Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

WIYD 17. MELODI KEMATIAN

Yusril yakin, kalau dirinya sedang bermimpi apalagi saat tahu di dalam hutan memang tak ada bangunan apa pun untuk sekadar mengganti pakaian. Tetapi, ketika dirinya terbangun dari pingsan, tubuhnya terasa jauh lebih baik, bahkan pakaiannya pun sudah terlihat jauh lebih bersih dari sebelumnya.

Yusril kembali mengingat bagian paling penting sebelum dirinya hilang kesadaran. Ia juga mencoba menutup dan kembali membuka jemarinya berulang kali seakan ada sesuatu yang sudah terlewat. Namun, belum lama ia melakukannya, suara seseorang membuatnya tersentak. Ia juga menoleh sampai kedua matanya melebar sempurna menatap sosok yang sudah muncul dari balik pintu sebuah gubuk.

"Syukurlah kakak sudah bangun."

Mendengar suara manis itu, sejenak Yusril terdiam, ia bahkan sulit menelan ludahnya sendiri. Kedua matanya bahkan tak berkedip saat memandangnya. Tak lama, ia  menggeleng lalu menatap sekitar beberapa kali. Ia tak sadar kalau sejak tadi dirinya berada di teras sebuah gubuk. Di atas kursi bambu, ia kembali menyandarkan punggungnya pada dinding rapuh gubuk itu.

"Ada apa Kak?"

Tanyanya lalu memilih duduk tepat di sebelah Yusril yang kini sudah memejamkan kedua matanya. Dilihatnya wajah lelah Yusril membuat sosok di sebelahnya memandang cukup lama, sampai sebelah tangannya terulur menyentuh ujung alis Yusril yang sangat indah di matanya.

"Kakak begitu kurus sekarang, apa kakak tidak tidur berhari-hari, sampai tubuh indah Kakak menjadi kurus?"

"Saya pikir kamu sudah mati, Mandala."

"Aku di sini, selama Kakak ada, aku tetap di sini untuk Kakak."

"Tapi kamu sudah pergi terlalu jauh."

Sosok yang dikenal itu pun menggeleng, lalu menurunkan tangannya dan meraih sebelah tangan Yusril untuk digenggamnya.
Sentuhan yang selalu membuat Yusril terdiam seperti patung saat merasakannya.

Ia kembali membuka kedua matanya lalu melirik ke sebelah kanan, tak sadar kedua mata yang biasa menatap tajam itu berubah teduh, bahkan terlihat berkaca-kaca seakan sedang menceritakan semua keluhnya.

"Saya sendirian di kota itu, saya kehilangan kamu dan saya takut setiap kali malam tiba."

Lirih suara Yusril membuat orang di depannya menggeleng, tak lama tangannya terulur, tanpa di minta Yusril pun langsung menyandarkan kepalanya dalam dada Mandala, orang yang selama ini dicarinya.

"Saya sendirian, Mandala. Apa kamu tidak merindukan rumahmu?" 

Sekali lagi, suara lirih Yusril membuat Laki-Laki yang sedang bersamanya terdiam , tetapi sebelah tangannya tak henti menepuk punggung gemetar pemuda yang kini sudah menumpahkan keluhnya. Entah sudah berapa lama dirinya terjebak di dalam lorong dan menjelajah di setiap kota asing yang sama sekali belum pernah ia kunjungi sebelumnya.

Yusril hanya tahu kalau dia merupakan salah satu penduduk kota DEMANIA. Kotanya para penduduk berada dan tak punya hati. Di mana harta adalah segalanya. Namun, saat kerusuhan itu terjadi, semua hanya tinggal nama, harta yang mereka cari, harta yang mereka simpan, seakan tak ada gunanya. Bahkan untuk berlindung pun tak bisa. Mereka hanya ingat, kalau mereka harus pergi, tak peduli dengan apa yang sudah mereka raih, baik itu jabatan atau bahkan hal yang lebih penting lainnya. Yang mereka ingin hanya selamat dari bahaya.

Nyatanya, hari itu sudah seperti kiamat untuk penduduk DEMANIA,  banyak gedung yang terbakar, banyak rumah yang hancur dan sekolah pun sudah tak lagi bisa menjadi tempat berlindung anak-anak. Kota itu sudah tak lagi layak untuk ditinggali. Hanya bagi mereka yang masih mau tinggal karena haus akan kekuasaan. Seperti Yusril yang memilih tinggal, berharap Mandala akan kembali.

Padahal, saat itu ia tahu kalau kebahagiannya telah direnggut. Mulai dari kedua orang tuanya dibunuh oleh orang asing, juga Mandala yang hilang entah ke mana. Dan sekarang mereka bertemu di sebuah gubuk di dalam hutan. Rasanya Yusril ingin berteriak saat tubuhnya dipeluk semakin erat. Air mata itu sudah tak lagi terbendung, sampai akhirnya suara manis Mandala pun terdengar di telinga.

"Maaf, Kak. Aku yang salah."

Yusril menggeleng, ia tak akan bisa marah pada Mandala apa pun kesalahan anak itu, Yusril pasti akan memaafkannya. Ia tak sanggup apalagi dirinya yang membuat Mandala terluka. Bahkan, setetes air mata adik kecilnya keluar pun, tak akan Yusril biarkan. Ia begitu takut melukai Mandala, tapi ia juga tak tega melihat adiknya tersiksa.

"Kenapa, Mandala?"

Mandala melepas peluknya, kemudian mengusap pipi basah Yusril dengan lembut, tak lupa senyum hangat remaja itu selalu membuat Yusril ikut terbawa. Bukan hanya sikapnya yang lembut, tetapi tutur kata juga tatapan teduh itu selalu membuat candu bila didekatnya.

"Aku di sini sejak hari itu, kakak sudah berusaha mencari, bukan?"

Yusril mengangguk. Layaknya seekor itik, Yusril terlihat demikian bila berada di dekat Mandala. Padahal anak itu, adalah adiknya, tetapi sikapnya kadang jauh lebih dewasa dari anak seusianya. Dan saat Yusril kembali menatap wajah adik kesayangannya, kedua matanya menyipit, bahkan memilih duduk berjarak, sampai membuat Mandala yang ada di depannya terheran.  Sampai sebelah alisnya pun terangkat juga tatapan yang semula teduh pun berubah tajam.

"Ada apa Kak?" tanyanya

Tak hanya suaranya yang berbeda, tetapi senyum Mandala pun berubah, tak seperti yang dilihat sebelumnya. Dengan cepat Yusril beranjak dan berdiri sedikit menjauh. Tak lupa, pisau kesayangannya selalu ia pegang, walau sempat hilang saat melawan gadis bermata sipit gila menurutnya.

"Katakan, apa maumu?"

"Aku? Bukankah aku adik, Kakak?"

Yusril yakin kalau sebelumnya adalah Mandala, adik kecil kesayangannya. Tetapi, ada sesuatu yang aneh ketika bahunya ditekan kuat saat dirinya bersandar dalam peluknya. Ada sesuatu yang membuat dirinya sempat terdiam meski sudah merasakan keanehan di sana.

"Kakak tidak percaya aku?" katanya pelan.

Namun, tatapan tajam itu membuat Yusril semakin ingin tahu, karena tubuh yang ada di hadapannya adalah Mandala. Keluarga satu-satunya yang dia miliki.

"Buktikan, kalau kamu memang Mandala."

Bukannya menjawab, Yusril justru terkejut dengan suara tawa juga lantun melodi yang mengiringi langkah kaki anak lelaki yang kini sudah berdiri dan melangkah perlahan mendekat ke arah Yusril. Sementara Yusril masih diam di tempatnya, memandang wajah itu tanpa berkedip.

"Ada apa Kakak? Aku Mandala. Bukannya Kakak sedang mencari ku?"

Di sela ucapannya akan ada tawa menyeramkan hingga menyakiti telinga. Bersyukur Yusril mampu menahan diri, walau sempat terbawa suasana dan melamun, akhirnya Yusril sadar dan langsung mengambil perlawanan saat sebuah peluru hampir mengenai dirinya.

"Aku tahu Kakak pandai bermain senjata api, kenapa Kak?"

"Katakan siapa kamu?"

"Kakak lucu, ya. Sudah jelas kalau aku adikmu,"

Yusril tak lagi menanggapi, ia langsung todongkan pisau tepat di depan wajah Mandala. .

"Aku tahu kamu bukan Mandala."

Tawa yang sama kembali terdengar bersamaan dengan gesek biola yang begitu memekik telinga. Yusril sampai memejam, tetapi fokusnya tetap pad sosok yang kini tengah menunduk. Pakaiannya lusuh ada banyak noda merah di bagian lengan juga di perutnya. Bahkan, sebelah celana panjang yang dikenakannya pun sedikit sobek tepat dibagian lutut, hingga terlihat jelas kalau kulit putih itu berwarna merah pekat dan berbau.

"Bagimana Kakak tidak kenal aku, padahal aku sudah memberi Kakak hidup," ucapnya lirih.

Yusril ingin pergi saat tatapannya saling beradu, membiarkan bayangan abu-abu kembali muncul dan menggores sedikit lagi luka yang pernah ia alami saat bertengkar dengan Nadeva, teman yang kini sudah menjadi jasad.

"Katakan, di mana adikku?"

Saat Yusril mulai memaksa, saat itu juga suara gesek biola yang bersahutan dengan piano kembali terdengar, bahkan semakin keras sampai Yusril pun menutup kedua telinganya.

"Ini belum seberapa Askara, langkahmu masih sedikit lagi. Padahal, aku sudah katakan berhenti saja."

"Diam brengsek! Mending lo keluar sekarang!"

Bukan jawaban yang Yusril dapat, melainkan sebuah anak panah yang melesat sampai  menancap pada tiang gubuk yang masih disinggahinya.

Kedua alisnya menukik tajam saat membaca tulisan dari sebuah gulungan kecil yang digantungan pada anak panah tersebut. Yusril pun  kembali memandang sekitar bahkan, beberapa kali memutar tubuhnya untuk memastikan kalau apa yang dilihatnya adalah sungguhan. Nyatanya, tempat yang di tempati bukanlah sebuah gubuk tua, melainkan sebuah ruangan khusus dengan sebuah tuas besi yang mampu mengendalikan tembok besar yang ada di dalam hutan GRATINDA.

Tak lupa senyum Yusril yang menyeramkan membuat lawannya akan kesal, seperti sosok yang akhirnya ditunggu oleh Yusril.

"Tunggu saja."

Ucapnya, tetapi tangannya sudah memutar tuas  besi tersebut sampai membuat yang ada di tempat itu  berteriak. Namun, tak ada satu pun dari mereka mampu membuat Yusril luluh. Pemuda itu justru bahagia, terlihat jelas tawanya yang begitu menyeramkan.

⚓⚓

Hai, apa kabar? Semoga selalu baik. Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan jejak. Sampai ketemu di chapter berikutnya. Bye bye. 🥰

Publish, 13 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro