
White House
Apa yang terbesit di kepala kalian, ketika kalian mendapat rumah baru secara cuma-cuma, besar dan megah dengan segala fasilitas yang lengkap di dalamnya? Namun kalian tak tahu siapa yang memberi dan mengapa harus kalian yang mendapatkannya?
Saran ku, jangan pernah kalian tempati rumah pemberian seseorang yang belum kalian tahu jelas siapa orangnya. Atau nasib kalian akan berakhir sama seperti ku.
4 April 2004, rumah megah bercat putih bersih pemberian seseorang. Kondisinya bagus, halamannya tertata rapi, meski ada sedikit bagian sudut taman yang ditumbuhi semak belukar tinggi. Berdiri dihimpit oleh dua rumah kosong di sebelahnya. Tak ada tetangga, warga bilang dua tetangga mereka sengaja pindah karena suatu hal yang mengganjal dari rumah putih itu.
Banyak sekali kejadian aneh, mulai dari suara alunan piano tengah malam disaat semua orang terridur lelap. Lilin yang tak pernah padam walaupun malam berganti siang dan seterusnya. Suara bantingan kursi atau meja yang terdengar, sampai rintihan kesakitan anak kecil entah dari mana sumber suaranya. Serta bau anyir darah setiap orang-orang melintasi rumah itu di malam hari.
Semua warga merasa takut, semua orang menjauhi rumah itu. Lalu, kenapa aku harus mendapatkan rumah putih ini?
Dari luar, rumah megah itu nampak biasa saja. Sama persis seperti rumah-rumah lainnya. Kondisi di dalam rumahpun normal. Tidak ada hal aneh, jadi ku tepis semua isu tak mengenakkan yang warga sekitar buat demi menjauhkan ku dengan rumah ini. Lagipula, aura mistis yang mengelilingi sekitar rumah malah membuat ku tertarik untuk tahu lebih jauh.
Dan, malam harinya dimulailah malam pertama bagi penghuni baru. Ronde pertama dimulai di ruang dapur. Saat di mana aku merasakan hawa dingin menyentuh bagian betis kanan yang ku biarkan terbuka.
Ku abaikan sejenak, mungkin hanya angin dari mesin pendingin. Tangan ku kembali sibuk menguliti bagian kulit apel yang berwarna merah. Memotongnya beberapa bagian dan meletakkannya di piring. Rasa dingin itu menghilang, awalnya aku berpikir demikian. Hingga sebuah tepukan yang cukup keras mendarat di betis kanan.
Aku reflek menarik betis ku ke atas kursi. Memerah, tepukan tadi bukanlah sebuah imajinasi. Ah sudahlah, lagipula tepukan seperti ini tak akan membuat ku mati. Anggap saja ini adalah salam pembuka.
Lagi-lagi ku tepis pikiran negatif yang sempat melintas. Ku dongakkan kembali kepala, menatap jam dinding yang dipasang tepat di atas pintu masuk ruang dapur. Masih pukul 10 malam, tak ada salahnya jika menonton televisi.
Televisi berukuran besar menyala, aku duduk di sofa sambil memeluk sebuah bantal. Rasanya begitu hening, hening yang membuat dada ku terasa sesak untuk bernafas. Jam menunjukkan pukul 1 malam. Perlahan, kedua kelopak mata turun menutup mata ku. Hingga suara itu muncul memecah keheningan, suara tawa anak kecil di sebelah tempat duduk ku.
"Acaranya menyenangkan ya, kakak?"
Bocah laki-laki berumur sekitar 5 tahun, duduk dan menatap ku. Bukan itu yang membuat ku ngeri, namun... Wajahnya yang hancur setengah, terbakar. Matanya membusuk di bagian kanan. Sedangkan yang satunya hilang entah ke mana. Pipi-pipinya terkuliti, terdapat belatung di sana. Sedangkan tubuhnya penuh lebam, sekitar tangannya penuh tusukan. Apa yang terjadi pada bocah ini semasa dia hidup?
"Kakak kenapa diam?"
Dia terus mendekati ku yang setengah mati manahan napas, bergerak menjauh hingga jatuh dari sofa. Suara ini tidak dapat keluar, tercekat di sana. Apakah yang dibicarakan warga sekitar itu benar? Atau ini hanyalah mimpi?
"Kakak."
"Pergi!"
"Apa yang kakak maksud? Kakak kemari untuk bermain dengan ku bukan? Kakak kemari karena perintah ayah bukan? Aku sudah tidak sanggup menjaga ibu sendirian. Dia terlalu kejam pada ku. Kakak kemari untuk bermain dengan ku bukan? Ibu ku pergi menari di luar kemudian benda beroda itu menggilis tubuhnya. Kakak kemari untuk bermain dengan ku bukan? Kakak kemari untuk menghilangkan rasa bosan ku bukan? Ayah meminta ku menjaga ibu tapi aku selalu kelelahan menemaninya. Kakak kemari untuk membatu ku bukan? Lalu kenapa kakak meminta ku pergi? Apakah kakak ingin mengambil rumah ini dari ku? Tidak! Tidak akan! Ibu, ayah bahkan tidak ada yang mau bermain bersama ku. Rumah ini adalah tempat bermain ku! Tidak ada yang boleh mengambilnya."
Anak kecil di hadapan ku berubah histeris. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Apa yang sebenarnya terjadi sebelum dia meninggal? Kedua tangannya memegang kesal kepala kecilnya. Dia berteriak sekuat tenaga seolah menahan kesakitan. Dan kemudian berhenti, dia menangis.
"Apa ayah dan ibu menyayangi ku? Apakah aku mendapat cinta mereka? Kenapa mereka tidak pernah bermain dengan ku? Mengapa mereka tidak pernah menggenggam tangan ku? Mengapa mereka bersikap dingin dan terus membuatku kesakitan?"
Anak itu kembali berkata hal-hal aneh sambil menangis. Dia duduk, berjongkok di depan ku. Wajahnya ia sembunyikan di antara pelukan tangannya pada kaki. Hampir tiba fajar, 3 jam lagi. Suara kokok ayam jantan berbunyi nyaring. Entah dari mana asalnya, yang ku tahu di sekitar sini tidak ada warga yang memelihara ayam jantan.
Sedikit demi sedikit sosok bocah itu hilang. Tubuhnya hilang, namun tangisannya masih dapat ku dengar. Tangisnya berpindah, menaiki tangga sebelah, berjalan menuju ke sebuah ruangan. Entah alasan apa yang membuat kaki ku berjalan mengikuti arah tangisan itu.
Semakin keras, semakin jelas. Kini aku tiba di depan sebuah pintu besar berwarna coklat tua. Aku tahu pintu ini, satu-satunya ruangan yang tidak cocok dengan semua kunci yang ku miliki. Aku diam mematung, pintunya terbuka meski hanya sedikit.
Bulu kuduk ku meremang, debaran jantung yang lebih cepat dari biasanya, keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Apakah aku harus masuk? Ya, demi melihat apa yang ada di dalam sana. Dan mengungkap apa yang sebenarnya terjadi pada rumah ini.
Belum sempurna tangan ku menyentuh gagang pintu, alunan dari sebuah piano memasuki gendang telinga. Musik yang memilukan hati siapapun yang mendengarnya. Sedikit ragu, ku dorong pintu itu kuat-kuat. Dan di sana, ku dapati pemandangan yang tidak akan pernah bisa ku hapus dalam memori ini.
Bocah laki-laki itu, piano, ruang perpustakaan, sebuah lilin yang menyala, dan sebongkah tempurung kepala wanita yang sudah berhamburan otak dari si pemilik di pangkuan bocah laki-laki itu.
Mulut ku menganga, mata membulat tak berkedip sedikitpun, kaki-kaki ku melemas, semua anggota tubuh ku terasa kaku dan mati. Apa maksudnya ini?
"Oh, hai kakak. Mari kita bermain!"
***
.
.
.
.
.
theWWG
#AudisiOnlineTheWWG
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro