Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Para 'Amatir' di Garis Depan

Aku tidak bisa tenang. Rasanya ingin sekali maju melakukan sesuatu. Terlebih, bala bantuan tak kunjung datang. Staff keamanan museum sudah berusaha menghalau sylph itu, tetapi kita kekurangan tenaga. Mereka tidak mampu menghentikan makhluk raksasa itu.

"Lihat! Itu, kan, Mafu!" pekik Amatsuki sambil menunjuk salah satu layar. Terlihat di sana Mafu berlari ke arah monster itu. Ia mengayunkan tangannya, dan dengan sekejap api menyembur ke arah sylph raksasa. Sylph yang semula berniat memangsa salah satu penjaga museum sontak melepaskan buruannya.

Raksasa itu geram menyerang Mafu. Laki-laki albino itu dengan tangkas menghindar, melompat cepat hingga akhirnya mendarat di atap. "Kau cukup menyebalkan, ya," gumamnya lirih.

Anak itu lalu melepas sesuatu dari lehernya. Sebuah liontin merah berbentuk bola bening seukuran kelereng. Aku terkejut. Wujud liontin itu sama persis dengan punyaku. Bedanya, milikku berwarna biru.

"Pergilah kau ke neraka, monster!" ujarnya sambil mengayunkan tangan yang menggenggam liontin. Seketika, liontin itu mengeluarkan sinar lantas berubah bentuk menjadi sebuah senjata. Senjata yang sama seperti yang kulihat ketika pertama kali bertemu dengannya.

Teman-temanku yang lain serta Tuan Dunken dan Tuan Akatin terkejut. "Itu senjata konektor??" seru Tuan Akatin tak percaya. "Kupikir kabar kalau dia memilikinya itu cuma rumor, tapi ternyata benar, ya?" timpal Tuan Dunken tak kalah terkejut.

"Senjata itu... darimana dia mendapatkannya?" tanya Tuan Akatin sambil mundur beberapa langkah ke belakang.

Aku hanya terdiam mendengar mereka. Rasanya jadi tak enak sendiri. Tak lama, aku berbalik lalu pergi. "Bluediamond! Kau mau kemana?" cegat Tuan Dunken saat aku baru sampai di depan pintu.

Aku berbalik. "Saya mau kembali ke asrama. Teman-teman diungsikan kesana, kan? Saya rasa saya harus menyusul mereka," ujarku sekenanya. Mendengar alasan itu, Tuan Dunken akhirnya mengizinkanku dan teman-teman kembali.

"Tadi itu bohong, sih," gumamku di tengah jalan saat kami sedang berlari.

"Sudah kuduga kau akan melakukan itu," balas Kashitaro, "kau mau ke halaman depan, kan, Soraru?"

Aku tersenyum kecil lalu kembali membalas ucapannya, "Kau keberatan?"

Kami semua ternyata sepemikiran. Kami tidak ingin bergantung pada keadaan. Tidak ada yang bisa menjamin bala bantuan akan tiba tepat pada waktunya. Karena itulah, mengulur waktu mungkin bisa menjadi pilihan yang bagus.

"Jadi, apa rencana kita sekarang, Tuan Ketua?" tanya Naruse pada Kashitaro. Pemuda onyx itu tersenyum. "Tentu saja, kita akan membantu Mafu. Meskipun aku yakin kekuatan kita tidak sebanding dengannya, setidaknya kita bisa membantu. Dia tidak mungkin sanggup menghadapi makhluk sebesar itu sendirian."

Kami semua setuju. Dengan langkah bergegas, kami menuju ke halaman. Sesampainya kami di sana, ternyata memang tengah terjadi sebuah pertarungan sengit.

Mafu menggerakkan senjatanya dengan cepat. Tombak besar itu mengayun, menebas tubuh sylph dengan mata kapaknya yang berpendar. Kilatan merah terlihat, tak lama dari luka tebasan itu api menyulut.

"Jadi itu yang dimaksud senjata yang bersatu dengan kekuatan penggunanya, ya?" Naruse menggumam. Luz menanggapi, "Sepertinya begitu."

Sylph tadi mengerang murka, lantas melancarkan serangan balasan pada Mafu. Anak itu menghindar dengan cekatan, lalu dengan cepat melancarkan serangannya yang lain.

Mafu sudah terlihat seperti profesional saja. Ia melompat, menyerang, dan menghindar dengan baik. Setiap tindakannya sudah dipikirkan masak-masak dalam waktu sangat singkat. Kami semua sempat tidak percaya kalau anak itu adalah orang yang sama yang makan belepotan tadi sore.

Mafu menghindar lagi dari sebuah serangan. Dia mendarat di sisi atap yang miring. Nahas, kedua kakinya tergelincir. Anak itu terjatuh dari atap.

"Awas! Berbahaya!!" Lon berseru sambil mengangkat tangan kanannya. Sebentuk kumparan angin tiba-tiba muncul dari bawah Mafu. Pemuda itu segera mendarat lembut di tanah dengan selamat.

"Kalian kenapa menyusul kemari?" tanya Mafu terkejut ketika kami menghampirinya.

"Kami berniat membantumu," terang Amatsuki disertai anggukan dariku. Raut muka Mafu terlihat kaget, ia lantas berbalik. "Aku tidak perlu bantuan!" ujarnya.

Aku langsung menarik kerah seragamnya dan memaksa mata ruby miliknya bersitatap dengan sepasang mataku. Jarak kami begitu dekat. Aku menatapnya intens dengan tatapan kuat.

"Kami baru beberapa jam yang lalu bilang kau boleh mengandalkan kami," kataku penuh penekanan, "cukup permainan memaksakan dirimu itu, Mafu! Kami teman seregumu. Jangan sok kuat hanya karena kau tidak mau kami terluka. Kami tidak payah!"

Si albino tertegun, memikirkan perkataanku. "Menghalangi kami dari medan perang sama saja dengan sebuah penghinaan," Naruse menyela sambil berjalan mendekati kami. Gadis itu menatap Mafu serius, "Izinkan kami membantu, Mafumafu Starlet!"

Maniknya terlihat melebar beberapa saat, setelah itu terpejam. Ia membuka lagi matanya dan menatap kami mantap. "Baiklah, apa rencana kita?" kata dia akhirnya.

Sylph itu hendak menghancurkan gedung utama ketika tiba-tiba berbagai cahaya putih mengitarinya. Kashitaro berdiri dengan kedua tangan direntangkan. Kartu-kartu dengan berbagai tulisan rumit mengitarinya.

"Bagaimana menurut kalian, kawan-kawan?" tanya dia. Kami memandang orang itu takjub. "Aku pernah dengar ini," ujar Amatsuki, "Ketika seseorang yang memiliki kemampuan berinteraksi dengan dunia lain terpapar gelombang mirage, mereka bisa mengendalikan spirit."

"Tapi kukira itu cuma mitos. Karena katanya mustahil gelombang mirage bereaksi dengan indera keenam. Dia akan pecah dan menyebar karena barrier dari aura indera keenam itu sendiri," Naruse menyela.

Aku menanggapi, "Memang, karena itulah kasus semacam ini sangat jarang terjadi." Kemudian Mafu menambahi, "Sekalinya terjadi, biasanya pemburu itu akan sangat kuat karena itu artinya kekuatan gelombang mirage yang menerpa dia bahkan sanggup menembus barrier indera keenam."

Kami sontak menoleh ke arah Kashitaro. Pemuda itu mengedipkan sebelah matanya sambil menjulurkan lidah. Saat itulah aku sadar ada tanda berpendar dengan pola membentuk kepala rubah ada di sana, di lidahnya.

Sudah pernah kukatakan, bukan? Bahwa biasanya tanda pemburu terletak di tempat-tempat yang mencolok. Itu berarti juga tempat-tempat yang tidak lazim, contohnya seperti yang terjadi pada Kashitaro ini.

Luz di belakang kami tengah memejamkan mata, memfokuskan pikirannya. Ia butuh waktu agak lama, jadi kami mengulurkan waktu untuknya.

Aku maju, yang lain mengikuti. Pertama-tama aku mengentakkan kakiku ke tanah dengan kuat. Es langsung menjalar, memerangkap kaki monster itu. Naruse dan Mafu bergerak cepat. Dimulai dengan manuver Naruse yang menakjubkan, seketika semburat listrik menjalari tubuh makhluk itu.

Sylph raksasa yang baru kena setrum itu langsung mendapat serangan lanjutan dari Mafu. Ia menyabetkan senjatanya. Api langsung membakar. Lon membantu dengan menciptakan aliran angin kencang, menciptakan udara yang semakin panas buat si raksasa.

Ternyata serangan-serangan tadi belum cukup kuat untuk mengalahkan Sylph itu. "Masih belum, kah, Luz?" desak Amatsuki. Luz menggeleng sambil masih terpejam. "Sedikit lagi," katanya.

Mafu mengubah senjatanya kembali menjadi liontin, sesuai rencana. Kashitaro dengan cepat bertindak. Ia segera menggerakkan kedua tangannya ke depan. Tiba-tiba lingkaran bercahaya muncul di bawahnya dan dengan sekejap, sesuatu juga muncul di langit. Sesosok makhluk berpendar yang nampak agak transparan.

"Dia berhasil memanggil roh kuat! Luar biasa!" Amatsuki berkomentar kagum. Roh yang dipanggil Kashitaro dengan cepat menyerang si monster raksasa. Perlawanan sengit terjadi beberapa waktu setelahnya. Aku dan teman-teman yang lain membantu Kashitaro.

Agaknya kami cukup berhasil. Sylph itu terlihat bingung dengan serangan beruntun yang berbeda-beda. Makhluk itu mulai melemah. Kami berhasil!

Lalu di baris paling belakang, Luz yang sedari tadi terpejam tiba-tiba membuka matanya. "Sudah siap!" katanya. Amatsuki langsung berseru pada kami, memberitahu bahwa Luz sudah siap.

Saatnya memulai tahap kedua yang lebih serius. Dengan tangkas aku berlari ke hadapan sylph itu. Mulai di satu titik aku mengayunkan tangan kananku kencang. Seketika jajaran es meninggi bak ombak di lautan dengan cepat.

Aku menghembuskan napas, uap karbondioksida beku menguar bergabung dengan belaian angin dingin yang melambaikan rambutku. Dalam kondisi malam seperti ini, tanda di bawah mataku tampak berpendar lebih jelas.

Karena terbentuknya dinding es yang tiba-tiba itu, si raksasa tak siap. Makhluk mengerikan itu tersandung dinding es dan segera jatuh ke arah gedung. Saat itulah Luz dengan cepat menodong satu tangannya ke depan, membuka jari-jarinya. Saat itu juga sebuah lapisan melindungi gedung museum.

Inilah kekuatan terkenal dari keluarga Orphanox. Klan mereka terkenal karena mampu memanipulasi mana. Seingatku, aku sering melihat aksi mereka di televisi, akan tetapi aku belum pernah melihat manipulasi mana sekeren ini.

"Anak-anak itu luar biasa," puji Tuan Akatin di ruang kendali. Tuan Dunken mendengus kesal. "Kenapa kau melarangku untuk segera menghentikan aksi nekat mereka tadi?" omelnya tak terima. Tuan Akatin tersenyum simpul, "Aku hanya mau mencoba melihat apa yang akan terjadi. Kudengar anak-anak itu dijuluki regu elit."

Tuan Dunken hanya bisa memutar bola matanya sambil berkacak pinggang. "Ayolah, aku serius, Pak Dunken. Lihat saja, belum pernah ada anggota klan Orphanox yang mampu menyelubungi satu gedung sebesar itu dengan mana! Si gadis Chatterwise itu juga punya kecepatan dan serangan yang mencengangkan. Belum lagi kau lihat dua orang itu? Bluediamond dan Starlet, kekuatan mereka luar biasa!" Tuan Akatin berceloteh penuh semangat.

"Harus kuakui mereka semua memang anak-anak berbakat. Kau tahu anak bernama Amatsuki itu? Ia mempunyai kekuatan yang belum pernah dimiliki pemburu manapun sepanjang sejarah," Tuan Dunken menambahi, setuju dengan Tuan Akatin.

Tuan Akatin mengusap dagunya. "Hmm... apakah ini semua adalah sebuah kebetulan? Ataukah berkumpulnya anak-anak itu memang sudah diatur?" ia bergumam sendiri.

Kembali ke pertarungan kami, sylph raksasa itu terbentur tameng mana yang dibuat Luz dan mengguling ke samping. Kami sudah menyerang dia habis-habisan, mungkin saja sylph itu sudah K.O saat ini.

Tapi ternyata kami keliru. Monster itu masih bisa bangun lagi. Dengan auman kemurkaan, ia mengembangkan tubuhnya. Kulit yang semula polos, kini mulai ditumbuhi duri-duri besar.

Kami terperangah ketika monster itu mengaum lagi sambil menegakkan duri-duri serta cakar besarnya. "Soraru! Kita malah membuatnya semakin di-upgrade! Bagaimana ini??" seru Amatsuki panik.

Aku tersenyum. "Tidak, ini persis seperti perkiraanku."

Kemudian aku maju, berjalan seorang diri. Setelah agak jauh, aku melentingkan liontin biru milikku ke udara. Benda itu berpendar seiring dengan tanda pemburuku yang turut mengeluarkan sinar kebiruan. Saat bandul biru itu telah jatuh kembali ke tanganku, aku memainkannya sebentar selagi dia berubah bentuk.

Yang lain termasuk Mafu, amat terkejut mendapati bandul liontin kaca biru milikku kini sudah berubah wujud menjadi pedang bermata kaca yang sangat kokoh. Aku menebaskan pedang itu ke samping, menempis udara dingin yang langsung melesat serupa kabut berwarna putih samar yang menari-nari di udara.

"Senjata... konektor?" lirih Kashitaro kaget.

Di ruang kendali, Tuan Akatin menggebrak meja dengan terkejutnya. "Tidak mungkin! Soraru Bluediamond itu... juga mempunyai senjata konektor?!" serunya. Tuan Dunken sendiri melongo sampai kacamata bundarnya turun.

"Mafu! Aku butuh bantuanmu!" pintaku, menyadarkan lamunan Mafu. Anak itu menjawab agak tergagap sembari mengangguk, kemudian mengubah bandul merahnya menjadi senjata konektor.

Mafumafu lalu melompat, mengangkat senjatanya sembari terjun menerjang sylph itu. Begitu jarak mereka dekat, ia langsung menyabetkan senjatanya. Api dengan cepat menyambar, membakar bagian atas sylph itu yang langsung mengerang keras.

Aku menatap makhluk itu tenang. Langkahnya yang tak stabil membawa makhluk itu mendekat padaku, dengan bagian atasnya diselimuti api. Setelah memasang senyum kecil, aku menebaskan pedangku kuat-kuat.

Gelombang angin dingin yang sangat besar membekukan jalanan, begitu angin tersebut menyentuh kaki si sylph, sontak mereka bergerak dengan sangat cepat secara vertikal, menyebabkan sekumpulan stalagmit es terbentuk secara tiba-tiba.

Memanfaatkan kesempatan, Mafumafu yang baru berpijak di tanah di belakang sylph raksasa langsung melesat, menaiki ekornya yang menjuntai ke tanah dan terus ke punggungnya. Sambil berlari, ia pun memotong duri-duri yang tumbuh di sepanjang punggung si monster.

Saat Mafu sampai di bagian tengkuk monster itu, ia melompat cepat ke udara. Di saat yang bersamaan aku juga melompat. Kami bertemu di udara. Aku menggenggam pangkal senjata milik Mafu dan kemudian anak itu menarikku lalu mengempasku lebih ke atas. Ia sendiri mendorong dirinya agar sejajar denganku.

Setelah mencapai ketinggian maksimal, perlahan kami berhenti dan mulai meluncur turun. Kami berdua terjun bebas, mengarah pada sylph raksasa sambil menghunuskan senjata kami. Kedua senjata tersebut membentuk lintasan api dan es sehingga meninggalkan jejak lintas di udara.

Kami berputar, membentuk spiral api dan es yang bercampur terus mengarah pada sylph raksasa yang masih tak bisa melepaskan diri dari stalagmit es yang kubuat.

Kami berdua semakin dekat menuju sasaran, dan pada akhirnya menghantam sylph itu, menimbulkan ledakan yang besar karena percampuran udara panas dan dingin bersamaan.

Luz yang tanggap menyelimuti kawan-kawan lain dengan tameng mana agar mereka tidak terkena efek ledakan. Asap mengepul, pijaran ledakan begitu menyilaukan. Aku rasa, mungkin saja saat kami melakukan serangan kompak itu, tanah ikut bergetar karena serangan kami.

Aku dan Mafu sama-sama terengah. Sekitaran kami sudah sangat berantakan. Luar biasa! Api dimana-mana dan sebagian besar halaman gosong karena serangan penghabisan kami.

Kami melihat sylph raksasa itu sudah teronggok tak bergerak dengan tubuh gosong menghitam. Menyadari makhluk itu sudah tidak dapat bergeming lagi, aku dan Mafu terduduk di tanah, antara lega dan kelelahan.

"Hah... hah... kita berhasil, Mafu," kataku sambil terengah. Mafu membalas dengan anggukan disertai senyuman.

Setelah agak baikkan, kami berdua saling bantu berdiri. Kami mengubah kembali senjata kami menjadi bandul liontin. Saat itulah, terdengar derap langkah kawan-kawan menghampiri kami.

"Kalian berdua luar biasa!" seru Kashitaro dengan hebohnya. Pria jangkung itu langsung merangkul kami berdua sambil tertawa. Yang lain ikut tertawa. Kami semua saat itu merasa puas. Belum ada satu semester kami bersekolah di akademi, kami sudah berhasil menghadapi sylph di medan perang sungguhan.

***

Are you mudeng, gaess??

Ehe... Gomen ne, kalo adegan aksinya kacau berantakan dan malah bikin pusing.

Tapi gimana? Keren gak? Keren gakk????

Oke, daripada kalian capek liatin ocehan ga gunanya Kafka, kali ini Kafka cukupkan sekian dulu, yaa...
Sampai jumpa next chapter!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro