Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Thirty

"Congratulation, sayang!"

Satu pelukan diberikan Ivan kepada Vanny yang baru saja menggunting pita grand opening cabang kedai barunya. Kecupan singkat tidak lupa ia layangkan di kening sang istri.

Buket bunga mawar putih kesukaan Vanny yang lumayan cukup besar diberikan Ivan sebagai apresiasi atas semakin luasnya cabang usaha yang istrinya dirikan.

Apa yang keduanya lakukan berhasil membuat para tamu yang hadir memekik tertahan. Terbawa suasana akan keromantisan pasangan suami istri yang hari ini menjadi pemeran utama.

"Selamat yaaa sahabat terbaikku!" Davina tidak mau kalah, turut memberikan pelukan ucapan tanda selamat kepada sang sahabat. "Bahagia selalu yaaa, calon bunda dan baby-nya," ujar Davina dengan binar kebahagiaan di matanya.

Senyuman Vanny merekah lebar. Bersyukur acara yang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari berjalan dengan lancar tanpa kendala berarti. Bertambah bahagia, karena ayah dan mertuanya turut menghadiri acara pada hari ini. Juga beberapa rekan bisnis yang telah menjadi costumer tetap di kedainya.

Mengembuskan napas lega, Vannya lantas menatap sang suami yang tengah merangkulnya mesra. "Thank you so much. Ini semua berkat kamu," katanya kemudian.

Tersenyum tipis, Ivan menyahut, "anything for you, sayang. Karena kamu, kalian, merupakan prioritas utamaku." ujarnya sambil mengusap perut Vanny.

Seketika, perasaan Vanny menghangat. Ivan sudah jauh berubah dari yang dulu. Semua dimulai sejak Vanny mengandung. Hubungan keduanya kian rapat. Namun, tidak menutup kemungkinan jika ada celah yang dapat membuat cicit badai menyelinap.

"Menantu Mama emang the best!" Nina mengacungkan dua jempol sambil setelahnya mengusap lengan atas Vanny. Senyumnya merekah tulus. Membuat Vanny merasa amat disayangi. Membuat hati merasakan kehangatan kasih sayang seorang ibu yang sudah lama pergi.

"Makasih, Ma. Ini juga 'kan, berkat doa Mama," sahut Vanny membalas.

Perlahan, Vanny akhirnya bisa membiasakan diri berada di kerasnya lingkungan keluarga Whitelaw. Untuk sampai pada titik sekarang, ia telah melewati cukup banyak rintangan.

Tanpa sengaja, ekor mata Vanny menangkap sosok sang ayah yang tengah duduk di sudut kedai sembari menatap ke luar jendela.

"Hampiri sana!"

Vanny tersentak, saat bahunya ditepuk oleh seseorang yang tidak lain adalah suaminya. Menatap Ivan, dengan rasa ragu di hati, Vanny akhirnya menghampiri sang ayah.

Derit kursi yang ditarik, mau tidak mau menarik perhatian Aiwin. Pria paruh baya yang seri mukanya menghilang belakangan ini itu menoleh ke arah depan. Mendapati anak sulungnya yang sudah duduk di kursi, dengan sedikit paksaan Aiwin mengulas senyum. "Vanny," gumam Aiwin.

"Papa," sapa Vanny yang disambut senyum kecil oleh Aiwin.

Netra Aiwin berkeliaran menatap setiap sudut kedai milik sang anak. "Seleramu persis seperti mamamu," kata Aiwin tiba-tiba.

Tubuh Vanny menegang sesaat. Tidak menyangka, sang ayah akan membahas tentang almarhumah ibunya. "Mama?" beo Vanny. Sekadar ingin memastikan.

Kepala Aiwin mengangguk. "Iya, mamamu." Pandangan Aiwin kemudian fokus ke arah Vanny. Menatap lekat sang anak. "Maafin Papa, ya?"

"Vanny juga minta maaf," sahut Vanny dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Dari dulu, Papa sudah tidak setuju, jika kamu dekat dengan bundamu. Dia … perempuan licik yang hebatnya bisa membuat Papa perlahan jatuh cinta kembali."

Vanny memilih bungkam. Memasang telinga, siap mendengarkan apa yang akan ayahnya ucapkan beberapa waktu ke depan. Beruntung, suasana di sekitar tempat mereka duduk sangat sepi. Nyaris tidak ada tamu yang mengambil tempat duduk di pojok itu.

"Tapi, niat Papa untuk menjaga kamu malah berakhir dengan langkah yang salah. Bukannya melindungi, tanpa sadar Papa malah menyakiti kamu." Mata Aiwin memerah. Ada genangan air di pelupuk matanya yang siap tumpah kapan pun. "Maafin Papa, Vanny," lirih Aiwin sembari menunduk. "Papa berdosa. Papa sudah lalai menjaga kamu. Hukum saja Papa, Vanny …."

Beranjak dari duduknya, Vanny menghampiri sang ayah. Mendekap Aiwin, sedetik kemudian tangisnya pecah. "Papa nggak salah. Vanny nggak pernah marah kok, sama Papa," bisik perempuan itu dengan air mata berurai.

Sama sekali Vanny tidak menyangka, jika apa yang menjadi prasangkanya selama ini salah. Aiwin bukan tidak mengacuhnya karena benci, tapi karena niat baik yang dilapisi minset yang salah. Selama ini, Vanny sudah keliru dalam menilai sang ayah.

•••••

Rintik demi rintik air hujan mulai turun membasahi bumi. Dengan paksa menarik langkah sepasang manusia untuk segera beranjak dari samping sebuah pusara. "Kita balik dulu, ya? Nanti kalau ada waktu luang, kita bakal ke sini lagi … sama ponakan lo." Begitu kata Vanny sebelum benar-benar meninggalkan pusara adik tirinya, Viany Rosana bersama sang suami.

Keduanya berjalan menuju mobil yang diparkir tidak jauh dari area pemakaman umum.

"Ke tempat Bunda?" tanya Ivan seraya menginjak pedal gas.

Anggukan Vanny menjadi jawaban. Perempuan itu menoleh, saat jemarinya digenggam Ivan. Tersenyum, Vanny menyandarkan kepalanya ke lengan atas sang suami. Mencoba mendamaikan gejolak di dalam hati.

Sekitar dua puluh menit kemudian, keduanya sampai di tempat tujuan. Lalu lalang orang-orang tidak jarang membuat Vanny merapatkan diri ke arah Ivan. Bukan karena apa, takut saja jika sampai diganggu dan berakhir dengan dirinya yang menangis persis seperti saat kali pertama kunjungan mereka.

Langkah keduanya berhenti tidak jauh dari sebuah brankar di dalam salah satu dari banyaknya ruangan di gedung bernama rumah sakit jiwa tersebut. Menatap sendu sesosok wanita yang tengah tertawa di atas brankar dengan beberapa barang di depannya.

"Bunda," lirih Vanny yang perlahan mendekat. Sayangnya, langkah perempuan itu langsung ditahan Ivan.

"Ingat perjanjian kita, Vanny," bisik Ivan.

Netra Vanny langsung melirik kanan kiri, sebelum mengembuskan napas pelan.

Ya, hanya cukup sampai di sini ia bisa melepas rindu kepada sang ibu. Nina, wanita paruh baya itu terpaksa dirawat di rumah sakit jiwa pasca perusahaan sang suami yang dinyatakan gulung tikar akibat kesalahannya sendiri yang hampir membunuh Vanny. Melanggar kesepatakan antara Aiwin dan Ivan.

Vanny tidak bisa melakukan apa pun, karena mungkin ini yang terbaik. Menyerahkan butik warisan almarhumah ibunya untuk dikelola sang ayah. Yang itu pun, melalui debat bersama sang suami yang sudah terlanjur emosi atas perlakuan keluarganya.

Perlahan, waktu membuat Vanny tumbuh berubah. Bukan lagi sosok perempuan lemah yang bisa ditindas seperti dulu, namun seorang Nyonya Besar yang telah kenyang menelan asin, pahit, manis lika-liku kehidupan.

Setelah apa yang dilalui selama ini, akhirnya Vanny Roseanna Whitelaw dapat menyecap bahagia bersama keluarga kecilnya. Bersama sang suami, Abhivandya Whitelaw. Juga berdamai dengan sang ayah, Aiwin Dhananjaya. Belum lagi, hubungannya dengan Grady Whitelaw semakin dekat. Nyaris mendekati kedekatan antara Vanny dan Arshinta Whitelaw.

•••••~WhiteRose~•••••

~~~•TAMAT•~~~

Up Up Up
Up terakhir di lapak iniii😙

Terima kasih banyak saya ucapkan pertama-tama untuk Tuhan yang Maha Esa.
Kemudian, kepada Redaksi_Athena yg telah memberikan saya kesempatan untuk menuangkan isi pikiran hasil imajinasi selam satu bulan ini.
Tidak terlupa, ucapan terima kasih saya berikan untuk readers  yg telah setia mengikuti kisah CoupleVan dari awal hingga akhir.

YUK, yg sudah kelar baca story coupleVan, mampir ke lapak Author yg lain😉 Dijamin lebih bikin greget dari yg ini😚

Salam hangat,
RosIta

Kalimntan Barat, 30 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro