Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Wisata Sekolah

Pusat penelitian sylph pemerintah, tempat itu merupakan museum sejarah sekaligus laboratorium penelitian utama yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Hari ini, kami para murid baru akan berkunjung ke sana dan menginap selama dua malam.

Aku mengemasi barang-barang. Tidak banyak, hanya beberapa setel pakaian dan beberapa buku yang kiranya bisa kubaca ketika ada waktu luang. Bisa dibilang aku orang yang cukup suka membaca.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar. "Soraru, ini aku," sebuah suara yang kukenal terdengar. Aku segera menyahut, "Masuklah!"

Perlahan pintu terbuka, Kashitaro menyembulkan kepalanya dan mendapatiku baru saja menutup resleting tas. "Oh, kau sudah siap?" ia bertanya memastikan. Aku membalasnya dengan anggukan, kemudian segera menyusulnya keluar kamar. Tak lupa kukunci pintu kamar agar tak ada orang yang mengutak-atik privasiku.

"Apa yang lain juga sudah siap?" aku bertanya selagi kami menyusuri koridor asrama. "Yep, semua kecuali kau. Mafu bahkan sudah di sana. Yah... meskipun ia masih menjaga jarak dengan yang lain, sih..." Kashitaro membalas sekenanya.

Aku menunduk, menghela napas panjang. "Bagaimana caranya agar dia mau terbuka, ya?"

Kashitaro tersenyum penuh arti, "Jangan khawatir, kalau soal itu, aku punya rencana." Aku segera menyambut antusias, "Benarkah? Seperti apa??"

Kashitaro mengibaskan sebelah tangannya. "Itu rahasia. Kau ikuti saja rencanaku dan semuanya akan beres."

Kami semua sudah berkumpul di halaman sekolah. Kepala sekolah berdiri memberikan beberapa sambutan dan pengarahan. Setelah itu, kami masuk ke bus-bus yang sudah terparkir dengan rapinya di halaman depan. Aku duduk di sebelah Kashitaro, sementara Luz dan Amatsuki di belakang kami. Mafu duduk sendirian di bangku depan kami.

Perjalanan memakan waktu yang lumayan lama. Kau bayangkan saja akademi pemburu terletak di ujung wilayah ibukota, sedangkan pusat penelitian berada di ujung lainnya. Ketika ditotal, kira-kira perjalanan dari akademi menuju ke pusat penelitian memakan waktu sekitar dua jam perjalanan.

Pusat penelitiannya pun cukup jauh dari kota dan area pemukiman. Kami harus melewati wilayah hutan yang cukup luas. Melewati daerah tebing dan gunung-gunung yang curam juga menjadi bagian dari rute yang umum dilewati. Jalanan cukup sepi, tak banyak kendaraan yang berpapasan dengan kami.

Ketika sampai, kami disambut pemandangan yang begitu menakjubkan. Hamparan laut biru di sana, dengan rimbunan pepohonan di sekitarnya. Dari kejauhan, kompleks pusat penelitian yang luar biasa besar terlihat kokoh berdiri.

Bus-bus berhenti, berjejer dengan apik di tempat parkir yang sangat luas di depan museum. Kami semua terus menatap takjub tempat ini. Jika aku boleh jujur, sungguh, ini tempat yang sangat nyaman untuk bekerja.

Halaman museum begitu luas dengan taman-taman yang ditumbuhi bunga-bunga cantik aneka warna. Berbagai pohon peneduh juga tumbuh di sana sini. Ada tempat bermain kecil serta kolam ikan dan air mancur yang elok menambah kesan nyaman berada di sini.

Tak berselang lama, keluar beberapa orang berpakaian putih dari dalam museum. Kami diatur dalam barisan-barisan rapi, diurutkan berdasar kelas.

Ada lima orang dari pusat penelitian menyambut kami di halaman depan museum. Mereka berdiri gagah, mengenakan seragam kebanggaan para peneliti sylph yang memang sangat memikat. Warna putihnya seakan batu permata yang disinari mentari, bersih dan cemerlang.

"Ehm, baiklah. Saya ucapkan selamat datang pada para murid Akademi Pemburu Sylph Negara yang telah menyempatkan diri untuk mencari beberapa ilmu di tempat ini. Perkenalkan, saya Akatin Carten, Kepala Peneliti Sylph Nasional."

Pria itu begitu berkharisma. Jujur saja, aku pun terpukau dengan aura kewibawaan yang amat jelas terpancar dari dirinya. Sungguh sangat mencerminkan citra orang-orang berpengaruh negeri ini.

Beliau melanjutkan, "Di sebelah saya adalah asisten peneliti, Jim Orphanox. Lalu ada Neru Morris, Eve Stelle, dan Reol Stanburg. Merekalah yang akan membimbing kalian selama berada di sini."

Aku dan Kashitaro sontak menoleh ke arah Luz. "Dia anggota klanmu?" Kashitaro bertanya setengah berbisik. "Yah, begitulah... tapi aku tak terlalu mengenal dirinya," balas Luz ikut berbisik. Pak Dunken berdehem keras pada kami, yang tentu saja langsung membuat kami kembali diam mendengarkan.

Penjelasan awal adalah mengenai sejarah berdirinya museum. Sebenarnya cukup membosankan karena aku sudah pernah mengetahuinya ketika masih kecil. Ayah dan Ibu yang menceritakannya. Aku bahkan hampir saja tertidur jika saja Kashitaro tak menepuk-nepuk pipiku yang tentu saja membuatku tetap terjaga.

Selanjutnya, kami mengelilingi area pusat penelitian. Di depan ada sebuah museum, lalu dilanjutkan dengan area publik sebelum masuk ke kompleks laboratorium penelitian. Aku tersenyum tipis, Orion pasti senang sekali diajak kemari.

Daripada pusat penelitian, tempat ini bisa dibilang malah lebih mirip objek wisata. Ada taman yang luas serta nyaman, cocok untuk berpiknik. Museum dengan fasilitas lengkap serta kafetaria yang besar dan lengkap membuat orang-orang pastinya betah berada di sini lebih lama.

"Nah, kalian semua akan kami antar ke penginapan di belakang laboratorium. Istirahatkanlah tubuh kalian di sana. Nomor kamar dan teman sekamar kalian sudah kami bagi, nanti bisa kalian cek di lobi depan penginapan. Sampai sini paham?" terang Tuan Akatin.

Kami semua membalas tanda paham, kemudian kembali mengekori langkah beliau menuju penginapan yang dikatakan.

Kau tahu, bahkan penginapannya yang besar itu juga sangat nyaman ditempati. Dengan gaya bangunan eropa kuno yang apik serta suasana sejuk, membuat kami semua ingin segera merebahkan diri seharian di kamar.

"Pertama, taruh barang-barang kalian di kamar masing-masing. Setelah itu kembali berkumpul di sini, kita akan memulai sesi pembelajaran langsung di laboratorium," Tuan Akatin kembali memberi instruksi.

Kami semua berkumpul memeriksa lembaran kertas yang sama. Karena hanya ada satu spot yang dapat kami akses, semuanya berimpitan mencari informasi.

Setelah bersusah payah, aku berhasil membaca dan menemukan namaku dalam daftar itu, plus nama teman-teman yang lain. Rupanya kami berlima ditempatkan dalam kamar yang sama. Aku memang sudah menduga hal itu sebenarnya...

Dengan langkah bergegas, kami menuju ke kamar dan meletakkan barang-barang. Kami tak bisa langsung beristirahat karena acara selanjutnya sudah menunggu kami.

Ya, setelah kami meninggalkan barang-barang berat dan hanya membawa ransel kecil, kami berkumpul kembali. Setelah itu, kami menuju ke laboratorium.

Tempatnya begitu luas. Semua alat penelitian lengkap tersedia. Para peneliti berlalu lalang, menuntaskan berbagai macam proyek terbaru yang musti mereka pecahkan. Mereka semua bisa dibilang sudah pro. Seleksi untuk bekerja di sini saja begitu ketat.

Di sinilah biasanya murid akademi yang tidak terlalu kuat tetapi berotak encer akan bekerja setelah lulus. Banyak jenius yang justru dihasilkan dari kelas bawah. Kami sebagai petarung kelas atas tentu saja bertugas mengisi garis depan.

Kupikir sesi ini akan membosankan. Nyatanya tidak, terlalu banyak hal menarik yang berhasil menyita perhatianku. Berbagai macam proyek penelitian sains sylph serta fakta-fakta tentang sylph dan pemburu yang belum banyak diketahui berhasil aku dapatkan infonya. Yah, lumayan menyenangkan juga rupanya.

Setelah pengamatan kami selesai, waktunya bagi kami melakukan kegiatan bebas hingga waktu makan malam. Aku dan yang lainnya memilih untuk kembali ke kamar.

Tadinya Mafu ingin memisahkan diri, tetapi untungnya Luz berhasil membujuknya untuk ikut bersama kami kembali ke kamar. Sementara Kashitaro pergi dulu, entah kemana.

Sampai di kamar, aku langsung merebahkan tubuh lelahku di atas tempat tidur. Luz menarik sebuah sofa, lalu mulai membaca sesuatu sambil duduk di atasnya. Amatsuki sendiri sepertinya sedang asyik membaca komik. Sementara Mafu, sedari tadi bocah itu sibuk memandang ke luar jendela. Entah apa yang sedang ia lihat di luar sana.

Tiba-tiba saja kami dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Amatsuki berdiri membukakan pintu. Dan teryata, di sana sudah berdiri Naruse dan Lon. "Kami diberitahu Kashitaro kalau akan ada pesta di sini. Makanya kami datang," terang Naruse.

Aku, Luz, dan Amatsuki saling pandang heran. Pesta? Kashitaro tidak mengatakan apapun soal pesta. Apa ini semacam prank darinya atau sesuatu?

"Hai kalian semua! Siap untuk pesta besar sebelum makan malam?" sebuah seruan tiba-tiba mengagetkan kami. Aku dan Luz yang tadinya hanya diam di tempat langsung beranjak ke pintu karena terkejut dan penasaran.

Ternyata itu Kashitaro. Dia membawa bertumpuk makanan! Darimana dia mendapatkannya??

"Ayo nona-nona, silakan masuk dulu!" ujar Kashitaro sambil memberi jalan. Masih dengan perasaan heran, Naruse dan Lon menurut masuk ke kamar kami.

"Oy, kau yakin ini tidak akan menimbulkan masalah? Dan lagi, sebentar lagi waktunya makan malam, lho," protesku sambil berkacak pinggang.

Kashitaro membalasku dengan enteng, "Tenang saja. Jatah makan malam kalian ikut kubawa kemari! Hebat, kan? Aku bernegosiasi dengan Tuan Dunken dan Tuan Akatin. Yah, cukup sulit tetapi aku berhasil!"

Seketika aku kembali dibuat heran dengan orang ini. Apa saja yang dia katakan sampai Tuan Dunken yang terkenal tanpa kompromi itu mau menerima permintaannya?

Kashitaro lantas menata makanan di tengah ruangan. "Yosh! Waktunya berpesta!" serunya girang sambil menata makanan. Kami semua membantunya. Aku melirik Mafu yang sedari tadi seakan tidak sadar ada keributan di tempat ini.

"Hei, Mafu, ayo bergabunglah dengan kami," ajakku. Anak itu hanya menoleh, namun kemudian mengabaikanku. Jujur saja, itu agak membuatku kesal. "Ayolah, Mafu... jatah makan malammu juga aku bawakan, kok," tambah Kashitaro.

"Tidak perlu," Mafu memotong cepat. Setelah itu, ia bangkit dan merogoh sakunya. Sejenak kemudian anak itu terlihat pucat. Ia lantas merogoh saku lainnya. Ia bertambah panik. Lalu, anak itu menghambur ke tasnya dan merogoh isi dalamnya. Kami semua hanya memerhatikannya dengan saksama sambil menikmati makanan kami.

Tak lama, sepertinya dia menyerah. Anak itu kembali ke pinggiran jendela, tak lagi bergeming.

Aku paham apa yang terjadi. Sambil menahan tawa, aku mencoba bertanya padanya, "Dompetmu... hilang, ya?"

"Bukan urusanmu."

"Ngapain kau mau beli makanan lagi? Ini sudah ada banyak makanan, Mafu..."

"Sudah kubilang aku tidak butuh-"

Kruyuuuukkk.....

Sontak semua terdiam. Keadaan benar-benar hening. Baik aku maupun yang lain merasa yakin, bunyi barusan berasal dari Mafu. Beberapa kali bunyi itu terdengar lagi, malah semakin nyaring.

"Kamu... lapar, ya?" Amatsuki menyelidik.

Kuping Mafu terlihat memerah, namun anak itu tetap diam di tempatnya. Aku tersenyum, lalu berdiri dan duduk di belakangnya.

Kutepuk bahunya pelan. Albino itu agak terlonjak sebelum berbalik perlahan. Aku lantas tersenyum sembari menyodorkan sepiring jatah makan malam miliknya.

"Kamu jangan memaksakan diri, dong. Kalau kamu lapar, ya, ambil saja. Kashitaro tidak bermaksud apa-apa, kok. Ini, makanlah," ujarku.

Awalnya dia hanya diam. Tetapi sejurus kemudian, agak malu-malu ia menerima piring yang kusodorkan. Aku mengusap kepalanya pelan, dengan senyum hangat tetap tersungging. "Nah, ayo sekarang sini, makanlah bersama kami," ajakku kemudian.

Aku menggandeng tangannya, memberinya tempat duduk di tempat kami. Mafu langsung melahap makanannya. Sepertinya, anak ini benar-benar kelaparan.

"Nanti setelah makan, kita cari dompetmu, ya?" kataku yang dibalas anggukan pelan dari Mafu.

"Mafu," panggil Lon. Si albino menoleh. "Kalau ada apa-apa, jangan ragu bercerita pada kami, ya? Kita, kan, tim. Kalau ada masalah, jangan kamu pendam sendiri. Kita pasti mau bantu, kok," lanjut gadis berambut blonde itu lembut.

Mafu tampak terkejut mendengar perkataan Lon barusan. Anak itu kemudian menunduk. "Kenapa? Apa kalian... tidak merasa takut padaku?" ia bertanya lirih.

"Lho? Buat apa kita takut? Kau tidak terlihat seram," sambar Naruse dengan nada tenang. Kashitaro tertawa mendengar ucapan gadis itu. Sementara Mafu sendiri terlihat heran.

"Itu benar, Mafu. Untuk apa kami takut pada bocah yang bahkan makannya saja masih belepotan seperti kamu," balas Kashitaro tak mau kalah. Aku memicingkan mata menatapnya. Namun sayangnya, sepertinya dia tidak menyadari itu.

Mafu yang menyadari bibirnya belepotan segera membersihkannya dengan tisu. Wajah anak itu merah padam menahan malu. "T-tapi, aku juga sudah membunuh orang. K-kalian tahu, kan, aku sudah membantai ratusan nyawa? Seharusnya, kan, kalian takut!"

Luz dan Amatsuki yang tadinya juga ikut tertawa bersama Kashitaro meredakan tawa mereka. "Tapi kau menyelamatkan kami, Mafu," bantah Luz. Amatsuki menimpali, "Itu benar. Kalau bukan karena kamu, kami semua sudah mati malam itu. Kau menyelamatkan kami semua."

Mafu terdiam, kemudian aku merangkul bahunya. Albino itu menoleh. Mata kami bertemu. "Kami berteman denganmu bukan karena kekuatanmu itu, Mafu," sahutku, "kami berteman denganmu karena kami percaya, kau orang yang baik."

Kedua ruby-nya membulat. "Soraru..."

Kemudian, kami bersenda gurau sambil memakan camilan yang Kashitaro bawa. Jumlahnya banyak sekali. Tak terasa, ternyata kami mengobrol sampai malam. Di luar, bintang-bintang sudah berserak di langit, ditambah dengan cahaya rembulan purnama yang begitu menawan.

"Ah, aku hampir lupa. Ayo teman-teman! Tuan Dunken bilang ada acara di aula nanti pukul 8. kita tidak boleh terlambat!" pekik Kashitaro tiba-tiba. Kami semua melirik jam. Sudah pukul tujuh tiga puluh.

Dengan langkah bergegas kami keluar kamar. Bisa repot kalau sampai kami terlambat. Bisa-bisa, Tuan Dunken akan memberi kami hukuman yang aneh-aneh seperti biasanya.

Kami berlari kecil keluar kompleks penginapan. Saat itulah, tiba-tiba saja kami mendengar suara dentuman keras. Sontak kami semua berhenti berlari.

"Suara apa barusan?" tanya Amatsuki. Aku menggeleng. "Aku juga tidak tahu," Luz menambahi. Kami pun mempercepat langkah menuju aula. Ternyata, suasana di sana pun sedang genting.

"Periksa sumber suara! Hubungi aliansi!" terdengar suara Tuan Akatin berteriak pada bawahannya. Para siswa mulai panik, suasana benar-benar ribut.

Kami melihat Pak Dunken sedang berusaha menenangkan para siswa dan segera menghampiri beliau. "Tuan Dunken, ada apa ini sebenarnya?" Kashitaro bertanya serius.

"Sepertinya ada Sylph yang berhasil menerobos masuk di gerbang depan," tukas Tuan Akatin yang tiba-tiba datang menghampiri kami. Kami semua langsung terkejut.

Lalu tanpa diduga, Mafu berlari pergi. "Hei, Mafu, tunggu!" seruku mencoba mencegahnya. Rupanya Mafu tidak mendengarkanku. Ia terus saja berlari meninggalkan kami.

"Dia itu, jangan-jangan dia berniat melawan sylph itu seorang diri?!" ujar Luz geram. Aku langsung kaget. Aku lantas berlari mengikuti Mafu. Namun, Kashitaro dan Luz menahanku.

"Kita tidak boleh gegabah, Soraru!" ujar Kashitaro. "Tapi, tapi Mafu-"

"Iya, aku tahu. Kita pasti akan menolongnya. Tapi pertama, penting untuk mengetahui situasi terlebih dahulu," tukas Kashitaro yang langsung membuatku diam. Kami lalu mengikuti Tuan Akatin dan Tuan Dunken yang pergi ke ruang kendali.

Di sana, kami melihat pantauan CCTV yang menampilkan area gerbang depan. Betapa terkejutnya kami semua, ketika melihat sylph yang berhasil menerobos masuk.

"Besar sekali..." komentar Lon sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. Perkataan dia tidak salah. Ini justru sudah bukan besar lagi, tetapi raksasa. Aku yakin tinggi sylph itu bahkan mungkin mencapai lebih dari sepuluh meter. Monster macam apa itu??

"Ugh! Kalau begini kekuatan yang ada tidak akan cukup," Tuan Akatin terdengar frustrasi. "Kawasan ini juga lumayan sulit diakses. Mungkin akan butuh waktu agak lama sampai aliansi mengirim bala bantuan," tambah Tuan Dunken.

Aku menatap monster yang sedang meraung sambil merusak halaman depan museum dalam rekaman CCTV dengan cemas. "...Mafu..."

***

Akhirnya bisa apdet jugaa...

Ditunggu ya gengs. Chapter depan kalian bakal disuguhi adegan "epic" hehe...

Okelah. See you next chapter!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro