Lost
"MAFUUUU!!!!"
Yang lain mengikutiku, ikut memanggil nama Mafu juga. Hari mulai gelap, tapi pucuk putih itu tak kunjung kami temukan. Hutan ini benar-benar luas. Kami saja mungkin belum ada satu kilometer berjalan. Ini lebih sulit dari yang kuduga! Aku hanya membatin.
Aku sudah berusaha mencari, bahkan tempat pertama yang kusambangi adalah taman liar di tengah hutan itu. Namun nihil, Mafu tak kutemukan disana.
Aku terus berlari dan berlari. Suaraku rasanya mau habis, kaki dan tenggorokanku sakit. Tetapi rasa cemasku mengalahkan semua itu. Semua ini juga terjadi karena salahku. Menyesal sudah tak ada gunanya, aku harus menemukan anak itu lalu minta maaf padanya!
"Sudah kau temukan?" Naruse bertanya sambil terengah. Aku menggeleng, napasku juga tak teratur.
Yang lain juga tak membuahkan hasil yang baik. Aku semakin cemas, kemana anak itu pergi?
Aku berusaha tenang. Sial! Anak itu bahkan tak memerhatikan arah ketika berlari! Apa tak ada cara lain untuk menemukan anak ini?
"Tenanglah, Soraru! Kita pasti bisa menemukannya," hibur Kashitaro.
Aku mengatur napas. Sekeras apapun aku berusaha, rasanya hatiku ini tak bisa tenang memikirkan Mafu. Walaupun ia punya kekuatan yang luar biasa, sifatnya yang kekanakan itu benar-benar tak menutup kemungkinan dia tak bisa menangani masalah sendirian.
Kemudian Lon menepuk bahuku, "Aku akan coba menemukannya," ujar dia. Keningku berkerut, aku sama sekali tak mengerti.
"jarak kita masuk sudah cukup jauh, seharusnya salah satu skill-ku bisa berfungsi disini," gadis itu melanjutkan.
Kemudian ia terdiam, matanya terpejam cukup lama. Gadis itu membiarkan angin hutan menerpa dirinya, seakan tengah berkomunikasi.
Aku yang tak mengerti berbisik pada Naruse, "Apa yang dia lakukan?"
"Dia sedang merasakan angin. Kau tahu? Aroma setiap tubuh itu berbeda-beda. Sekarang ini, Lon sedang berusaha mencari keberadaan Mafu dengan mengenali aromanya," terang Naruse.
Aku mengangguk paham. Memang hebat keluarga Arashi. Meskipun ia hanya berasal dari keluarga cabang, ia cukup kuat. Aku bisa merasakannya.
Tak lama, ia menghembuskan napas, terdengar lega. "Sepertinya aku menemukannya," kata dia. Aku langsung menyerbunya, "Dimana?"
Lon tersenyum, "Seharusnya dari kekuatan aromanya tak begitu jauh dari sini. Asalnya dari arah timur laut."
Aku langsung berlari begitu Lon selesai bicara. Yang lain mengikutiku. Dalam keadaan ini, mungkin sedari tadi akulah yang paling panik.
Samar-samar, aku mendengar suara air mengalir. Sungaikah? Asalnya dari depan sana. Dengan sekali lompatan, aku memperpendek jarak dengan sumber suara secara instan.
Benar, sebuah sungai. Pantulan rembulan nampak menari di permukaannya yang jernih. Sungai itu tak terlalu dalam, aku bisa melihat dasarnya yang berbatu dan beberapa ikan kecil yang berenang. Beberapa batu yang lebih besar menyembul ke permukaan sungai.
Aku mengedarkan pandanganku ke segala arah, berusaha mencari. Akhirnya mata biruku berhasil menangkap sesosok anak yang duduk memeluk lutut, wajahnya ia sembunyikan.
Melihat warna putih rambutnya, tanpa ragu aku berteriak, "Mafu!"
Si pucuk putih hampir terlonjak dan pelan-pelan mengangkat kepalanya. Aku bisa melihat wajahnya memerah dan pipinya sudah basah. Mata indahnya berkaca-kaca dan terdengar beberapa senggukan kecil.
"So...raru?" ia memanggilku, pelan dan ragu.
Aku berdiri di hadapannya, tak lama aku berlutut. "Aku... maafkan aku."
Kedua maniknya membulat, masih tampak berkilat.
"Aku terbawa emosi tadi. Aku tak bisa menahan diri. Semua salahku, jadi... aku minta maaf."
Pelan dia menggeleng, tak lama mulai merengek lagi. Airmata beningnya itu terus berjatuhan, mungkin juga mudah berjatuhan. Anak yang memiliki kekuatan diluar batas ini benar-benar sangat sensitif.
Wajah itu, tangisan itu, entah kenapa mengingatkanku pada Orion. Oh, ayolah... apakah mereka berdua benar-benar semirip itu? Sepertinya hanya aku yang merasa de javu disini.
"Soraru! Mafumafu!"
Kami menoleh, nampak Kahitaro dan teman-teman yang lain berlari ke arah kami.
"Syukurlah, kau baik-baik saja," ucap Lon gembira. Yang lain juga nampak lega.
Mafu justru semakin berkaca-kaca, "Kalian...mencariku? kalian semua?"
Yang lain mengangguk sambil menyunggingkan senyum.
"Tapi... kenapa?" Mafu masih tak percaya.
Kashitaro perlahan mengusap pucuk kepala itu lembut, "Ya jelas karena kau teman kami, lah. Memangnya apalagi?"
Mata Mafu semakin membulat. Kilat-kilat disana seakan menari-nari berputar. Beberapa saat kemudian, ia kembali terisak. Aku tahu dia butuh sebuah sandaran, makanya kubiarkan dia membenamkan wajahnya dalam bahuku dan menangis meraung-raung.
Ya, selama ini dia tak punya orang lain untuk dijadikan sandaran. Maka dari itu saat ini ia menumpahkan semuanya. Kesedihan, kesepian, rasa terharu dan bahagia bercampur jadi satu. Aku bisa merasakannya dengan baik, begitu juga rekan-rekan timku yang lain.
Setelah tangisan itu mereda, Mafu tertidur kelelahan. Bulan sudah meninggi. Angin malam mulai bertiup kencang. Udara semakin dingin saja, kami harus segera kembali ke asrama.
Kami kembali berjalan menyusuri hutan, melewati pepohonan tinggi. Mafu yang sudah tertidur digendong Luz yang memang paling jangkung diantara kami.
Sialnya, kami tersesat. Kami benar-benar tak tahu kemana jalan pulang. Sudah lama kami berjalan, namun rasanya kami malah masuk semakin jauh ke dalam hutan ini.
"Kenapa rasanya kita justru tersesat semakin jauh?" Luz mulai curiga.
Yang lain terengah. Kami sudah sangat kelelahan. "Bagaimana kalau sekarang kita istirahat dulu? Ada pohon yang lumayan besar disana. Kita bisa duduk beristirahat di bawahnya," tawar Kashitaro sembari menunjuk pohon yang dimaksud.
Tak mau ambil pusing lagi, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Mafu masih terlelap. Syukurlah, menurutku itu lebih baik, karena jika ia bangun dan sadar bahwa teman-temannya tersesat, dia akan menyalahkan dirinya lagi.
Aku tersenyum melihat wajah putihnya yang tidur damai dengan polosnya. Dimataku, dia benar-benar seperti anak kecil.
"Dia manis, ya?" komentar Lon yang tahu-tahu sudah bergeser mendekatiku. Agak membuatku terlonjak.
"kau tahu? Kurasa dia setahun lebih tua dibanding aku, tetapi rasanya aku seperti melihat anak kecil saja," imbuhnya. Sama, Lon. Aku pun berpikir demikian.
Tapi tunggu, tadi dia bilang lebih tua setahun? Lagi-lagi aku memuji keluarga Arashi dalam pikiranku. Memang iya, dari penampilan dan sikap yang ia tunjukkan, aku bahkan mengira Lon lebih tua dariku, nyatanya tidak?!
Luz yang sepertinya melihat ekspresi bodohku berusaha menahan tawa. Aku melemparkan tatapan tajam padanya. "Ayolah, Soraru... kau sendiri cowok yang manis..." dia meledekku.
Aku mendengus kesal. Wajahku jadi memerah tomat karena malu sendiri dan kesal dikatai begitu. Ternyata bukan hanya Kashitaro yang perlu kuwaspadai keusilannya.
"Tetapi memang benar. Si Mafu ini kayak ngga pernah berinteraksi dengan manusia lain. Dia ngga ada bedanya sama anak TK. Mungkin ini pengaruh masa lalunya sebelum masuk ke akademi. Rumor yang beredar mengenai dia pasti menakuti banyak orang," ujar Naruse.
"Karena itu dia tak pernah bicara pada orang lain, ya?" imbuh Lon.
Aku menatap mereka bingung, "Masa lalu? Takut?"
Mereka justru menatapku heran. "Soraru, kau itu mengikuti berita terbaru tidak, sih? Masa' kamu tidak tahu rumor tentang Mafu?" Amatsuki bertanya heran. Teman-teman yang lain juga sama. Rasanya aku jadi merasa primitif disini.
Tiba-tiba, pembicaraan kami terhenti lantaran terdengar suara gemerisik tak jauh dari tempat kami beristirahat.
Aku dan yang lainnya memasang mode siaga. Takut kalau yang muncul binatang buas. Atau bahkan mungkin, sylph.
Lalu dari sana muncul dua orang pria yang sepertinya baru saja akan melewati kawasan ini. Mereka nampak terkejut melihat kami.
"Hei, Nak, apa yang kalian lakukan di tempat seperti ini?" tanya salah satu dari mereka.
Kami mulai tenang. "Ah, ka-kami... kami tersesat," akhirnya Kashitaro memberi penjelasan.
Orang itu memerhatikan kami dari atas sampai ke bawah. "Seragam itu... apa kalian murid dari Akademi Pemburu?" tanya pria itu lagi.
"Oh, ya, Anda benar," Kashitaro kembali menjawab.
Mereka berdua tersenyum ramah dan mendekati kami, "Wah, perkenalkan, aku Bob, ini temanku Jim. Hari sudah larut, bagaimana kalau kalian menginap dulu di tempat kami? Tak begitu jauh dari sini, kok," tawar pria bernama Bob itu.
Kami ragu, mengapa dua orang asing ini mengajak kami bermalam? Dilihat darimanapun, mereka mencurigakan, bukan?
Seakan sadar dengan apa yang kami pikirkan, Bob tertawa, "Tenang saja. Kami seperti penjaga hutan ini. Kami juga bagian dari akademi, kalian tahu? Jarak dari tempat ini ke akademi lumayan jauh dan berbahaya, banyak binatang buas. Makanya kami menawarkan kalian untuk bermalam di tempat kami. Besok pagi akan kami antarkan."
Kami saling pandang. Sekarang kami benar-benar bingung harus berbuat apa. Tetapi ada benarnya juga yang mereka katakan. Tidak mungkin kan kami memaksakan diri mencari jalan pulang? Toh, mereka bilang mereka orang akademi.
"Baiklah kalau begitu, kami akan menginap," tandas Kashitaro akhirnya. Kedua orang itu tersenyum, lalu mengajak kami mengikuti mereka.
Kami menurut. Mafu yang masih tertidur kembali digendong Luz. Aku heran, setelah semua keributan tadi, anak ini masih bisa tertidur? Hebat sekali!
Tak lama, sampailah kami di sebuah rumah yang agaknya merupakan satu-satunya rumah di tempat ini. Penerangannya lumayan minim, paling hanya lampu minyak yang dipasang di sudut-sudut bangunan.
Setelah mengucap permisi, kami bersama Bob dan Jim memasuki rumah tersebut. Ternyata ada tiga orang lain di rumah itu.
"K-kau??!!"
Aku terkesiap, salah seorang diantara mereka nampak kaget ketika melihatku.
Aku tersentak, orang itu adalah orang yang kutemui pagi itu ketika berada di taman hutan, saat pertama kali bertemu Mafu.
Bob memandang kami heran, namun kemudian dia paham situasi. "Ah, kenalkan, dia Harry, salah seorang rekanku. Dua orang disana Jody dan Rodd. Hey, mereka hanya anak-anak yang tersesat. Malam ini mereka akan menginap," terangnya santai.
Orang bernama Harry itu menatap Mafu yang berada dalam gendongan Luz dengan was-was. Ah, benar juga. Bukankah waktu itu dia memang sedang dikejar oleh Mafu? Tetapi kenapa?
Baru saja aku ingin bertanya, Bob menyela, "Baiklah, anak-anak, kamar kalian di sebelah sini."
Dia menuntun kami ke sebuah ruangan. Hanya ruangan kosong, memang. Tak ada apapun disana. "Maaf, ya... rumah kami memang seadanya. Kami juga tak mempunyai tempat tidur," ujar Bob dengan nada kecut.
Kami juga jadi tersenyum kecut, "A-ah... tidak apa-apa, kok," balas Luz maklum.
Bob tersenyum, kemudian pintu tertutup. Kami semua menarik napas lega. Luz apalagi, sekarang dia bisa menurunkan Mafu yang masih saja terlelap dari gendongannya.
"Baik, mungkin sekarang kita bisa istirahat dengan nyaman," Luz menghela napas lega.
Kami semua memilih tempat masing-masing yang sekiranya nyaman untuk tidur. Aku memilih untuk tidur di samping Mafu saja. Di sebelahku ada Kashitaro, diikuti Luz. Sementara Naruse dan Lon memilih tempat lain di pojokan ruangan yang lumayan luas ini.
Tetapi, Amatsuki masih berdiri di dekat pintu. Dia tampak sedang memikirkan sesuatu. Karena tak tahan, aku mencoba mendekatinya.
"Amatsuki, kau kenapa? Ada yang salah?" tanyaku.
Amatsuki agak terlonjak ketika mendengar pertanyaanku. Aku mengernyitkan dahi, heran. Namun kemudian Amatsuki sadar situasi dan berusaha bersikap biasa saja.
"B-bukan apa-apa.."
Setelah berkata begitu, ia lantas duduk bersandar di tembok dekat tempatku tadi. Aku pun kembali ke tempatku masih dengan perasaan heran.
Kashitaro ternyata juga menyadari keanehan Amatsuki. "Amatsuki, kalau ada sesuatu yang kau resahkan, jangan sembunyikan dari kami. Kami kan juga rekanmu," ujarnya.
Naruse dan Lon yang mendengar hal itu kini agak merapat mendekati kami.
"Katakan saja, Amatsuki," bujuk Lon.
Amatsuki memeluk kedua lututnya agak erat.
"Kalian... tahu tentang rumor yang beredar tentang hutan sekolah?" akhirnya anak itu mau bicara.
Kami semua saling tatap, tak mengerti.
"Rumor yang mana?" Luz bertanya bingung.
Amatsuki terdiam sebentar, kemudian agak ragu dia melanjutkan, "Rumor tentang para siswa yang masuk ke hutan ini dan tak pernah kembali lagi..."
"Ah, rumor yang itu..." Luz mengangguk paham, "memangnya ada apa?"
Amatsuki menggigit bibir bawahnya, "Entahlah... aku merasa... tidak enak. Aku punya firasat seharusnya kita tak datang kemari..."
"Ah, kau terlalu melebihkan. Itu hanya rumor," sahut Kashitaro, berusaha menenangkan. Yang lain mengangguk. "Toh, mereka orang-orang yang baik dan familiar dengan akademi. Tak masalah, kan?" Lon menambahkan.
Amatsuki menundukkan kepalanya, "Begitu, ya... mungkin kalian benar, aku hanya terlalu memikirkannya." Setelah bilang begitu, ia merebahkan dirinya di atas lantai kemudian mulai terlelap.
Yang lain mengikuti. Aku juga begitu, kembali merebahkan diriku di samping Mafu. Anak itu masih saja tertidur, seperti... dia sudah tak tidur untuk waktu cukup lama.
Waktu terus bergulir, aku tak juga bisa memejamkan mataku. Rasanya aku tak bisa tidur. Bukan, bukan karena aku tak nyaman dengan kondisi seperti ini, tetapi karena hawa tak enak yang menyelimuti diriku sejak tadi.
Sungguh, perasaan apa ini? Rasanya instingku seperi baru saja menangkap sesuatu yang tidak aman. Sesering apapun aku mencoba mengganti posisiku, ragaku tetap tak bisa terlelap.
Tiba-tiba, aku mendengar seseorang menggumam tak jelas. Raga yang terbaring di sampingku mulai menggeliat. Oh! Apa akhirnya Mafu terbangun?
Aku merubah posisi menjadi duduk. Dan ternyata Amatsuki pun masih terjaga. Ia ikut duduk di dekatku, ikut mengamati Mafu yang perlahan membuka matanya, menguceknya, dan menguap kecil sambil melakukan peregangan.
Kemudian si manik merah itu duduk. Ia nampak linglung untuk beberapa saat. Kemudian masih dalam keadaan seperti itu, ia bertanya dengan ngantuknya, "Ngghh... ini jam berapa? Aku dimana?"
"Kita di rumah penjaga hutan," jawabku to the point.
Entah ada angin dari mana, seketika raut wajah Mafu berubah sangat drastis, auranya benar-benar sangat pekat, suram.
"Uwah... aura dia beda...," gumam Amatsuki tanpa mengalihkan perhatiannya dari sosok Mafu.
"Kita ngga seharusnya ada di sini. Kita harus keluar dari tempat ini!" kata Mafu dengan nada tajam.
Aku dan Amatsuki saling pandang heran, kemudian kembali menatap Mafu. "M-memangnya kenapa?" Amatsuki memberanikan diri.
Mafu menatapku dan Amatsuki intens, tatapannya masih setajam tadi. "Soraru, Amatsuki, kita harus segera pergi dari sini sebelum mereka sadar," ujarnya.
Aku dan Amatsuki bungkam, kami tak bisa mengatakan apapun untuk saat ini. "Mereka bukan penjaga hutan. Tidak pernah ada yang namanya penjaga hutan di tempat ini," tambah Mafu.
Yang terdengar hanya gemerisik angin dan daun pepohonan di luar serta beberapa suara aneh yang berasal dari dalam rumah yang memang sudah reyot ini.
Tak lama, Mafu berdiri, "Ada yang harus aku tunjukkan pada kalian." Kemudian ia melangkah mendekati pintu, merapat ke arahnya. Karena penasaran, aku dan Amatsuki mengikuti langkahnya.
Dengan sangat hati-hati Mafu mengintip dari celah pintu yang agak dia buka sedikit. Gelap, tak ada orang lain. Setelah merasa aman, pelan-pelan anak itu mulai mengeluarkan tubuhnya, mengendap-endap melewati ruang tengah yang tak terlalu besar.
Kami terus mengendap ke bagian belakang. Ada tangga yang mengarah ke bawah. Mafu mengajak kami menuruni tangga itu.
Ternyata ini ruang bawah tanah. Hawa dingin begitu terasa di tempat ini. Suasana sunyi, hanya terdengar suara tetesan air-entah darimana- dan suara tikus atau binatang kecil lain yang beraktivitas. Tak ada penerangan, suasana akan menjadi benar-benar gelap jika saja Mafu tidak menyalakan 'obor' di telapak tangannya.
Jalan kami buntu di depan sana. Tapi bukan tembok, semacam... teralis besi?
Mafu berbalik, menatap kami. "Kalian tahu soal rumor yang bilang ada beberapa siswa akademi yang masuk ke hutan dan tidak pernah kembali?" ia bertanya serius.
Sembari menelan ludah, aku dan Kiky mengangguk.
"Mereka tak hilang, teman, mereka di sini," katanya sambil mengarahkan tangannya yang mengendalikan secercah api sebagai obor ke arah teralis besi itu.
Aku dan Amatsuki sama-sama terperangah, tak percaya dengan apa yang sedang kami lihat. Kerangka-kerangka manusia, berserakan dalam 'penjara' besi itu. Tak hanya satu atau dua. Terlebih sebagian dari kerangka itu masih mengenakan... seragam akademi.
"Mereka pelakunya. Mereka membunuh para siswa yang masuk ke hutan lalu menjual organ-organnya dan menumpuk mayatnya di sini. Sudah lama aku mencari-cari mereka," terang Mafu panjang lebar.
Aku terkesiap, "Tunggu! Jadi waktu itu, kau..."
Mafu membalasnya dengan anggukan, "Hampir setiap malam aku kurang tidur karena mencari mereka. Kalau dibiarkan, aksi mereka ini akan semakin menjadi."
"Wah, wah, wah... analisa yang bagus..." terdengar suara tepuk tangan mengiringi ucapan tersebut. Sontak kami bertiga berbalik, mendapati kawanan Bob datang membawa teman-teman kami yang... sudah terikat.
"Sudah kuduga kau mengetahuinya. Tetapi aku benar-benar beruntung, ya, dari tadi kau tertidur. Aku jadi bisa membawa mereka kemari tanpa takut diserbu olehmu."
"Sialan, kau, Bob!" umpatku murka.
"Jangan mendekat, atau teman kalian akan mati semuanya," ancam dia tanpa ragu.
Perkataan itu cukup membuatku kaku di tempat, tak berani bergerak.
Tetapi dalam waktu sepersekian detik, api melingkari teman-teman yang disandera sebagai tameng. Dua orang yang berada di dekatnya ikut terbakar.
"Kau! Sialan-" Bob melempar pandangan sengit pada Mafu yang masih menatapnya dingin. Dengan cepat ia dan rekan-rekannya berusaha mengambil pistol yang mereka simpan.
Tetapi ternyata Mafu lebih gesit. Entah sejak kapan dia membawanya, Mafu langsung menebas pistol-pistol itu hanya dengan sebilah pisau kecil.
Mereka semua gemetaran. "K-kau, m...monster...," Bob menggumam terbata.
Mafu melirik ke arahku, membuatku tersentak. Kemudian ia menatap teman-teman yang lain, "Maaf, aku harus melakukan ini."
Sepersekian detik, darah terciprat kemana-mana. Jeritan orang-orang itu terdengar pilu. Mereka semua dihabisi, oleh seorang Mafu.
Pemuda bersurai putih itu, ekspresinya terlihat... menikmatinya. Airmuka yang tak pernah kulihat dari seorang Mafu. Sisi lain di balik sisi polosnya yang kekanakan. Seringai itu, tawa senang itu, bercampur dengan suara percikan darah dan jeritan.
Yang lain gemetaran. Bahkan Amatsuki dan Lon hampir muntah dibuatnya. Aku yang masih tak percaya dengan apa yang kulihat, tak sadar bahwa aku melihat mereka semua dicacah sampai habis tanpa berkedip sekalipun.
Sosok itu terdiam, diantara tumpukan mayat. Kemudian perlahan berbalik menghadapku.
"Kau lihat, Soraru? Aku seorang pembunuh."
***
Panjang yaa.... :")
Heheh, Mafu kalo ngga yandere kurang sedap emg. Sudah seringnya sih. Hehe...
Sebenernya w kasian sama Mafeng di sini. Dialah yang sangat ternistakan :")
Baiklah, cukup sekian. Sampai jumpa di chapter selanjutnya!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro