Kisah Jackson: Si Gila dari Kelas Sebelah
Matahari menjulang tinggi memancarkan sinar panas yang terik, bahkan terlalu terik. Untuk mereka yang berkulit putih bisa menjadi coklat, untuk yang berkulit coklat sepertiku akan lebih bertambah coklat bahkan sampai tak terlihat. Ah, tapi bukan itu yang membuat hari ini mengesalkan.
Tapi ... cowok itu.
Iya, cowok yang sekarang ini tengah menatapku dengan senyum jahilnya. Sudah beberapa bulan ini dia terus mengikutiku, menggangguku, tak jarang juga mengusik kehidupan nyaman di sekolah. Rasanya ingin sekali aku menguleknya dengan sambal terasi buatan nenek di desa. Kesal!
"Pagi Namia," sapanya.
Aku memutar bola mata, jengah. Tanganku menarik tali tas punggung, kemudian berlalu begitu saja melewatinya, tanpa perlu bersusah payah menjawab sapaan. Tidak ada kewajiban untukku membalas dan tidak ada tuntutan pula darinya padaku.
"Mia!" teriaknya begitu keras. "Hei, tunggu aku!" sebuah tepukan mendarat di pundak membuatku melayangkan tatapan bengis ke arah pemuda ini.
"Apa?" ketusku. "Mau nagih sapaan?"
Dia tertawa kecil. "Bukan."
Aku menyipitkan mata ketika dia mulai melepaskan tas yang disampirkan di bahunya. Mencari-cari sesuatu di dalam sana. Kira-kira apa maunya anak ini sekarang?
Orang ini menarik pergelangan tanganku dan meletakkan sebuab amplop putih di atas telapak tanganku yang dia pegang. "Nih! Nanti dibaca. Jangan dibuang lagi. Dibuang itu rasanya berat, kamu gak akan kuat."
Ingin rasanya kuceburkan orang ini ke dalam sumur lubang buaya. Ucapannya yang meniru kalimat dari sebuah film--yang sekarang ini sedang digandrungi remaja seusia kami, membuatku kesal. Oh, aku tentu tidak akan tersipu malu atau apapun.
Surat di tangan kuremas hingga kusut. Dengan cepat aku berbalik lalu meneriaki nama laki-laki tengil yang sudah berlari memasuki gedung sekolah. "Jackson!"
Dia berbalik, tersenyum memamerkan sederet gigi rapinya kemudian membentuk sesuatu dari jari-jari tangannya. "Love you, Mia!" soraknya dari jauh.
Spontan semua mata melihat ke arahku. Panas, rasanya muka ini sudah memerah seperti kepiting rebus. Kesal, malu, emosi. Laki-laki itu melanjutkan berjalan meninggalkan aku sendiri yang menjadi sorotan semua mata.
Awas aja, kubunuh baru tau rasa kamu!
Kenalkan dia. Ya, laki-laki dengan tas coklat yang terus melangkah ringan tanpa merasa bersalah itu. Namanya Jackson. Biar kujelaskan sebentar, kalian hanya perlu menyimak. Oh, mungkin akan jatuh cinta sekalian pada dia. Tak masalah, aku tak keberabatan kehilangan satu-satunya fans yang kumiliki.
Jackson, laki-laki bertubuh tinggi menjulang seperti tiang listrik. Memiliki kulit putih bersih seperti bayi--heran, perawatan apa yang dia pakai sampai kulitnya seperti itu. Memiliki senyum manis yang mampu memikat kaum.hawa. Mau itu nenek-nenek, tante-tante, sampai dedek gemes sekalian.
Awalnya aku memang menyukai anak itu. Laki-laki rapi, penampilan yang sedikit cupu--tapi karena dia tampan, cupunya pun tak terlihat. Baik, sopan, ramah. Tapi semua tentang Jackson yang awalnya baik di mataku berubah, gara-gara kalimat deklarasi yang kuucapkan waktu itu, karena permainan bodoh yang disebut ToD.
"Mia, pilih T or D?" tanya Firly.
"D, Mi. Plis ... pengen ngerjain kamu sesekali." Ariana memohon.
Aku memutar bola mata, "Oke, D. Jangan kasi dare yang macem-macem. Awas aja."
Kedua temanku ini terkikik lalu saling berbisik sepertinya merencanakan sesuatu. Bulu kudukku meremang, pertanda tidak bagus. Setelah melakukan diskusi, keduanya menatapku jahil.
"Kamu kan suka sama Jackson," Ariana bersuara lebih dulu.
Aku menaikkan satu alis, "Ya, lalu?"
"Ucapkan kalimat ini dengan lantang!" Firly mengerlingkan sebelah matanya sambil menyikut Ariana yang duduk di sebelahnya.
"Aku suka Jackson. Dan akan selalu menyukainya meski dia berubah tidak menyenangkan sekalipun!" Gadis berbando pink di hadapanku tersenyum menggoda sambil mengeja perkata kalimat yang harus kuucapkan barusan.
Aku menggedikkan bahu, "Hanya seperti itu? Oke, siapa takut."
"Eits, eits. Tunggu dulu." Firly-- perempuan dengan rambut dikucir itu menghentikan mulutku yang akan bergerak. "Ada syarat lain. Kamu harus mengucapkannya dengan suara lantang, sampai seisi kelas ini mendengarnya!"
"What?" Kegilaan ini sudah di luar batas.
"Iya, atau kalau kamu gak jalani dare ini. Kamu harus menraktir kita berdua di kantin sepuasnya." Ariana tersenyum kemenangan.
Mereka ini sahabat atau tukang palak, sih?
Setengah hati aku berdiri dari dudukku. Daripada harus kehilangan uang untuk nonton besok, lebih baik aku mengucapkannya saja. Yang mendengar juga hanya anak kelas. Jackson tidak mungkin bisa mendengarnya, bukan?
Aku menarik napas dalam-dalam. Menahannya di perut, kemudian diembuskan perlahan.
"Aku suka Jackson! Dan akan selalu menyukainya meski dia berubah tidak menyenangkan sekalipun!" teriakku lantang.
Seketika, seisi kelas hening. Aku tak mendengar satu pun keramaian yang tadi sempat memenuhi seisi kelas--di jam istirahat. Mata yang terpejam menahan malu, kubuka perlahan.Mendapati kedua orang sahabatku melihat ke arah belakangku dengan ekspresi tak percaya dan sedikit ketakutan. Memangnya ada apa?
Firly yang pertama kali menatapku, tersenyum kikuk. Dia menunjuk ke arah belakang membuatku memutarkan tubuh, mencoba menengok apa yang mereka lihat saat ini. Dan duniaku rasanya runtuh berkeping-keping.
Jackson?
Suaraku terpekik di tenggorokan. Benar-benar konyol, kenapa bisa orang itu ada di sini? Dan tunggu, apakah dia mendengar kalimat yang baru saja kuucapkan?
Sebelah tanganku menutup mulut yang menganga. "Sial!" gumamku.
Aku menatap tajam kedua orang di hadapanku, yang dibalas mereka dengan senyuman kikuk seolah mengatakan 'hei, ini tak terduga! Bukan salah kami!'
Bagus, lalu kalian memintaku menyalahkan siapa? Anak berang-berang?
Sejak kejadian itu, banyak sekali surat berwarna putih hadir di kolong meja, loker, dan tempat di mana biasanya aku akan singgah. Awalnya aku tak tahu jika itu dari Jackson. Hingga aku kesal dengan seluruh surat--beserta isinya yang dikirim oleh orang tak dikenal. Surat hari itu yang diletakkan dalam tasku oleh seseorang akan jatuh terbuang, masuk dalam tong sampah. Namun, sebuah tangan menghalangiku.
Bersamaan itu pula, aku tahu siapa pelaku yang melakukan semua ini. Ya, dia adalah Jackson.
Rumor yang kudengar jika dia sedikit aneh dengan mengejar perempuan yang menyukainya benar. Tapi kenapa aku? Bukan kah yang menyukainya banyak? Apa iya hanya aku yang berani mengatakan itu kemarin?
"Jangan dibuang," ucapnya pelan.
"Kamu ini kenapa sih?" tanyaku dengan mata menyelidik. "Kamu malu karena aku mengatakan itu? Lalu terus mencoba mempermalukanku dengan surat-surat ini?"
Dia diam, namun seulas senyum dia berikan. "Bukan,"
"Lalu apa?" tanyaku santai sambil melipat kedua tanganku di dada.
"Aku juga menyukaimu, apa itu salah?"
What? Serentetena tanda seru memenuhi isi kepala. That's right, aku merakan senang. Tapi, why? Kenapa aku? Ini pasti hanya lelucon belaka, bukan? Tidak mungkin seorang Jackson, argh. Aku tak mengerti.
Aku tidak mempercayainya dan senyumnya waktu itu. Terus saja bergulat dengan pikiranku jika Jackson hanya sedang bercanda. Hingga kini, dengan terang-terangan pun dia melakukan hal gila mengungkapkan rasa suka padaku. Tapi aku sama sekali tidak percaya jika benar seperti itu.
"Mia!" panggilan dari seseorang menggema di sepanjang koridor sekolah yang sepi. Aku hafal dengan nada suara ini.
Malas, kuputarkan badan memastikan orang yang ada di otakku. Dan benar saja, Jackson belari ke arahku dengan ransel coklatnya. "Biar kuantarkan pulang," katanya setengah ngos-ngosan.
Memang seperi ini lah kami semenjak hari itu. Pulang berdua, meski tanpa status. Ah, tidak. Aku bahkan berkali-kali menolak tawarannya namun laki-laki ini tetap saja mengikuti sampai ke rumah. Kami tidak banyak mengobrol. Hanya berjalan dalam diam, berdua.
Aku berbalik dan langsung berjalan lebih dulu tanpa mengiyakan atau menolak ajakannya. Ditolak pun dia akan tetap ikut, biarkan saja sampai dia bosan. Laki-laki memang begitu, setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka akan membuangnya karena sudah tak lagi berguna dan menyenangkan.
Tanpa sadar aku mengembuskan napas dari mulut.
"Lelah? Apa gara-gara aku?" tanya orang di sampingku ini.
"Kenapa masih bertanya? Sudah jelas bukan?"
Kuperhatikan celana dan rok putih abu-abu kami, sudah terlihat sedikit memudar. Yah, sebentar lagi kami akan lulus dari sekolah itu. Tidak akan ada lagi seragam dan suasana duduk mendengarkan ceramah guru saat pelajaran. Semua akan menjadi kenangan, dan dikejar orang ini pun akan menjadi sebuah kenangan pula.
Aku melirik ke arah pemuda di sampingku kini. Rambutnya yang hitam rapi, bibir merahnya yang berpadu dengan putihnya kulit, mata sipit kecoklatan. Aku tidak percaya jika dia ini tulen berdarah indonesia.
Rasa suka padanya masih ada, namun ketika mengingat kelakuannya yang menyebalkan, dan terkadang cukup gila membuatku kadang berpikir dua kali untuk menyukai laki-laki ini.
"Besok ada kegiatan?"
Pertanyaannya membuatku terkesiap dari lamunan fana barusan. Aku berjalan lebih cepat kemudian mengatakan "Tidak" dengan nada ketus.
Kikikan tawanya terdengar menyapa telinga, Jackson berhasil menyamai kembali langkahku. Berjalan bersisian lagi dalam bisu.
"Kalau besok pergi nonton berdua denganku mau?"
Spontan kepalaku memutar 90 derajat--kalau kelebihan bisa patah tulang leher ini.
"Nonton?" ulangku.
"Ya," jawabnya singkat.
Aku Mengedikkan bahu, "Kukira kamu ada kencan lain. Sudah kubilang aku gak mau berurusan denganmu. Dan kejadian waktu itu, anggap saja angin lalu. Jangan terlalu serius kami sedang ber--"
"Aku tau," potongnya. "Aku tau kok kalau kalian sedang bermain saat itu."
Suasana mulai terasa tak nyaman, jangan bilang kalau dia menyukaiku dan apalah. Argh, berada di suasana seperti ini rasanya tidak nyaman. Aku buru-buru menetralisir detakan jantung yang mulai berdebar aneh.
"Film apa?" Kucoba mengalihkan topik bahasan barusan.
"Koe no katachi? Kudengar kamu suka anime."
Aku menghentikan langkah, menatap punggung Jackson yang berada beberapa langkah di hadapanku. "Koe no katachi?"
Dia ikut berhenti dan berbalik, masih tersenyum manis. Senyum yang kusuka. "Ya."
"Aku ikut!" Tanpa perlu menanyakan persetujuanku lagi, aku berteriak antusias.
Oh My, ini film yang aku ingin tonton. Tapi Ariana dan Firly tidak pernah mau menemaniku ke bioskop bersama. Alasannya, lebih baik uang mereka dihabiskan untuk makan dan berbelanja daripada duduk menonton film di layar besar dengan tenang.
Jackson semakin tersenyum lebar, dia melompat ke udara mengepalkan tangannya meninju langit. "Pukul sepuluh aku jemput kamu."
"Gak usah," tolakku kali ini. "Kita bertemu di kafe dekat studio saja.
Laki-laki itu mengangguk.
Keesokan harinya kami pun bertemu di kafe seperti yang sudah dijanjikan. Di luar dugaan, aku yang berangkat sepuluh menit lebih dulu takut jika terlambat didahului oleh dia. Orang itu sudab duduk manis bersama minumannya di kafe itu.
"Maaf telat." Ah kenapa pula aku meminta maaf, aku kan tidak telat. Ini masih sepuluh kurang lima menit.
"Gak masalah, mau minum dulu?" tawarnya. "Bioskop masih buka lima menit lagi."
Aku mengangguk, dan duduk di kursi hadapannya. Setelah memesan satu cappucino hangat, dia mengajakku mengobrol hal basa-basi yang kadang membuatku bosan, tapi tak jarang pula membuatku tersenyum kecil.
Dia itu aneh, tak terduga, dan sulit ditebak. Satu yang kuketahui jelas bahwa dia bukan lah alien. Ah, lupakan.
Kami berdua menunggu, sesekali aku mencuri-curi pandang memerhatikan wajahnya ketika bercerita tentang film yang akan kami tonton sebentar lagi.
"Janga spoiler terlalu jauh, Jack!"
"Hei, aku gak spoiler. Aku melihat itu dari beberapa trailer yang beredar," belanya. "Jadi, kisah gadis kecil bisu yang dulu sempat dibully oleh anak laki-laki di masa kecilnya, dipertemukan lagi ketika menginjak SMA dan malah berubah kisah cinta romantis. Kata temanku kisahnya manis, dan membuat terharu. Jadi tidak sabar untuk menontonnya kan?"
"Ya."
Sebenarnya sudah hampir tiga puluh menit kami duduk di sana, namun belum ada satupun dari kami yang beranjak dari kursi karena Jackson yang masih asik bercerita.
"Jack, kita jadi nonton tidak?"
"Ah, sampai lupa. Ya, ini sudah waktunya. Ayo!"
Kami berjalan bersisian menuju bioskop di seberang jalan. Banyak mata melihat ke arah kami. Apa karena aku terlihat seperti debu kumal yang menempel pada kulit Jackson? Ah, ya. Perbedaan kami sangat-sangat kentara. Hampir semua yang menatapku adalah perempuan berwajah cantik. Harusnya aku tau di mana posisiku saat ini. Tunggu, apakah ini juga salah satu cara Jackson membuatku terlihat malu? Kalau benar aku akan mematahkan lehernya setelah pulang dari sini.
Aku mundur beberapa langkah, namun tangan Jackson menarikku. Kutatap sang pemilik tangan dengan raut muka tak suka.
"Jangan begitu. Gak ada maksud apapun kok. Aku suka berjalan bersisian denganmu. Jadi tolong jangan menjauh." Ucapannya begitu halus sampai aku bingung itu diucapkan dengan ketulusan atau hanya manisan belaka.
Tangannya menggenggam tangan kecilku begitu erat, dia terus menggenggamnya hingga memasuki studio, bahkan sampai fiim selesai diputar.
Laki-laki ini membuatku bingung, seolah memiliki banyak sifat, membelah-belah seperti amoeba di setiap waktu. Tangan kami masih saling bertaut. Dia tidak melepaskannya, begitu juga denganku. Sepanjang jalan menuju rumah aku merasa ada satu hal aneh mulai menjalari sesuatu di dalam sana.
Ah tidak, tidak. Aku memang menyukai Jackson tapi aku juga membencinya karena gara-gara dia setiap hari ada saja bahan pembicaraan gadis-gadis ular di sekolah. Lagipula Jackson juga tak mungkin benar-benar menyukaiku. Dia hanya bercanda, membuat sebuah lelucon supaya dia bisa tertawa dan memiliki seorang teman mungkin. Yah, hanya dugaan.
"Aku menyukaimu, Mia," ucapnya sangat pelan. Jika saja saat ini tidak sepi, suara Jackson mustahil bisa kudengar.
Aku diam, tidak tahu harus menanggapi apa lagi.
"Risih karena surat-surat yang kuberikan?"
"Ya."
"Terganggu dengan sikapku yang usil padamu?"
"Ya."
"Tidak suka ketika aku mengatakan, aku menyukaimu?"
Aku tidak menjawabnya. Sudah kujelaskan tadi, aku bingung!
Dia berhenti, otomatis aku pun menghentikan langkah dan mendongak menatapnya.
"Aira Namia." Jackson menyebut namaku, pompaan darah dalam jantung semakin bekerja hebat. Apa ini? Terasa menegangkan, namun sekaligus penasaran.
"Aku menyukaimu Namia. Bukan karena kamu mengatakan kalimat itu saat aku sengaja masuk ke kelasmu untuk menemui Keo. Tapi aku menyukaimu dari dulu. Saat aku masih tinggal di sebuah rumah sakit."
"R-rumah sakit?" Terbata-bata aku mencoba mengingat sesuatu.
Jackson menampilkan senyum manisnya lagi, "Tidak usah berusaha mengingatnya jika kamu lupa. Aku hanya ingin mengatakan jika aku menyukaimu. Dan walaupun aku tau kamu sekarang sedikit membenciku tapi Namia, mau tidak kamu menjadi kekasihku?"
End
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro