Twelve
"Vin, Vanny di mana?" Ivan yang baru saja sampai rumah, langsung menghampiri Davina yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Menanyakan keberadaan sang istri.
"Di kamar," sahut Davina sambil menutup wajahnya dengan sebelah tangan. Ini bukan kali pertama Vanny terlibat pertengkaran dengan Via. Davina tidak ingin menyalahkan Via sepenuhnya atas apa yang selalu terjadi, tapi memang perempuan itu yang selalu mematik api pertikaian. Dan Vanny, Davina sangat menyayangkan kontrol emosi perempuan itu selalu menurun, jika berhadapan dengan Via.
"Okay. Thanks, ya."
"Keadaan dia lagi nggak baik-baik aja. Gue harap, lo tau apa yang seharusnya lo lakuin." Sebelum Ivan sempat melangkah pergi, Davina kembali buka suara. Ia tidak ingin, kalau Ivan sampai salah mengambil sikap saat nanti berhadapan dengan Vanny.
Kepala Ivan mengangguk paham sebelum melanjutkan langkah menuju kamarnya dan Vanny.
Davina yang meminta asisten rumah tangga Ivan dan Vanny untuk menelepon Ivan, memberitahu tentang apa yang sedang terjadi. Ia merasa, Ivan perlu tahu tentang apa yang terjadi di antara Vanny dan Via tadi. Selain karena kedua perempuan itu merupakan kakak beradik, Via yang notabene-nya ialah masa lalu Ivan membuat Davina membulatkan keputusannya. Mewanti, akan terjadi kesalahpahaman nantinya. Davina cukup kenal, siapa Via. Perempuan licik yang senang bermain halus. Berbisa tanpa repot memperlihatkan taring terlebih dahulu.
Di dalam kamar sendiri, Ivan berdiri diam di depan pintu kamar. Memperhatikan sang istri yang terisak di atas tempat tidur sambil berbaring miring.
"Aku lagi mau sendiri …."
Belum sempat Ivan melangkahkan kaki menghampiri sang istri, Vanny sudah bersuara terlebih dahulu. Perempuan itu rupanya sudah mengetahui keberadaan Ivan.
"Are you okay?" Sekalipun Ivan tahu, kalau Vanny sedang tidak baik-baik saja, entah kenapa pertanyaan klise itu tetap keluar juga.
"I'm a good, maybe."
Sejenak, Ivan memandangi punggung Vanny yang bergetar sebelum berbalik keluar. Menutup pintu, helaan napas berat keluar begitu saja dari mulutnya.
Semalam, ia dan Vanny tidak sempat mengobrol banyak, karena perempuan itu yang beralibi sudah mengantuk berat. Padahal Ivan yakin, jika Vanny hanya ingin menghindari topik pembicaraan yang ia angkat. Apalagi, siangnya saat di kantor, Vanny dan Ivan terlibat adu argumen.
"Delvin?" Saat Ivan kembali ke ruang tamu, ia menemukan Delvin sudah duduk manis di samping Davina. "Kapan lo dateng?" tanyanya sembari duduk di sofa seberang Delvin dan Davina.
"Baru aja. Niatnya mau jemput Davina. Eh malah dapat kabar nggak bagus," sahutnya sambil melirik Davina.
"Memang kalian mau ke mana?" Ivan bertanya sambil menyandarkan punggung di sandaran sofa. Memejamkan mata kemudian.
"Butik. Ngurus pakaian yang bakal digunain sama keluarga nanti," jawab Delvin yang ikut bersandar.
Ivan tidak lagi menyahut apa-apa. Hanya beberapa kali mengembuskan napas pelan.
"Vanny gimana?" Davina buka suara. Menanyakan keadaan sahabatnya.
Mengedikkan bahu, Ivan menjawab, "nggak tau. Dianya nggak mau ketemu gue juga tadi."
Delvin saling melempar pandang dengan Davina, sebelum memfokuskan pandangan ke arah Ivan. "Tapi, lo sama dia baik-baik aja, 'kan?"
Mendapat pertanyaan demikian, Ivan mendadak bungkam. Entahlah, apakah keduanya bisa dibilang baik-baik saja atau tidak. Semalam, keduanya memang sempat mengobrol santai, tapi hanya sebatas itu. Waktu menjelang tidur, bukan wajah yang saling berhadapan seperti biasa, tetapi malah punggung yang saling bertatap. Saling membelakangi hingga pagi kembali menyapa.
"Kalian berantem?" Davina angkat suara, karena Ivan yang 'tak kunjung menjawab.
Lagi-lagi, Ivan mengedikkan bahu. "I don't know. Kemarin, kita sempat cekcok gitu. Terus semalam, masih ngobrol santai bentar sebelum tidur."
"Cekcok gimana maksud, lo?" Delvin menegakkan tubuh. Menatap Ivan penasaran.
"Gitu, deh. Gue coba ngasih solusi, dianya nggak terima. Hm, gue sih yang kayaknya salah menyampaikan solusi. Maybe. Pokoknya gitu."
"Yaaa … apa pun itu, gue harap lo bisa ngadepin Vanny dengan bijak. Sedikit banyaknya lo pasti udah tau, gimana sifat istri lo." Davina lantas berdiri. "Yuk, Vin!" ajaknya kepada Delvin.
"Gue doain semuanya cepat kelar." Delvin menepuk bahu Ivan beberapa kali sebelum pergi bersama Davina yang sekilas melirik ke lantai dua. Dalam hati, perempuan itu sangat berharap semoga sahabatnya tegar dalam menghadapi berbagai masalah yang menghampiri kehidupannya.
•••••
Hari sudah berganti malam, namun Vanny belum juga beranjak dari atas tempat tidur. Netranya kosong menatap ke depan. Di dalam kepalanya, sedang berlangsung perdebatan sengit antara hati dan pikiran. Saling mengedepankan argumen yang menurut masing-masing benar. Tidak satu pun mau mengalah. Terus berdebat, tanpa memikirkan efek samping yang raga terima.
Pintu kamar perlahan terbuka. Ruangan yang semula gelap gulita, seketika terang oleh cahaya dari lampu yang Ivan hidupkan. Di tangan laki-laki itu terdapat nampan berisi makan malam. Cukup sudah ia memberi Vanny waktu untuk menenangkan diri. Apalagi, jika perempuan itu sampai mengabaikan kesehatannya, bagaimana bisa Ivan tetap diam tanpa bertindak?
"Makan dulu, Van." Meletakkan nampan ke atas ranjang tepat di samping Vanny, Ivan turut duduk di dekat kaki perempuan berstatus sebagai istrinya itu. "Mikirin masalah boleh, asal jangan sampai melalaikan kesehatan sendiri. Kalau kamu sakit, siapa yang ngerasain? Kamu, 'kan? Siapa nanti yang susah? Ya, aku."
Celotehan Ivan barusan, hanya ditanggapi dengan lirikan oleh Vanny. Kepala perempuan itu lantas menggeleng, tanda menolak.
Mengehela napas, Ivan meraih jemari Vanny. "Makan, ya?" bujuknya yang kembali mendapat jawaban serupa. "Padahal aku udah masak khusus buat kamu, lho."
"Nggak laper, Van." Akhirnya, Vanny menjawab. Suaranya serak, nyaris seperti tidak keluar.
"Nggak juga harus nunggu lapar 'kan, baru makan?" tanya Ivan yang tengah menatap Vanny dengan sebelah alis dinaikkan.
Vanny yang juga tengah menatap sang suami, kembali menggelengkan kepala. "Nggak nafsu," katanya lirih.
"Aku suapin, ya?" tawar Ivan belum menyerah.
Lagi, Vanny menggeleng. "Emang aku anak kecil?"
Ivan tersenyum miring. "Iya. Mirip anak kecil kalau lagi begini," sahut laki-laki itu asal ceplos.
Mendengar jawaban sang suami, ekspresi Vanny tetap tidak berubah. Sendu. "Nanti aja, ya?"
"Nanti masuk angin, sayang."
Dan seketika, tubuh Vanny menegang dengan bulu kuduk yang entah kenapa meremang. Seakan-akan baru saja bertatap wajah dengan setan. Padahal, suaminya hanya memanggil dengan panggilan yang digunakan oleh suami istri pada umumnya. Tapi, mendengar kata 'sayang' keluar dari lisan seseorang yang sejujurnya masih asing di dalam kehidupannya, membuat telinga Vanny turut merasa asing dengan panggilan tersebut. Karena, dia dan Ivan memang tidak sedekat itu untuk terbiasa memanggil dengan panggilan sayang. Bisa dibilang, ini kali pertama Ivan memanggilnya 'sayang'.
•••••~WhiteRose~•••••
Up up up
Voment-nya jangan lupa, yaaa😊
Salam hangat,
RosIta
KalBar, 14 Nov '20
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro