Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

WITD 8. MEMORI KECIL

DEMANIA, Dua Tahun lalu

Jauh sebelum itu, Yusril seorang pemuda baik juga penyayang, mengingat kedua orang tuanya begitu perhatian dan penuh kasih. Bersama Mandala kecil ia merasa punya dunia sendiri, mengingat bagaimana bahagianya saat mereka bersama.

Hidup dan tumbuh bersama membuat Yusril semakin mencintai tugasnya sebagai seorang kakak yang bertanggung jawab, mengingat banyak kejahatan di kota itu, ia semakin ingin menjadi kuat. Pemuda dengan gelar terbaik di salah satu sekolah ternama di kota itu seakan lupa, kalau kotanya adalah kota sunyi. Hanya ada beberapa penduduk juga beberapa gedung tinggi yang masih beroperasi.

Kendaraan beroda hanya mereka yang memiliki harta paling banyak yang memilikinya. Sementara mereka dengan sosial rendah, hanya mampu membeli sepeda tradisional sebagai transportasi. Kota itu pernah berjaya pada masa pemerintahan pria tua dengan status kotor di balik gelarnya.

Yusril sama sekali tidak ingin mengingat nama kepala pemerintah gila yang telah merenggut kehidupan indahnya. Ia hanya ingin mengingatkan bagaimana dulu, dirinya selalu memperlakukan Mandala dengan begitu manis. Senyum selalu terukir walaupun sedang kesal.

Anak itu selalu protes bila Yusril memasang wajah garang juga tatapan tajam, ia sudah hafal terlebih cara bicara Yusril yang terkesan sedikit aneh pendengaran Mandala. Terlihat kaku, tetapi tahu, kalau kakaknya begitu sayang, cara bicaranya yang seperti orang tua itu membuat Mandala percaya, kalau itu bukti rasa sayang pemuda itu padanya.

Kini, Yusril seperti kehilangan separuh dari seluruh jiwanya. Ia seperti manusia labil dengan beragam kata. Terdengar menyebalkan bila bertemu Nadeva, belum lagi ketika bertemu dengan sosok yang sedang ia hindari keberadaannya.

"Kak, kamu kalau pakai kemeja biru juga celana berwarna hitam itu ganteng maksimal, tahu."

Yusril terkekeh setiap kali ia mendengar penuturan Mandala saat anak itu berkunjung ke kamarnya.

"Tanpa kamu bilang, saya sudah ganteng, kan? Buna saja terpesona melihat anak bujangnya ini."

Bukan hanya Mandala, tetapi Yusril pun bahagia saat itu. Saat mereka mengobrol santai di dalam kamar dengan nuansa putih yang dipadukan warna abu muda di sudut kiri dekat dengan tempat tidurnya.

"Kak, kalau pulang cepat nanti tolong belikan kue cokelat di toko kue cantik dekat kedai mie, ya," pesan Mandala.

Yusril mengangguk ia pun berbalik, saat melihat wajah manis adiknya yang tengah duduk bersila di atas kasur. Pemuda itu pun memilih menyandarkan tubuh gagahnya pada tembok, beruntung sudah selesai bercermin. Kalau tidak, mungkin sebuah sisir sudah terbang mengenai wajah menyebalkan Mandala saat anak itu memperlihatkan gambar paling buruk menurutnya.

"Jangan marah. Bercanda kok, kakak kalau marah kayak bukan manusia."

"Lalu seperti apa? Saya kakak kamu, tetap begitu seterusnya, kan?"

Yusril heran, saat kedua mata teduh Mandala justru berubah sendu belum lagi kepalanya ikut menunduk. Ia pun memilih melangkah mendekati ranjang lalu meraih tubuh gemetar adiknya.

"Ada apa? Kenapa kamu menangis tiba-tiba?" tanya Yusril. Bahkan ia juga sudah duduk di sebelah Mandala untuk menenangkan adiknya.

"Katakan, kenapa Mandala?"

Tidak ada sahutan kecuali tubuh gemetar Mandala yang membuat Yusril sedikit cemas. Ia sangat hafal bagaimana adiknya. Ia juga sangat tahu perasaan adiknya ketika dalam bahaya. Sudah bukan rahasia bila Yusril begitu takut sesuatu terjadi pada Mandala. Ia bukan pemuda pengecut yang berlindung di bawah ancaman ibu, bukan juha pemuda lemah yang berani hanya lewat omong kosong.

Ia hanya tak suka melihat adiknya terluka, cukup dirinya yang hidup dalam gelap dan sepi. Tidak untuk adiknya. Ia sama sekali tidak terima bila ada yang menyentuh bahkan menggores jejak pada bagian tubuh Mandala.

"Kak Askara," panggil Mandala, seketika menyadarkan lamunan Yusril saat pemuda itu masih terus mengusap punggung adiknya.

Kepalanya menunduk, kedua mata mereka bertemu, walau malas melihat mata sembab Mandala, Yusril tetap mengusap kedua kelopak mata itu dengan lembut lalu menciumnya seraya untuk menghilangkan rasa takut juga cemas yang adiknya alami.

"Ada apa? Saya sudah di sini," balas Yusril.

Pemuda itu pun memilih duduk di sebelah Mandala, meski peluknya sudah terlepas hanya tangannya saja yang masih bertahan untuk mengusap lembut kepala Mandala. Sementara anak itu memilih merapatkan duduknya sambil bersandar pada bahu kokoh sang kakak.

"Pada malam purnama nanti, tolong jangan pergi, ya," ucap Mandala. Pandangannya menatap lurus pada jendela kamar yang terbuka lebar.

Matahari saat itu tak terlalu menyengat, sedikit teduh, walaupun langit sudah akan berganti. Beberapa lampu jalan kota pun mulai menyala, hanya ada beberapa yang mati karena tak ada penghuni. Tinggal di kota besar, membuat perasaannya seribu kali lebih khawatir dari pada tinggal di pedesaan.

Yusril hanya mendengarkan, tetapi pikirannya sudah jauh lari entah ke mana. Ia hanya bisa memandang objek yang sama seperti Mandala, meski perasaannya sedikit kacau mendengar penuturan Mandala.

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Mandala? Jangan buat saya semakin takut untuk pergi."

"Aku lagi mikirin Kakak, salah?"

Yusril tersenyum. Senyum manis yang selalu ia perlihatkan saat bersama Mandala. Bahkan semua tutur bahasa yang begitu manis didengar membuatnya semakin terlihat seperti kakak yang sangat penyayang walau gayanya terkesan kaku. Tetapi, saat bersama Mandala, ia begitu nyaman, belum lagi dengan panggilan manis Mandala saat berbicara. Sungguh Yusril tak akan bisa berhenti tersenyum.

Namun, sedikit dari memori yang paling Yusril ingat, adalah ketika Mandala mengucapkan kalimat singkat berujung perpisahan. Ia benci, tetapi tidak bisa melawan hukum alam. Pada malam itu, jerit tangis menggema dalam ruangan gelap juga pengap dan sangat sempit.

Yusril di sana, menyaksikan sebuah pedang berlumuran cairan merah berbau tengah menari di atas tubuh tak bernyawa. Sementara di sudut ruangan itu Mandala menutup kedua telinga juga dengan bibir bergetar memanggil namanya.

"Kak Askara."

Bukannya menolong, Yusril justru terdiam, kedua matanya tak berkedip seakan telinganya sedang tertutup sesuatu tubuhnya pun ikut mematung. Hanya bisik malam mendekati sebelah telinga. Bibir dingin dengan napas yang begitu hangat. Yusril akhirnya tersadar. Ketika ia mengedarkan pandangannya ke semua sudut di ruangan itu.

"Mandala! Di mana kamu?"

"Terlambat, dia sudah mati, Askara."

Yusril menggeleng, pemuda itu masih belum percaya. Ia pun melangkah keluar dari ruangan gelap itu menuruni anak tangga sambil berteriak. Langkah kaki jenjangnya terhenti pad sebuah lukisan abstrak tepat di dekat tangga saat kedua kakinya berpijak pada lantai dasar.

"No time to die."

Catatan paling kecil yang dapat Yusril lihat pada lukisan itu. Sejenak tubuhnya menegang ketika sebuah senapan panjang menyentuh bagian belakang kepalanya. Ia diam bagai patung bernyawa di depan lukisan bercorak monokrom itu.

"Berhenti dan hiduplah seperti manusia lainnya. Jika ingin tetap hidup."

"Sebelum Mandala kembali, maka lukisan ini akan tetap sama."

"Bodoh!"

Kalimat itu terngiang kembali, bahkan Yusril tidak sadar ketika sebelah bahunya di sentuh oleh seseorang. Ia menoleh, tatapan mata yang tajam membuatnya sangat mengerikan. Belum lagi pisau kecil yang sudah berubah warnanya menjadi mentah. Ia tidak ingat kapan tidak sadarkan diri. Saat pandangannya mengedar ia hanya melihat kalau ruangan yang di tempatnya saat itu adalah sebuah kamar berukuran sedang, tak lupa dengan dekorasi kuno menambah kesan kala kamar itu sudah lama tidak di tempati.

"Syukurlah, apa masih pusing?"

Suara yang tak asing itu mengingatkan Yusril pada seseorang, meski belum sepenuhnya melihat siapa yang bicara, Yusril berusaha mengingat sampai keningnya mengkerut.

"Rubi," gumamnya pelan.

Kedua matanya membelalak saat seseorang itu menoleh ke arah Yusril dengan senyum anggun juga kedua mata sipit menambah kesan tersendiri ketika memandangnya.

"Kamu demam, saya menemukan kamu tidak sadarkan diri di depan sumur tua di ujung jalan desa ini."

Yusril terdiam, apa benar begitu, kenapa kepalanya tidak Ingat sama sekali, itu yang Yusril pikirkan. Ia hanya memandang lesu pada tubuhnya yang cukup menyedihkan dengan beberapa luka di bagian tangan.

"Memori lama, apa saya begitu merindukan kamu, Mandala."

⚓⚓

Hai, selamat datang kembali di rumah Yusril. 🤭 Mau kejutan apalagi setelah ini? Jangan lupa tinggalkan jejak ya, supaya aku makin semangat nulisnya. 🔥

Salam.manis Yusril terima kasih sudah berkunjung bye bye. Sampai jumpa di chapter berikutnya 😘

Bonus buat kalian yang kangennya gak habis-habis sama Yusril nih.

Publish, 15 September 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro