Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Thirteen

Sudah hampir satu jam, tapi isakan itu tetap terus keluar tanpa henti. Menyayat hati siapa pun yang mendengarnya. Begitu memilukan, hingga menusuk relung batin.

Sebuah tangan setia mengusap punggung bergetarnya sejak pertama kali Vanny masuk ke dalam rengkuhan si empunya tubuh. Mendekap hangat penuh kasih sang istri.

Setelah berbagai jurus rayuan dilayangkan Ivan, akhirnya Vanny mau juga memasukkan sesuap dua suap makan malam yang Ivan bawa ke dalam perutnya yang memang sudah lumayan perih akibat telat makan. Setelahnya, perlahan curahan hati terlontar dari bibir Vanny yang terus bergetar sepanjang cerita mengalir. Sampai akhirnya pertahanan perempuan itu benar-benar runtuh total. Di saat itu juga, Ivan menarik tubuh Vanny masuk ke dalam pelukannya. Menenangkan sang istri yang nampak sangat kacau. Ia baru tahu, jika Vanny se-sensitif ini. Hati wanitanya benar-benar lembut sekaligus rapuh. Harus dijaga dengan sangat hati-hati.

Mendengar isakan Vanny yang belum juga mereda, hati Ivan terasa semakin dicubit. Ngilu. Entah bagaimana bisa. Mungkinkan perlahan benih cinta itu tumbuh? Atau apa yang sekarang ia rasakan, hanya sebatas rasa iba semata?

"Aku ngerasa jahat banget, Van …." Lagi-lagi, kalimat itu yang meluncur dari bibir sang kekasih.

"Kamu nggak jahat, Van. Kamu hanya menyampaikan apa isi hati kamu. Dan setiap orang berhak untuk berargumen. Iya, 'kan?" Sebisa mungkin, Ivan menanggapi racauan Vanny dengan bijak. Tanpa memihak siapa pun. Ia tidak mau, kejadian kemarin terulang kembali.

"Tapi, Papa marahin aku kemarin. Dia pasti berpikir kalau aku egois. Aku jahat, Van. Aku jahat …."

Rahang Ivan mengeras. Ia benar-benar tidak sanggup mendengar istrinya melirih seperti ini. Tidak. "Stop it, Van. Calm down, okay?" Ivan ingin mengurai pelukan. Sayang, Vanny menahan.

"Aku jahat, Van. Aku jahat. Aku hanya aib di keluargaku. Dan aku … aku nggak mau jadi aib di keluargamu juga."

Secara paksa, Ivan melepas pelukan. Menatap Vanny tajam. "Aoa maksud kamu?! Aib? Omong kosong apa itu, Vanny?"

Vanny menunduk. Meremas ujung bajunya dengan bibir yang terus mengeluarkan isakan. "Ivan … kamu sendiri tau, orang-orang sama sekali tidak mengetahui siapa aku. Yang mereka tau, putri dari Tuan Dhananjaya hanya Via. Sedangkan aku … aku … aku seumpama aib yang pantang diperlihatkan," racau Vanny tersendat-sendat.

Memejamkan mata, Ivan menarik napas panjang dan mengembuskan kasar kemudian. "Pikiran kamu lagi kacau. Sekarang, mending kamu istirahat, ya?"

"Kamu juga berpikir gitu, 'kan?"

Ivan sudah mulai berjalan keluar, saat suara Vanny kembali terdengar. "Never," sahut laki-laki itu seraya menghentikan langkahnya. "Nyonya Whitelaw bukan lah aib. Di mana pun itu." Setelah mengatakan itu, Ivan melenggang keluar. Meninggalkan Vanny sendirian dengan perasaan yang kian berkecamuk.

•••••

Pekerjaan Vanny menumpuk. Itu sebuah kenyataan. Sayangnya, mood perempuan itu terlalu kacau untuk sekadar menyelesaikan satu per satu pekerjaannya, sehingga Aini yang mengambil alih hampir semuanya. Itu pun, atas paksaan dari suaminya. Dalam hal ini, Vanny berterima kasih kepada Ivan yang sudah memberikannya asisten pribadi. Sekarang, baru Vanny sadari, kalau terkadang, tidak semua hal bisa ia lakukan sendirian. Untuk beberapa hal, ia memerlukan bantuan dari orang lain. Terlebih, manusia merupakan makhluk sosial yang tentu perlu manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya.

Tidak jauh berbeda dengan semalam, Vanny masih saja mendekam di dalam kamar. Bedanya, sekarang dia sudah mulai melakukan kembali beberapa aktivitas seperti biasanya. Lainnya, dikerjakan oleh asisten baik rumah tangga maupun pribadi. Belum lagi, Ivan sudah memperingati Vanny untuk tidak bekerja dulu. Baik mengerjakan pekerjaan rumah ataupun pekerjaan yang berhubungan dengan kedai.

"Aku ke kedai aja, ya? Ngecek doang, kok. Janji." Vanny kembali meminta izin, saat Ivan baru saja keluar dari kamar mandi.

"Mending kamu tenangkan dulu perasaan dan pikiran kamu." Ivan menyahut, sebelum menghilang di balik walk in closet.

"Aku udah nggak apa-apa, kok." Lagi, Vanny berusaha meyakinkan.

"Katamu. Kata orang?" sahut Ivan dari dalam walk in closet. "Mata sembab banget, wajah pucat, muka kusut. Apa kata karyawan sama customer yang melihat keadaan kamu  kayak begitu, nanti?"

Vanny terdiam. Tidak lagi menyahut atau berusaha membujuk Ivan agar memberikannya izin keluar. Karena apa yang baru saja Ivan katakan, benar.

"Kalau mau, kamu ikut aja ke kantor--"

"Sama aja bohong," sela Vanny sebelum Ivan sempat menyelesaikan kalimatnya. "Sama aja aku nunjukin ke publik, kalau aku lagi nggak baik-baik aja. Nanti keluar, deh, berita tentang 'Nyonya Whitelaw yang diduga tengah terlibat suatu masalah besar'."

Bibir Ivan melengkungkan senyuman tipis. Jika jawabannya sudah seperti ini, bisa dipastikan Vanny menuruti perintahnya untuk tidak melakukan aktivitas apa pun di luar.

"Istri pinter," puji Ivan kemudian.

Vanny hanya mencebikkan bibirnya saat mendengar pujian dari sang suami. Tiba-tiba, ia teringat akan sesuatu. "Van …." Vanny menatap Ivan yang tengah memasang dasi di depan cermin rias.

"Hm?"

"Soal semalam … aku--"

"Jangan dibahas." Tidak ingin merusak hari, Ivan segera menyela. "Kita bicarain nanti-nanti saja, okay? Aku ada meeting penting dua jam lagi."

Mau tidak mau, kepala Vanny mengangguk. Kedua kelopak matanya terpejam otomatis, saat Ivan melayangkan kecupan di dahinya. Ini kali yang ketiga. Dan gelenyar aneh di dalam dirinya, masih memberikan respon yang berlebihan.

Intensitas pertemuan mereka yang bisa dikatakan jarang, membuat hubungan mereka tidak banyak mengalami perkembangan. Mungkin karena itu juga, reaksi tubuhnya terkadang cukup berlebihan, saat bersentuhan kulit dengan laki-laki itu atau menerima perhatian khusus dari Ivan. Apalagi  di beberapa waktu, Ivan bisa menjelma menjadi perayu ulung. Hati Vanny terkadang tidak sepenuhnya sanggup untuk hal itu. Untuk menerima apa-apa saja yang Ivan berikan, yang kalau kata orang di luar sana, tanda sayang suami atau salah satu cara suami dalam hal menyenangkan istrinya. Untuk Ivan yang keturunan sultan, apa yang selama ini ia berikan rasanya belum ada apa-apanya. Vanny jadi penasaran, apakah kalau Vanny meminta pulau juga akan diberikan?

"Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku. Paham?" Sebelum benar-benar pergi, Ivan menyempatkan diri memberi pesan singkat yang lebih ke sebuah perintah kepada Vanny yang hanya bisa mengangguk patuh.

Memangnya ia bisa apa?
Menentang pun rasanya percuma. Karena bukan Ivan namanya, kalau menyerah begitu saja. Isi kepala laki-laki itu dipenuhi dengan berbagai akal yang bisa dijadikan cara ampuh untuk membuat seseorang menuruti keinginannya. Bisa juga sebagai pematah argumen ciptaan logika.  Ivan memang se-mendominasi itu. Kadang-kadang, membuat aku  orang lain terpaku malu.

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Hari ini double Up, yaaa.
Mohon maaf bagi yg kemarin menanti, baru bisa di-post hari ini.

Jika ada yg kurang, langsung komen aja, yaaa😊

Salam hangat,
RosIta

Kalimantan Barat, 14 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro