Pemburu Sylph
"A...Ayah...," laki-laki kecil itu gemetar memandang pria tua yang terbaring lemah di tempat tidur. Beliau terbatuk. Aku menatapnya agak merasa terkejut sekaligus kasihan.
Laki-laki kecil itu perlahan mendekati kami sembari menggenggam tangannya dengan sekujur tubuh masih gemetar. "A...apa yang harus aku lakukan, Yah? Aku takut...," ungkapnya lagi dengan suara bergetar pula. Pipinya banjir airmata.
Sepanjang langkah yang ia ambil, sepanjang itu pula area sekitarnya perlahan membeku. Kristal-kristal es perlahan menyelimuti sepanjang lantai kayu yang ia pijak.
"Berhenti disitu, Nak," perlahan Ayah bicara dengan suara parau. Si laki-laki kecil berhenti. Ayah mencoba bangun dari tempat tidurnya. Aku yang merasa risau mencoba menjaga tubuhnya tetap seimbang, membantunya bangun.
Perlahan, Ayah berdiri, kemudian mulai mengambil langkah mendekati si laki-laki kecil. Laki-laki kecil itu mulai merasa takut. Ia mundur pelan-pelan. Area sekitarnya membeku semakin cepat.
Sebelum semua semakin gawat, Ayah mendekap laki-laki kecil itu erat. "Tenanglah, Nak, tenangkan dirimu. Kalau tidak es ini akan makin tidak terkendali," hibur beliau sembari mengelus kepala anak laki-laki tersebut dengan sayang.
Perlahan anak itu mulai tenang. Napasnya mulai teratur. Es di sekitarnya pun pelan-pelan menguap. Lama-kelamaan hilang seluruhnya.
Kemudian Ayah mengusap pipi anak itu sembari berujar, "Sudah, sekarang kembalilah ke kamarmu dan beristirahatlah,"
"Tapi, Yah-"
"Sudah, tenanglah. Semua akan baik-baik saja. Percayalah pada Ayah."
Laki-laki kecil itu sesenggukan dalam dekapan Ayah untuk beberapa saat, kemudian ia berlari pergi keluar kamar setelah Ayah melepaskan pelukannya.
Aku tertegun, terdiam untuk beberapa saat. Baru saja kulihat adikku, Orion, dengan kata lain laki-laki kecil itu mendapatkan kekuatan pemburu Sylph beberapa waktu yang lalu.
Aku hendak menyuapi Ayah makan siang ketika tiba-tiba Orion berlari masuk ke kamar Ayah dengan wajah pucat. Sambil menangis ia berkata bahwa ia baru saja membekukan seluruh lumbung gandum beserta isinya dengan tangannya sendiri. Aku paham dia ketakutan, ia pasti shock karena tiba-tiba saja melakukan sesuatu yang tidak biasa.
Akhir-akhir ini Ayah sering sakit-sakitan. Beliau bahkan menderita suatu penyakit yang cukup kronis. Aku dan Orion berusaha untuk tidak membebani Ayah. Kami mengurus segala keperluan kami sendiri dan juga menggantikan Ayah mengurus ladang. Kami juga mengurus Ayah setiap hari. Tentu saja kami berharap beliau cepat sembuh dari penyakitnya. Kami juga sudah membawa beliau berobat beberapa kali.
Aku baru akan melangkah pergi ketika tiba-tiba Ayah memanggilku dengan suaranya yang serak dan lemah. Aku menoleh, lantas mendekat dan duduk di samping tempat tidurnya.
"Ada apa, Ayah?," sahutku sopan.
Ayah terbatuk beberapa kali sebelum menjawab pertanyaanku, " Tolong jaga adikmu, Soraru. Dia mungkin kebingungan dan ketakutan. Dia butuh sosok yang menemaninya, menghibur, dan memberinya dukungan serta motivasi. Jangan biarkan adikmu terluka atau mengalami sesuatu yang buruk."
Aku tersenyum mendengarnya. "Tanpa Ayah minta pun, aku akan selalu melindunginya, Ayah. Kalian adalah segalanya buatku. Takkan kubiarkan siapapun berbuat macam-macam pada kalian," balasku tulus.
Ayah ikut tersenyum, kemudian terbatuk lagi beberapa kali. "Syukurlah kalau begitu. Kurasa aku bisa merasa tenang," ungkapnya lega.
"Kau tahu? Kekuatan adikmu itu mirip sekali dengan ibumu. Dia wanita yang dingin, namun manis dan hangat perilakunya. Yah, meskipun dari segi rupa, kaulah yang paling mirip dengannya."
Aku berdiri, tersenyum lagi, lantas mulai melangkahkan kakiku keluar sembari berseru, "Serahkan padaku, Ayah! Aku akan melindungi Orion dengan seluruh hidupku. Akan kutunjukkan pada Ayah."
Pintu kayu kamar berderit, menutup secara perlahan. Ayah tersenyum sendiri diatas ranjangnya, "Kau sudah besar, ya, Soraru."
Aku segera mebereskan pekerjaanku di ladang secepat mungkin. Hari semakin senja. Kalau pekerjaan tak segera beres, aku akan terlambat menyiapkan makan malam. Rasanya tak enak jika aku harus meminta bantuan Orion. Dia pasti masih pusing menghadapi kenyataan bahwa dia memegang kemampuan seorang pemburu Sylph. Mana mungkin aku bisa mengganggu saat-saat tenangnya hanya untuk mengerjakan hal-hal kecil yang bisa kukerjakan sendiri?.
Meski agak terlambat, syukurlah seluruh pekerjaanku selesai satu jam sebelum matahari terbenam. Makan malam sudah terhidang di meja makan. Bagian untuk Ayah juga sudah aku siapkan. Sekarang, aku harus memanggil Orion untuk makan malam.
"Orion, makan malam sudah siap," kataku sambil mengetuk pintu kamarnya di lantai dua. Hening, Orion tak menjawabku sama sekali. Aku mencoba memanggilnya lagi beberapa kali, tetap tidak ada jawaban.
Karena penasaran dan khawatir, akhirnya kubuka saja pintu kamarnya yang ternyata tidak dikunci. Kamar kecil itu kosong, tak ada seorangpun di dalamnya. Aku terdiam dan berpikir, kemana agaknya anak itu pergi?.
Aku lalu berkeliling kawasan rumah mencari Orion. Tak kutemukan dia dimana-mana. Aku mulai panik. Akhirnya aku mencoba untuk mencarinya di halaman belakang.
Setelah berlari-lari keliling ladang, akhirnya kutemukan Orion sedang duduk bersandar di sisi luar pagar kayu yang memisahkan ladang Ayah dengan padang ilalang. Aku langsung menghampirinya dengan perasaan mulai lega.
"Ternyata kau disini? Aku sudah mencarimu kemana-mana, loh," kataku ketika sudah berdiri sambil berkacak pinggang di belakangnya.
Orion nampak agak terlonjak sesaat ketika aku memanggilnya, namun kemudian ia menengok kearahku. Sesaat setelahnya, ia menunduk memeluk lutut, menatap ilalang.
Aku melompati pagar kayu yang tidak terlalu tinggi itu, lalu duduk di sebelahnya. "Makan malam sudah siap, kau mau makan sekarang?," tawarku.
Orion lagi-lagi hanya terdiam. Aku jadi ikut sedih dibuatnya. Aku mengerti, dia mungkin cukup terguncang menghadapi kenyataan yang mengejutkan itu.
"Ada yang mengganggu pikiranmu?," tanyaku, mencoba bersimpati.
Perlahan, lirih sekali, aku bisa mendengar isakan Orion. "Aku takut, Kak," ungkapnya sambil terisak. "Menjadi seorang pemburu Sylph, artinya harus berhadapan langsung dengan mereka, bukan?," ia bertanya lagi.
"Kau tak menginginkannya?," aku bertanya balik. Orion menggeleng, "Aku ini lemah, tak bisa diandalkan, dan juga penakut. Aku takkan selamat barang sehari saja jika menjadi pemburu Sylph. Selain itu...," kata-katanya terhenti.
Aku mengerutkaan dahi, "Selain itu?."
Orion tiba-tiba mendekat padaku, ia memelukku kuat-kuat. Airmatanya makin menganak sungai, membuat pakaianku ikut bermandikan airmata. "Ada apa?," tanyaku.
"Aku pernah dengar, katanya, jika seseorang sudah menjadi pemburu sylph, dia akan terus dikejar-kejar oleh para Sylph. Hidupnya akan dipenuhi dengan pertarungan dan pembunuhan yang tidak kunjung usai. Itu juga yang terjadi pada Ibu, kan, Kak? Kak Soraru, aku takut, aku tak mau hidup seperti itu!," rengeknya sambil terus menangis.
Tanpa kusadari, airmataku pun berjatuhan. Aku balas mendekapnya kuat-kuat. "takkan kubiarkan hal itu terjadi padamu," ujarku, "aku akan menjagamu sampai titik darah penghabisan. Aku takkan biarkan makhluk-makhluk jahat itu menyentuhmu barang sekali saja. Aku janji, aku takkan meninggalkanmu sendiri, Orion, aku janji."
Orion mulai berhenti menangis. Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca, "Kak Soraru..."
Aku tersenyum dan mengelus kepala adikku itu. "Ayo, kita makan malam. Aku sudah buatkan makanan kesukaanmu tadi," ajakku, berusaha menghiburnya. Senyum Orion merekah. Wajahnya memerah senang. Ia kembali ceria, "Ayo, Kak!."
Kami lalu berdiri, menghapus airmata, dan melangkah bergandengan masuk ke rumah kecil kami yang berharga. Aku akan menjaganya, seluruh kebahagiaan ini akan kujaga dengan baik, hingga tak ada seorangpun yang bisa merusak apalagi menghancurkannya.
Setidaknya, itulah yang kupikirkan.
Malam itu, dari tingkap kamarku di lantai dua yang langsung menghadap halaman belakang, aku termenung, menatap lautan dari jauh yang tampak begitu luas. Rasanya aku ingin terbang diatas sana. Bebas, lepas, tanpa beban apapun yang harus kupikul.
Ingin rasanya aku mengajak Ayah dan Orion terbang bersamaku, pergi dari dunia yang sudah tak karuan ini. Hanya kami bertiga, di suatu tempat yang jauh dari dunia yang sekarang kami tempati. Jauh dari para Sylph. Aku tersenyum, kalau itu nyata, pasti rasanya menyenangkan sekali.
Aku menunduk, kalung bertali hitam itu masih tersemat di leherku. Bandulnya berupa batu bening kebiruan berbentuk bulat yang berkilauan diterpa sinar rembulan. Bagian dalam batu itu seperti terdapat gelembung-gelembung kecil yang seakan menambah kemilau batu berharga itu. Batu itu takkan pernah kuserahkan pada siapapun, atau membiarkannya hilang begitu saja.
Aku tersenyum sembari mengusap kalung batu itu, "Ibu, aku kangen sekali rasanya."
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Ayah meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya sudah parah. Pelayat berdatangan, suasana sedih dan belasungkawa menyelimuti rumah kecil kami. Mata besar Orion yang biasanya terlihat bersinar, hari ini nampak kuyu. Ia sudah terlalu banyak menangisi kepergian Ayah. Aku tak bisa berbuat banyak, yang bisa kulakukan hanyalah banyak menghiburnya agar tidak terlalu larut dalam kesedihan yang amat suram ini.
***
Yahuuu!!! Kafka apdet 3 cerita sekaligus! Mantaap... ( ̄▽ ̄)
Fyi, untuk apdet White Daisy memang bareng dg Memento, jadi jgn kaget yaak? Hehe...
Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ya minna! Jaa na!! 👋😆
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro