Time Travel
Broken home, 55% keluarga kecil di dunia pastilah mengalami kejadian semacam ini. Keluarga yang kacau, tidak harmonis, dan pada akhirnya anak-anak yang akan menjadi sasaran.
Sebuah piring dan gelas kaca menimpa tempurung kepalanya keras. Jatuh ke lantai lalu berubah menjadi kepingan beling, cairan merah mengucur perlahan dari dahinya. "Kalian cari makan sendiri! Memang kalian pikir aku ini apa?! Mesin penghasil uang?!"
Pria bertubuh jangkung, sedikit rambut halus yang tumbuh di wajah menatap geram tiga orang di hadapannya. Begitu sentimen, dan pemalas. Bahkan rasanya, tangan kecil milik anak laki-laki di belakang punggung wanita itu, ingin dia layangkan pada wajah pria dihadapan mereka.
"Andai waktu bisa diputar. Aku ingin kembali, ke masa di mana mereka berdua akan bertemu lalu memisahkannya sebelum bersatu."
***
Tik tok tik tok
Bunyi detak dari jam dinding hitam bergema ke seluruh ruangan. Mempersempit, memenuhi gendang telinga. Laki laki berumur sekitar 20 tahun terduduk lesu di pinggiran kasur.
Rambutnya acak acakan tak karuan, seolah baru saja tertimpa angin topan. Baju biru gelap yang basah oleh keringat, seolah dia baru saja melakukan olahraga pagi yang cukup berat. Nafasnya saling memburu, wajah tegang dengan tangan yang masih gemetaran.
Semua itu bukan mimpi.
Mencoba menetralisir udara dalam ruangan berukuran 3x3 meter persegi. Dia melihat sekitar ruangan. Semua barangnya masih sama, lemari, tempat tidur, meja belajar. Mendekati jendela, dia membuka tirai putih yang menghalangi cahaya masuk.
Ya, dia bisa kembali.
"Ku pikir sudah terjebak di masa itu, ternyata aku masih bisa kembali." Senyumnya sambil memperhatikan jalanan depan rumah yang lengang dari balik jendela.
Tiga jam yang lalu...
Bukan, lebih tepatnya tiga minggu yang lalu dia pergi ke sebuah masa. Masa di mana seseorang yang ingin sekali dia buat bahagia akan bertemu dengan pengacau kehidupan mereka.
Rabu, hari di mana semua bermula. Tepat pukul 10 pagi, sepulang dari matakuliah paginya. Dia melihat wanita yang paling disayangi terduduk lemas di sofa. Di sebelahnya, seorang gadis berusia 17 tahun duduk menangis, sambil menggenggam jemari wanita itu.
Ada cairan merah yang mengalir perlahan dari dahi wanita itu. Tatapan yang begitu sayu, dan tertahan emosi. Sudah pasti orang itu datang kemari lagi.
"Nimas, orang itu datang lagi?" Laki-laki itu memastikan. Gadis yang menangis mengangguk pelan.
Hanya dengan jawaban isyarat sudah membuat emosinya memuncak. Tangan terkepal, gigi yang saling bergemelutuk. Kini usia laki-laki itu tidaklah semuda dulu. Jika waktu itu dia masih takut dan bersembunyi di belakang ibunya. Sekarang dengan badan yang setara, dia bisa membela beliau.
"Kamu mau kemana kak?" suara Nimas tidak menghentikan langkah kakinya.
"Pergi menemui pria brengsek itu, Nim."
"Hentikan kak! Lagipula dia sudah bukan siapa siapa kita lagi."
"Dia bukan siapa siapa kita, tapi selalu menghantui kita. Bolak balik ke rumah ini, seolah ini adalah rumah milik dia juga. Biarkan kakak pergi, Nimas. Akan kakak selesaikan semuanya."
Genggaman tangan Nimas terlepas dari baju kakaknya. Laki-laki itu lantas pergi, berlari bersama kemarahan. Tujuannya hanya satu, menemui pria itu dan memperingatkan untuk tidak menampakkan diri di hadapan keluarganya lagi.
Namun, niat awal berubah menjadi petaka. Dia bertemu dengan pria itu, di sebuah warung kecil di pinggil jalan. Tertawa lepas bersama teman-temannya yang sama-sama brengsek. Menggunakan uang ibu yang sudah bukan lagi istrinya untuk bersenang-senang? Pria sialan!
Satu pukulan menghantam wajah pria jangkung yang sedang tertawa tadi. Pukulan kedua, ketiga mendarat bertubi-tubi tanpa jeda. Kalap, bahkan rencana untuk berbicara baik-baik sudah hilang entah kemana.
Pria yang sudah tersungkur di lantai warung, bangun dan mendorong laki-laki itu keluar. Membalas pukulannya yang tepat merobek pelipis dan sudut bibir. Terjadi perkelahian, beruntung teman pria itu tidak ikut menghabisi. Mereka hanya bersorak dan menonton. Bertaruh bahwa pria jangkung itu yang akan memenangkan perkelahian.
Disaat itu, lima belas menit berlalu. Pukulannya mulai melemah. Pria jangkung mamanfaatkan kondisi. Dia melayangkan satu pukulan keras, membuat laki-laki itu terpental dan jatuh di aspalan jalan yang panas.
Telapak tangan, dan lengannya memerah karena benturan dengan aspal. Wajahnya lebam, bibirnya sobek. Darah segar menuruni pelipisnya pelan. Tapi, bukan hanya sampai disitu. Belum sempat dia berdiri, sebuah truk pertamina melaju cepat ke arahnya. Yang membuat dirinya hanya mematung, melihat tanpa bergerak. Telinganya tiba-tiba tuli, semua terasa gelap seketika truk itu menghempas tubuhnya.
Semua terasa gelap..
Semua orang bergerumun, mendekati jasad yang sudah tak berdaya. Entah ruh dalam tubuh itu sudah terlepas atau tidak mereka semua hanya menyaksikan tanpa ada inisiatif menolong. Beberapa saat kemudian ambulan, dan mobil polisi datang. Pria bertubuh jangkung diringkus oleh pihak berwajib sebelum menjadi bulan-bulanan warga. Sedangkan laki-laki itu dibawa pergi bersama ambulan.
Jasadnya tertidur, namun ruhnya pergi ke suatu masa. Dia terbangun di suatu padang rumput. Banyak pepohonan, semak belukar, dan sangat minim sekali rumah warga. Dimana aku?
Tunggu, bukankah tadi aku masih berkelahi dengan ayah? Dia mencoba berfikir, mengingat kejadian beberapa menit lalu.
Aku memukul wajahnya
Dia balas memukulku
Kemudian, aku terpental jauh karena satu pukulannya
Dan setelah itu....
Aku... Ditabrak oleh sebuah truk.
Satu fakta membuat mulutnya menganga tak percaya, bola mata membulat karena terkejut. Mungkinkah aku sudah mati?
"Permisi?" Suara seorang gadis dari belakang punggungnya. Reflek, ia memutar untuk memastikan satu hal. Jika dia masih belum benar-benar pergi dari dunia ini.
"Ya?"
"Maaf, apakah anda tersesat?" Gadis kepang dua di hadapannya bertanya sopan. Wajahnya ayu, bola mata yang hitam cantik, dan bibir metah jambu yang kecil. Begitu cantik untuk dipandang.
"Maaf?" Karena merasa tak direspon gadis itu menegur pelan.
"A-ah.. Ya sepertinya saya tersesat. Karena tadi saya sedang berkelahi dengan seseorang di sebuah warung, kemudian..."
"Anda? Berkelahi?"
"Y-ya? Sepertinya begitu."
"Wah itu tidak baik untuk dilakukan loh mas." sang gadis tersenyum.
Aneh, sepertinya senyuman itu sangat familiar di ingatannya. Siapa gadis ini? Pakaiannya juga sangat kuno. Namun wajahnya, seperti mirip dengan... Ku?
"Mas?"
"A-ah ya?"
"Mulai tadi bengong, ada masalah?"
"Ah tidak." ada beberapa hal yang menggerayang di pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan aneh mulai muncul.
"Maaf mbak, boleh saya tanya sesuatu?"
"Oh silahkan."
"Perkenalkan sebelumnya, nama saya Reza. Asal saya dari Kota Bahtera." Reza mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Bahtera?" si gadis tidak membalas, dia mengerukan kening seolah ada yang aneh dari ucapan Reza.
"Ya, Bahtera."
Gadis itu tertawa lepas, seperti baru saja mendengar lawakan lucu, gratis pula. "Aduh masnya, Bahtera masih desa seperti ini anda bilang kota? Hahaha, ini sangat lucu. Mas baru bangun tidur ya?"
"Desa?" kini kebingungan Reza bertambah.
"Iya desa. Oh ya, perkenalkan nama saya Lastri. Salah satu penduduk di desa yang mas sebutkan tadi. Salam kenal."
Lastri?
"Oh ya Lastri, salam kenal. Kalau boleh tahu, mengapa kamu bisa ada di tempat ini?" rasa penasaran semakin menjalari tubuhnya.
"Oh, saya baru selesai membantu ibu di pasar. Kebetulan arah rumah saya melintasi jalan ini. Dan di perjalanan saya melihat mas yang pakaiannya sedikit berbeda dan seperti orang kebingungan, karena penasaran. Saya putuskan untuk menyapa. Di sana rumah saya, kalau mas tidak ada tempat tinggal, atau belum makan malam. Mari, singgah sebentar."
Reza mengikuti arah yang Lastri tunjuk. Rumah tradisional yang atapnya masih berbentuk joglo. Warna catnya kuning sayu, dengan ukuran jendela besar berwarna senada.
Rahang Reza menegang, makin sulit rasanya mengatupkan mulut. Seolah masih tak percaya dengan tiga fakta yang memang belum jelas akuratnya.
Jika benar ini adalah masanya, mungkinkah aku sudah terpental ke masa lalu?
Ragu, namun jika memang benar ini adalah tahunnya maka dia bisa merubah segala hal yang akan terjadi kedepannya. Walaupun harus menangung resiko, dia akan terhapus dan tidak pernah dilahirkan ke bumi.
"Mbak, sekarang ini kita berada di tahun keberapa?"
"Tahun? Oh, sebingung itukah anda sampai lupa sekarang iu tahun berapa?"
"Ya."
Lastri tertawa kecil, "Sekarang ini tahun 1981, tahun di mana saa akan genap berumur 17 tahun."
Yap, semua puzzle telah tertata pada tempatnya. Gadis di sampingnya saat ini adalah wanita kuat di kehidupannya yang akan datang, tahun ini adalah tahun di mana Lastri akan menikah dengan pria brengsek bernama Juned. Dan kemudian, lahir Nimas dan aku, anak dari mereka berdua.
"Lastri!" panggilan seorang laki-laki dari jauh, suara yang sangat familiar. Reza tahu tanpa melihat, siapa pemilik suara berat nan serak.
"Oh, Juned! Aku akan segera kesana."
Tangan Lastri meraih telapak tangan milik Reza, menariknya tanpa permisi pada empunya tangan.
Sekarang, Reza tahu. Ini bukanlah sebuah kebetulan, ini adalah sebuah kesempatan yang diberikan padanya untuk merubah nasib kehidupan ibunya kelak. Memperbaiki kesalahan supaya gadis ini bisa terus tersenyum seperti sekarang.
"Ini siapa Las?" tanya Juned dengan nada tak suka.
"Oh, namanya Reza. Sepertinya dia tersesat jadi aku bawa saja kamari. Mungkin, bapak dan ibu mau memberinya atap untuk malam ini."
"Jangan membawa orang asing ke rumah mu Las. Apalagi laki-laki aing seperti dia."
"Tidak perlu khawatir, Juned. Aku rasa dia orang baik. Tak ada niatan jahat dari gurat wajahnya."
Juned kesal mendengar Lastri yang terus membela laki-laki di sampingnya saat ini. Dia menatap geram, mata tajam seperti belati yang di tusukkan langsung pada manik hitam milik Reza. Meski ditatap demikian, Reza tidak terlalu peduli, dia jadi tahu bagaimana tabi'at ayahnya di masa muda, ternyata tidaklah jauh berbeda dari yang sudah diketahui.
Lastri mempersilahkannya masuk, memberikan makanan dan minuman. Beruntungnya Reza juga diperbolehkan menginap oleh bapak yang nanti akan menjadi kakeknya. Sebenarnya, Reza telah berkata jujur. Bahwa dia adalah seseorang dari masa depan, yang kebetulan terpental ke masa itu. Namun, bapak, ibu, Lastri, dan Juned tidak mempercayainya. Mereka menganggap Reza memiliki sedikit gangguan pada mentalnya, atau tengah berbohong hal yang tidak mungkin terjadi.
Bukan Reza namanya jika dia cepat untuk menyerah. Walaupun mereka tidak percaya pada apa yang dia katakan, tidak masalah. Asalkan rencana awal yang telah ia susun berjalan lancar. Semuanya akan baik baik saja.
Seminggu sudah dia mencoba membuat Lastri menjauh dari Juned. Namun sayang, akal Juned lebih licik. Dia dengan mudah menggagalkan semua rencana Reza. Merasa terancam Lastri akan diambil oleh laki-laki itu. Malam harinya, Juned mendatangi rumah Lastri. Di depan kedua orang tua Lastri, dia melamar gadis cantik nan ayu itu.
Pipi Lastri memerah, malu dan bahagia rasanya. Teman semasa kecilnya, kini akan menjadi imam yang akan membimbingnya kelak di masa mendatang.
"Dia itu tidak baik untuk kamu Las." Reza memotong cerita Lastri. Mereka berdua ada di teras rumah, Lastri bercerita tentang kejadian saat Juned melamarnya.
"Kenapa kamu berkata seperti itu Za? Bukankah dia terlihat sempurna? Tampan, gagah, tinggi. Semua wanita di desa ini tergila-gila padanya."
"Ya, tapi dia akan berubah menjadi monster pemalas yang akan membuat hidup mu dan anak-anak mu menderita."
Lastri mengerutkan keningnya, "Apa maksud kamu Za? Bagaimana kamu tahu sesuatu yang belum pasti?"
Reza mengusap wajahnya gusar, dia bangkit dari tempatnya duduk dan berjongkok di hadapan Lastri. "Las, bukan. Calon Ibu ku, aku ini adalah calon anak mu kelak. Tiga tahun setelah pernikahan mu. Aku akan lahir. Kemudian tiga tahun berikutnya, adik perempuan ku Nimas akan lahir dari rahim mu. Aku, adalah anak mu di masa depan."
Lastri tertawa, "Lelucon kamu tidak lucu Za."
"Apa aku terlihat bercanda?"
Lastri menggeleng, tidak ada guratan kebercandaan di wajah Reza. Apakah yang dikatakan Reza benar? Apakah kehidupannya kelak tidak akan sebahagia yang dia pikirkan?
"Juned, ah tidak. Maksud ku calon sekaligus mantan ayah ku nanti adalah seorang pemalas, sentimen, dan selalu menyiksa mu. Sudah beberapa kali aku melihat mu di masa ku menangis dan terluka."
"Lalu bagaimana mungkin kamu yang di masa depan bisa berada di sini? Di masa aku belum menikah? Kamu pasti bercanda. Iya kan?"
"Tidak Las, aku tidak pernah bercanda. Sudah ku katakan saat kita pertama bertemu, aku sedang berkelahi dengan seseorang waktu itu. Dan ya, orang itu adalah Juned. Ayah ku sendiri, untuk membela mu. Kemudian, dia memukul ku sampai terpental jauh, jatuh di atas aspalan. Dan naasnya, truk pertamina menabrak tubuh ku. Entah bagaimana kabarnya tubuh ku di masa itu, mungkin jika rencana ku untuk memisahkan mu terlaksana aku akan terhapus."
"Terhapus?" bola mata Lastri melebar.
"Ya, tapi tidak masalah asalkan ibu bahagia."
Tidak menjawab, Lastri duduk terdiam. Tidak tahu harus merespon seperti apa. Sekarang banyak hal yang ia pikirkan. Antara percaya atau tidak pada perkataan Reza. "Aku butuh berfikir Za. Tolong biarkan aku sendiri."
Reza mengangguk mengerti. Dia kemudian membiarkan Lastri sendiri. Memberikan ruang sendiri untuk berfikir.
Sekitar 2 minggu Lastri mengabaikan Reza. Dia banyak diam, tidak seperti Lastri yang biasanya. Ketika berpapasan Lastri hanya berlalu tanpa bertegur sapa. Tidak nyaman, Reza merasa Lastri menghindarinya. Tapi karena apa? Reza juga ingin tahu, keputusan apa yang Lastri ambil tentang pernikahannya dengan Juned.
Dan, di akhir minggu ketiga dia terdampar di masa ibunya. Lastri dan Juned resmi melangsungkan pernikahan. Reza yang sedang membeli sebuah mangga di pasar buru-buru pergi ke rumah Juned yang terletak di toko seberang jalanan pasar. Langkahnya terhenti sebelum menyeberang. Melihat Lastri dengan kebaya putih, dan Juned duduk di hadapan penghulu membacakan khitbah.
Semua, segala usahanya terasa sia-sia. Pada kenyataannya mereka tetap bersatu. Sekuat apapun Reza, sematang apapun rencananya. Dia tidak akan pernah bisa mengalahkan skenario yang Tuhan sebut sebagai "Takdir". Semuanya telah usai, perjalanan di masa ibunya ini telah selesai waktunya dia kembali ke masanya.
Tapi bagaimana caranya? Dia bahkan tidak tahu bagaimana dia bisa terdampar di masa ini.
Ah ya, dia tahu. Reza berada di masa ini setelah dihempas oleh sebuah truk pertamina. Mungkin dia bisa kembali jika melakukan hal yang sama. Seolah menjawab hati Reza, sebuah truk datang dengan kecepatan tinggi. Reflek kakinya melangkah, melompat ke depan truk yang akan melintas. Dan untuk kedua kalinya, cahaya putih yang begitu bersinar, tiba-tiba redup menjadi gelap seketika.
Di sinilah dia sekarang. Reza memperhatikan kalender yang ditempel tepat pada dinding kamarnya. Menyentuh tanggal bercoret tinta merah. Hari ini adalah tiga hari sebelum kejadian itu. Mundur tiga hari?
Duduk kembali di kasur, Reza kembali berfikir. Apakah yang tadi itu mimpi? Jika bukan pasti ada yang berbeda dengan nasib ibunya saat ini. Ya, kalau benar itu hanya mimpi ibunya tidak akan lupa pada Reza yang telah menemuinya di masa lalu. Dia lekas bergegas ke luar kamar, mencari ibunya ke dapur.
"Ibu." Reza berlari memeluk ibunya dari belakang.
"Astagfirullah, ada apa Za? Kamu mengagetkan ibu."
Reza tertawa kecil, "Ada apa Za? Tidak biasanya kamu memeluk ibu seperti ini? Ada masalah di kampus?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak ada bu. Reza hanya memikirkan sesuatu."
"Hm? Memikirkan apa? Jangan terlalu keras berfikir nanti rambut mu cepat beruban."
Sekali lagi Reza tertawa, "Reza ingn bertanya pada ibu."
"Tanyakan saja apa yang mengganjal di kepala mu Za."
Hening beberapa menit, sampai suara berat milik anaknya kembali terdengar. Menanyakan pertanyaan yang membuat Lastri sedikit terkejut, tentang perjalanan waktu ke masa lalu untuk mengubah takdir.
Sedikit mengejutkan memang, tapi dia mengerti arah pembicaraan ini. Lastri tersenyum dan menjawab, "Jika ibu bisa kembali ke masa lalu. Ibu tidak akan merubah apapun di masa. Ibu tidak akan merubah keputusan ibu untuk menikah dengan ayah mu. Meskipun ibu sudah tahu tabi'atnya seperti apa."
"Kenapa seperti itu?"
Pisau di tangan yang ia gunakan memotong sayuran, Lastri letakkan. Dia berbalik menatap Reza lekat-lekat. "Karena ibu tahu akan memiliki seorang anak seperti kamu dan Nimas. Harta titipan yang Allah berikan pada ibu."
Jeda sejenak, Lastri melanjutkan. "Karena dulu, ada laki-laki yang mirip seperti kamu saat ini datang dan memberitahu ibu tentang masa depan yang akan ibu lalui."
Satu pernyataan dari ibunya menjawab kebingungan Reza. Jadi, dia benar-benar melakukan perjalanan waktu kah?
"Dia berkata pada ibu, jika dia adalah anak ibu di masa depan. Dia juga bercerita tentang ayah mu yang akan lebih sering menyakiti ibu daripada membahagiakan ibu. Ibu sempat merasa kaget, dan tidak percaya. Namun, ekspresinya tidak menunjukkan jika dia sedang berbohong ataupun bercanda. Ibu tahu, dia berkata jujur."
"Lalu kenapa ibu tetap menikah dengan ayah jika sudah tahu akan resiko?"
Lastri tersenyum lagi, "Itu karena ibu ingin bertemu kalian. Dan tidak ingin kalian berdua terhapus dari sejarah kehidupan ibu. Memang menakutkan menghadapi masa depan yang telah kita ketahui, namun lebih menakutkan lagi jika ibu menghapus kamu dan Nimas di masa depan. Biarlah ibu tidak mendapatkan laki-laki yang baik asalkan ada kalian bersama ibu itu sudah lebih dari cukup. Kalian berdua adalah kebahagiaan untuk ibu."
Buliran bening menetes dari kedua sudut matanya. Reza menahan untuk menangis di hadapan Lastri, tapi rasanya memang tidak bisa ia bendung lagi. Sekarang dia paham, mengapa Lastri tetap melanjutkan acara pernikahannya dengan Juned. Kebahagiaan itu bukan hanya masalah antara hubungan antar pasangan. Namun, kebahagiaan itu bisa datang dari orang-orang sekitar, apalagi orang yang terus peduli dan berada di dekat mu. Bukan masalah kebahagiaan rumah tangganya nanti bersama Juned, namun bersama anak-anaknya lah Lastri akan merasakan arti kebahagiaan.
Reza mengambil jaket hitam yang tergeletak di meja makan. Dia pergi berpamitan pada ibunya untuk menemui Juned, ayahnya yang sudah lama memendam kekesalan pada dirinya.
Tiba di rumah kontrakan kecil yang kumuh, Reza melihat ayahnya yang bersantai. Menghisap puntung rokok sambil bersenandung kecil. Dia menghampiri pria itu, Juned yang menyadari kedatangan Reza membuang muka tak suka.
"Ada perlu apa kamu kemari?" tanyanya ketus.
"Aku hanya ingin mengatakan sesuatu pada mu."
"Cepatlah katakan dan lekas-lekas pergi. Muka mu mencemari pendangan ku."
Reza menghembuskan nafasnya, dia harus tenang. Kali ini tidak boleh terpancing emosi lagi. "Aku hanya ingin mengatakan. Kau dan ibu sudah resmi bercerai. Tidak ada lagi hubungan apapun antara kau dan ibu. Jangan ganggu kami, jangan kau usik lagi keluarga kami. Aku tahu, kenapa kamu membenci ku dan ibu. Itu karena ibu memberikan ku nama seperti rival mu yang tiba-tiba hilang itukan? Juga, karena wajah ku dari tahun ke tahun sama persis seperti orang itu bukan? Aku sudah tahu semua Juned. Apa yang membuat mu benci pada kami. Hanya itu yang ingin ku sampaikan. Pergi dari kehidupan kami, jangan pernah kamu datang menghatui kami lagi."
Juned yang menghisap rokoknya tadi terdiam. Terkejut oleh pernyataan Reza tentang alasan dia mulai membenci Lastri. Reza berbalik, melangkah pergi meninggalkan Juned di sana. Sekarang semuanya jelas. Ibunya menderita sebenarnya karena dirinya yang tiba-tiba muncul di masa lalu. Seandainya dia tidak ikut campur, Juned tidak mengenalnya semua hal buruk tidak akan terjadi pada keluarganya. Juned tidak akan melukai Lastri, dan membencinya karena mengira Lastri masih menaruh hati pada laki-laki yang ternyata adalah anaknya sendiri di masa depan.
Semua puzzle sudah tersusun rapi. Semua clue sudah berhasil di tuntaskan.
#end
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro