Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Nineteen

Plak!

"Papa?!"

Semua yang berada di dalam ruang rawat Via memekik kaget. Sama sekali tidak menyangka, tangan Aiwin akan seringan itu. Nina langsung mendekati suaminya, mengusap lengan Aiwin yang wajahnya sudah berubah merah padam. Sorot mata pria paruh baya itu tajam menghunus ke arah Via yang tertunduk dengan bahu bergetar di atas brankar. Tangannya mengepal erat, hingga membuat buku-buku jari Aiwin memutih.

Di depan sana, Vanny mendekat. Merengkuh tubuh rapuh sang adik dengan penuh kasih sayang. Awalnya, Via ingin berontak. Namun, tenaganya yang sudah benar-benar terkuras, membuatnya dengan amat terpaksa memilih terdiam dalam kesedihan hati dan menikmati rasa dari setiap luka.

"Anak nggak tau diri!" hardik Aiwin dengan napas memburu. "Jangan pernah injakkan kaki kamu ke rumah saya lagi!" Aiwin melepaskan tangan istrinya. "Semua fasilitas kamu, saya cabut!" Setelah mengatakan hal tersebut, Aiwin melenggang keluar.

"Pa!" seru Nina yang sudah berurai air mata. Ditatapnya Via dengan tatapan kecewa. "Maafin Bunda yang udah gagal mendidik kamu," lirih Nina sebelum menyusul sang suami. Membawa serta luka di hati akibat kebodohan yang anaknya lakukan.

Tangis Via semakin pecah kala pintu tertutup. Penyesalan kian merebak di rongga hatinya. Kilas balik tentang kejadian yang paling ia benci menari-nari pelupuk mata. "Berengsek!" umpat Via di sela raungan tangisnya.

Vanny semakin mengeratkan pelukannya. Mencoba menyalurkan kekuatan lewat rengkuhan yang baru disadari, merupakan pelukan pertama mereka. "Ssttt … tenang, Vi."

"Gue harus minta pertanggung jawaban laki-laki itu!"

Netra Vanny melirik sang suami yang ternyata tengah menatap mereka. Ivan mengedikkan bahunya. Laki-laki itu juga tidak tahu, apa yang seharusnya ia lakukan sekarang, selain meminta kaki tangannya mencari keberadaan laki-laki bernama Vero yang dimaksud Via. Laki-laki yang sudah berbuat dan mencoba lepas tangan begitu saja. Setidaknya, Ivan melakukan perannya sebagai seorang kakak ipar terhadap adik iparnya. Tidak sedikit pun ada niat di hati, melakukan hal tersebut karena rasa yang masih tertinggal. Secuil pun, tidak.

Tangan Vanny mengusap punggung Via yang semakin bergetar. Mengeratkan dekapannya kepada Via yang tangisnya kian pecah. Mata Vanny memerah, hatinya turut teriris menyaksikan ujian yang menimpa sang adik. Dalam hati, lirihan do'a Vanny mengalir, berharap kebahagiaan segera mendekap kehidupan Via.

•••••

Tok! Tok! Tok!

Vanny menarik napas panjang sebelum memutar handle pintu ruang kerja sang ayah. Semalaman, ia berusaha membulatkan tekad untuk menemui ayahnya. Berbicara perihal masalah Via. Sekalipun tidak ada yang meminta, termasuk Via sendiri, Vanny tetap saja merasa memiliki kewajiban sebagai seorang kakak. Meski selama ini Via selalu bersikap semau hati perempuan itu terhadap Vanny. Semua itu, sungguh sama sekali tidak membuat keputusan Vanny goyah. Jika Via menjadi api, maka Vanny harus bisa menjadi air.

Vanny tidak berharap setelah apa yang ia lakukan, Via menjadi luluh dan mau berdamai akan hubungan mereka. Secuil harap di dalam benaknya hanya agar usai badai ujian ini, Via bisa berubah. Memperbaiki kerusakan yang ia lakukan di masa lampau demi masa depan.

Ceklek!

"Pa …." Kaki Vanny melangkah perlahan mendekati meja kerja ayahnya.

Aiwin duduk di kursi kebesarannya menghadap jendela, sehingga Vanny belum bisa melihat ekspresi cinta pertamanya itu.

"Ada apa, Van?" Aiwin bertanya tanpa membalikkan kursi. Dari suara yang keluar, Vanny langsung dapat mengetahui, jika pria paruh baya itu tengah tidak baik-baik saja.

"Vanny mau bicara soal … masalah Via." Untuk beberapa saat, Vanny menahan napas usai menyampaikan tujuannya datang menemui sang ayah.

"Keluar!" usir Aiwin menanggapi Vanny. Kondisi hatinya belum membaik. Jika Vanny tetap bersikeras ingin membicarakan masalah anak keduanya, Aiwin tidak dapat berjanji, kalau akhir dari pembicaraan mereka nanti akan bisa dikatakan baik. Apalagi, ia yang memiliki sifat tempramental. Jangankan untuk pembicaraan super sensitif seperti ini, pembicaraan ringan saja terkadang diakhiri dengan kepala yang bak mengepulkan asap.

Vanny mengembuskan napasnya pelan, kemudian duduk di kursi depan meja kerja ayahnya. "Vanny lihat di depan wartawan ramai banget. Papa nggak ada mau ambil tindakan apa, gitu?

Perlahan, kursi Aiwin diputar oleh si empunya. Tatapan pria paruh baya itu langsung bertemu dengan manik mata milik Vanny. Sorotnya yang dingin, berhasil membuat bulu kuduk Vanny meremang. Benar ciri khas ayahnya. "Seperhatian itu kamu sama adik tirimu?"

Kening Vanny mengernyit. Tidak paham maksud pertanyaan ayahnya. "Yaaa, perhatian lah, Pa. Via 'kan adik Vanny," sahut Vanny.

Sebelah alis Aiwin terangkat. Menatap Vanny dengan intens. "Adik tiri maksud kamu?"

Dan Vanny semakin tidak mengerti, ke mana arah pembicaraan ini sebenarnya. Entah kenapa, ia seolah melihat sisi lain dari Aiwin. "Maksud Papa apa, sih?" Vanny bertanya heran. "Iya, Via adik tiri Vanny. Terus, kenapa memangnya kalau Vanny peduli, kalau Vanny perhatian, kalau Vanny khawatir sama dia? Apa salah?" tanya Vanny beruntun.

Aiwin diam sesaat. Matanya memerah. Entah karena menahan emosi berjenis amarah atau kesedihan. Sepersekian detik kemudian, pria itu memalingkan wajahnya ke arah lain. Ke mana saja, asal tidak bertemu tatap dengan sang anak. "Keluar!" titahnya tanpa memiliki niat untuk menjawab pertanyaan sang putri.

"Pa--"

"Keluar, Vanny Roseanna!"

Tubuh Vanny menegang. Jika sudah nama lengkapnya yang Aiwin ucapkan, maka itu berarti, pria berstatus sebagai ayahnya ini benar-benar tidak ingin dibantah. Oleh karena itu, dengan gerakan kaku nyaris seperti robot, Vanny mengayun langkah keluar dari ruang kerja pribadi milik Aiwin Dhananjaya, ayah kandungnya.

Di tempatnya, Aiwin mengembuskan kasar napas tepat setelah pintu ruang kerjanya tertutup kembali. "Andai kamu tau, Vanny …," lirihnya dengan air mata yang mulai merebak dari kedua pelupuk.

Salah satu figura kecil yang terpajang di sudut meja ia raih. Potretnya, almarhum sang istri, dan Vanny yang saat itu masih kecil berhasil membuat isakan lolos dari mulut pria paruh baya yang kesehariannya menunjukkan ekspresi dingin bak 'tak tersentuh. "Maafin aku, Anna. Maaf," ujarnya persis berbisik sembari mendekap figura tersebut. Dan setelahnya, ruangan dengan nuansa eropa itu dipenuhi suara tangis.

Sayang sekali, Aiwin tidak menyadari, jika ada sesosok makhluk hidup berjenis manusia yang turut meluruhkan air mata di depan pintu ruang kerjanya. Seolah paham, sedalam apa rasa sakit yang tengah Aiwin derita. Dadanya sesak. Semua amanah yang dipegang, nyaris tidak sanggup ia pegang lagi. Keadaan, seakan-akan memaksanya untuk melepas tanggung jawab yang seharusnya tidak ia abaikan begitu saja.

Penyesalan, kesedihan, juga amarah berbaur menjadi satu pada hari itu. Hari di mana beribu pertanyaan kian menampakkan diri ke permukaan.

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

See you next part😉

Salam hangat,
RosIta

KalBar, 21 Nov 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro