembuskan napas kasar sebelum bersandar di kepala jok.
Delvin masih terus berusaha menelepon Ivan. Namun, hasilnya tetap nihil.
Satu yang jelas, Ivan memberi titah demikian tentu demi sang istri. Laki-laki itu selalu lebih dominan bertindak dibanding berkoar.
Sementara itu, Ivan berdiri di depan pintu yang ia yakini Vanny berada di dalamnya. "Van, kamu belum makan, lho!" Lagi, Ivan berseru seraya mengetuk pintu tersebut.
Masih sama seperti sebelumnya, tidak ada sahutan apa pun dari penghuni di dalamnya.
Memejamkan mata, Ivan mengembuskan napas kasar. Kepalanya pening akibat masalah yang menerjang tanpa henti. Alhasil, dia memilih masuk ke dalam ruangan sebelah yang merupakan ruang kerjanya. Saat ini, mereka mungkin memang harus sama-sama menenangkan pikiran.
Di dalam ruangannya sendiri, Vanny menangis tanpa suara. Mendekap bantal panjang seerat mungkin. Perasaannya benar-benar kacau. Setiap ujian yang menerpa berputar-putar tepat di depan pelupuk mata bak kaset rusak. Ingin berteriak, meraung sekencang mungkin, namun ia seolah sudah kehabisan tenaga.
Belum lagi nyir-nyir dari tetangga maupun kerabat di kediaman Dhananjaya tadi. Jangankan untuk menjaga lisan demi perasaan objek yang jadi topik pembicaraan, mencaritahu kebenaran atas apa yang mereka lihat dan dengar pun enggan. Semata-mata mengandalkan bukti yang terlihat oleh netra, tanpa menelusuri latar belakang peristiwa tersebut bisa terjadi.
Manusia memang selalu seperti itu. Sekecil apa pun kekurangan orang lain, selalu tampak olehnya. Sedangkan kesalahan sendiri yang mengalahkan isi bumi dan langit, tidak terlihat. Pura-pura tidak melihat dengan cara mengabaikan, lebih tepatnya.
Ting!
Itu bukan notif pesan pertama yang ia terima. Bahkan sebelumnya puluhan panggilan ia abaikan. Hatinya belum siap menghadapi kenyataan, jika salah satu pesan atau panggilan tersebut mengungkit kejadian hari ini. Luka yang ia terima masih menganga lebar dan amat basah. Tersentuh sedikit saja, pasti akan langsung membuat tubuhnya ambruk tanpa daya.
Kelopak mata Vanny terasa begitu berat untuk dibuka. Akibat over dosis mengeluarkan air mata. Setelah menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan, tangannya menggapai ponsel yang diletakkan di samping badannya. Menilik, siapa yang barusan mengiriminya pesan.
Aini. Asisten pribadinya yang meng-handle kedai selagi Vanny tidak berada di tempat.
Membaca isi pesan tersebut, tubuh Vanny melemas kemudian. Kepalanya yang memang sudah pusing, semakin pening usai membaca pesan berisi informasi yang Aini kirimkan.
Ternyata, ujian kekuatan hatinya belum selesai. Masih ada tahap-tahap selanjutnya. Lembaran-lembaran kosong setelah ini, masih menanti kisah baru yang akan diukir tinta nan menari.
•••••~WhiteRose~•••••
Up Up Up
Ada yg menanti?
Menanti hujan membawa rindu, misalnya.
Atau menanti kelanjutan kisah CoupleVan😁
Salam hangat,
RosIta
Kalimantan Barat, 26 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro