Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Twenty

Hampir seminggu waktu yang ditempuh sampai akhirnya kaki tangan Ivan menemukan juga keberadaan Vero. Laki-laki yang wajib bertanggung jawab atas Via. Bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat. Laki-laki yang membuat kondisi keluarga Dhananjaya panasa belakangan ini. Juga berhasil menggemparkan dunia maya. Terlebih, di bidang permodelan. Benar-benar bukan ancaman ringan atas karir Via yang sedang selangit. Perempuan yang baru-baru ini merasakan bagaimana menjadi bintang, dengan amat terpaksa menutup diri yang sebelumnya penuh senyum. Sudah tidak lagi peduli pada apa yang orang di luar sana bicarakan. Yang terpenting saat ini hanyalah harga dirinya, juga sosok lain di perutnya.

Sayangnya, bersamaan dengan angin kedamaian itu, badai turut menyusul sesaat kemudian. Kembali memporak-porandakan isi hati yang baru mulai berdamai beberapa detik. Mungkin benar adanya, kabar baik selalu bersahabat dengan kabar buruk. Dan yang jelas, Via meyakini apa yang sekarang menimpanya ialah sebuah balasan atau lebih sering dikenal dengan karma. Balasan atas apa yang dulu pernah ia lakukan. Menyia-nyiakan ketulusan seseorang. Sekarang, ia baru merasakan bagaimana rasa sakitnya ketika ditinggalkan seseorang di saat diri amat sangat memerlukan dekapannya, rengkuhannya, dan yang paling utama tentu dukungan dari orang tersebut yang malah memilih pergi menjauh, melepas segala tanggung jawab sekaligus mengkhianati untaian kalimat cinta yang pernah terucap bak sebuah ikrar janji.

"Vero ditemukan tewas di dalam kamar apartemen milik kekasih barunya." Begitu, informasi yang salah satu kaki tangannya sampaikan. Kabar buruk yang meski akan menyakiti Via nantinya, tetap harus Ivan sampaikan.

Usai kaki tangan atau anak buahnya pulang, Ivan beranjak menuju dapur. Menemui sang istri yang tengah menyiapkan makan malam untuk mereka.

"Rudy sudah pulang?" Vanny menanyakan kaki tangan Ivan yang diketahui bernama Rudy.

"Ngapain juga dia lama-lama?" Ivan balik bertanya. Laki-laki itu duduk di kursi bar. Memperhatikan setiap gerak-gerik Vanny yang selalu berhasil menarik nyaris seluruh perhatiannya. Memandang perempuan itu yang nampak sibuk berkutat dengan pekakas dapur, entah sejak kapan telah menjadi hobi tersendiri bagi Ivan, jika dia sedang berada di rumah tentunya.

Vanny sendiri menggeleng-gelengkan kepalanya. Takjub sendiri dengan tingkah Ivan yang benar-benar bertolak belakang dengan Ivan yang dikenal para karyawannya. Dengan Ivan si pemimpin perusahaan. Entah apa yang akan para karyawan laki-laki itu katakan, jika melihat tingkah bos besar mereka yang seperti sekarang ini. Bak anak remaja sedang jatuh cinta. Persis.

"Yuk, makan!" Vanny membawa semangkuk sup yang tadi ia buat ke meja makan yang sebelumnya sudah tertata beberapa macam jenis makanan.

Dan alasan kenapa Ivan selalu betah makan di rumah, hingga kadang ingin pulang ke rumah di saat jam-jam istirahat kantor, ya karena Vanny yang benar-benar pandai dalam memanjakan lidah Ivan. Tipe-tipe istri dan menantu idaman. Ibu rumah tangga tulen, sekalipun perempuan itu juga memiliki karir yang lumayan tinggi meski belum bisa menyaingi Ivan, dan Vanny  juga tidak memiliki niat untuk bersaing dengan suaminya sendiri. Masakan Vanny, seringkali membuat Ivan rindu akan rumah, jika dirinya sedang berada di luar kota atau luar negeri.

"Terus gimana? Apa kata Rudy?" tanya Vanny di sela-sela kegiatan makan mereka. Pertanyaan yang sudah sejak tadi ia tahan agar tidak terlontar, akhirnya meluncur juga.

Tangan Ivan yang ingin menyuap, terhenti di udara. Raut wajahnya langsung berubah. "Makan dulu. Bahasnya nanti aja," kata Ivan mencoba bersikap sesantai mungkin.

"Okay." Vanny mengangguk paham. Setelahnya, makan siang hari itu dilalui dengan bisu yang mendekap tanpa cela. Kecanggungan, nyaris mengambil alih kendali.

•••••

Hari ini hari terakhir Via dirawat di rumah sakit. Meski demikian, kondisi Via belum bisa dikatakan baik-baik saja. Karena perempuan itu tetap harus menjalani rawat jalan setiap minggunya.

Duduk diam di atas brankar, tatapan Via lekat memandangi Vanny yang tengah membereskan keperluannya selama dirawat di rumah sakit. "Kenapa lo baik banget sama gue?" tanyanya kemudian. Menatap Vanny antara haru bercampur bingung.

Gerakan tangan Vanny mendadak berhenti. Ditatapnya balik Via dengan beberapa lipatan kecil di kening. "Maksudnya?" Entah itu karena hubungan darah atau apa, baik Aiwin maupun Via tiba-tiba saja menanyakan suatu hal yang sudah jelas jawabannya. Sampai-sampai, pertanyaan yang mereka layangkan terdengar asing di telinga.

Kedua bahu Via sekilas terangkat. "Yaaa … selama ini 'kan, gue jahat banget sama lo," ujar perempuan itu sembari mengembuskan napas berat.

Vanny mengukir senyum tipis, sebelum berjalan mendekati Via. "Lo itu satu-satunya saudara gue. Meskipun kita dilahirin dari rahim yang berbeda, tapi terdapat darah yang sama di dalam aliran darah kita. Yang nggak mungkin bisa dipalsukan." Panjang kali lebar Vanny menjelaskan. Senyuman di wajahnya, tidak luntur sedikit pun. Menatap Via dengan binar haru. Tidak menyangka, keduanya bisa berbicara seperti sekarang. Tanpa amarah turut mencampur aduk.

Saat itu juga, tangis Via pecah. Perempuan itu tergugu sambil menarik tubuh Vanny. "Maafin gue," lirih Via tulus dari dalam hati yang paling dalam.

Tangan Vanny mengusap punggung bergetar Via. Ini kali kedua mereka berpelukan. Kabar baiknya, Via yang memulai duluan. Menghangatkan perasaan Vanny. Menyuburkan rasa sayangnya kepada sang adik, yang sempat layu oleh kekecewaan. "Lo kuat, ya? Gue yakin, lo pasti bisa ngelewatin ini semua," bisik Vanny khas seorang kakak yang tengah menasihati adiknya.

"Maafin gue …." Lagi, Via berbisik lirih. Nadanya sarat akan penyeselan.

"It's okay. Yang terpenting sekarang, lo harus jaga kesehatan. Karena lo nggak hidup sendiri lagi. Ada nyawa lain yang jangan sampai lo coba hilangin dari kehidupan lo."

Tepat setelah lisannya berbicara demikian, pintu ruang rawat inap Via terbuka dari luar. Seorang perawat masuk dan menyerahkan secarik resep yang harus ditebus sebelum Via pulang ke rumah.

Vanny mengurai pelukan. Menghapus air mata yang mulai merembes sejak tadi. Sejak lirihan pilu Via terlontar. Apalagi, perasaan Vanny saat ini lumayan cukup sensitif.

Melihat Via yang tempo hari terbaring lemah di atas brankar, membuat ingatannya tertarik akan sosok ibunda. Perempuan yang telah begitu berjasa akan kakinya yang kini bisa memijak bumi tanpa goyah. Perempuan yang selalu dan selalu Vanny rindukan, hingga tidak jarang harap mustahil terbayang di pikirannya. Membuat kepala segera menggeleng, usai kesadaran mengambil alih kendali dirinya.

Tidak lama setelah perawat keluar, pintu kembali terbuka. Kini, Ivan yang datang. Laki-laki itu, seperti yang semalam telah baik Vanny maupun Ivan setujui, akan menyampaikan sebuah kabar penting.

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Ada yg merindu?
Ada yg merana?

Mari kita dekap bersama harap yang tinggal asa😳

Salam hangat,
RosIta.

Kalimantan Barat, 21 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro