WITD 22. LUKISAN BERDARAH
Saat itu DEMANIA dilanda hujan, tidak begitu deras memang, tetapi mampu membasahi seluruh kota hingga penduduk pun tak ada yang berani keluar dari rumah mereka. Tidak terkecuali dengan Yusril. Pemuda berusia dua puluh tahunan itu memilih menyendiri di salah satu ruangan khusus di rumahnya. Beberapa kanvas putih telah berjejer manis di setiap sudut, membuat senyum manisnya terlihat begitu tenang.
Terlebih, ketika pinggangnya dipeluk manja oleh Mandala. Iya, anak remaja yang tak pernah absen ketika sang kakak tengah mempersiapkan alat lukis juga properti lain untuk digunakan sebagai objek.
Tubuh yang tidak terlalu jangkung itu selalu berhasil menyita perhatian Yusril dengan tingkah lucu yang terkesan menjijikan untuk dipandang. Tetapi, setiap kata yang terlontar selalu membuat Yusril teringat kalau dirinya tak pernah bisa hidup tanpa Mandala.
Bahkan saat dirinya tengah duduk berdua, sambil ber-selonjor di depan teras pun, sudah seperti sepasang kekasih, padahal tahu kalau mereka memang sangat dekat. Tak peduli pandangan orang lain tentang mereka yang sama-sama adalah Laki-Laki. Bagi Yusril, Mandala tetap penyemangatnya.
"Kak, kalau melukis, sesekali pakai warna merah, biar cerah sedikit," ucap Mandala ketika mereka berada di ruang keluarga.
Yusril memilih melukis ruang keluarga di rumahnya, karena hanya ruangan itu cukup menarik mata, selain rapi, ada beberapa lukisan abstrak yang digantung di dinding menuju ruang tamu. Meski rumahnya tidak begitu besar, Yusril selalu merasa damai sebelum akhirnya kedamaian itu hilang.
Ia kembali mengingat masa lalu yang kini hanya tinggal cerita. Dan mungkin akan terlupa seiring musim berganti juga waktu yang terus berjalan. Ia tersentak saat suara gadis mulai memenuhi isi kepalanya juga warna abu-abu yang menutupi pandangan di depannya.
"Askara berhenti!"
Lagi, ia mendengar nama itu dengan suara yang berbeda, bukan Mandala. Tetapi, seseorang dari masa lalu kembali membangkitkan jiwanya yang hampir tak tersentuh. Ia sudah seperti malaikat maut dengan pedang panjang di tangan kirinya, serta sebuah trisula di tangan kanannya. Bahkan, jubah hitam panjang menjulang hingga ke tahan seakan menambah penampilannya yang jauh dari kata ramah.
Yusril tidak ingat sudah berapa lama dirinya berjalan jauh, mengitari kota hingga terjebak di dalam hutan ilusi dengan banyak manusia gila. Namun, ia bisa merasakan ada sesuatu yang kini tengah menyentuh bahunya. Bukan hanya sekadar menyentuh, bahkan bibir mungil telah mendekat ke telinga kirinya.
"Yusril Askara Yuda, kamu tidak pernah berubah. Melangkah dan kamu akan ingat semuanya."
Yusril diam, ia memandang lurus ke depan saat dirinya membuka mata. Gerbang berwarna emas telah menjual g tinggi di depannya. Bahkan banyak kabut putih, ketika dirinya berbalik, tak ada satu pun pohon atau burung-burung liar di angkasa. Hanya langit berawan juga jembatan berbatu yang kini ia lewati.
"Kak jangan, tolong berhenti."
Yusril terkekeh, ia benar-benar menyeramkan, belum lagi dengan tatapan mata mengerikan membuat Yusril seperti kehilangan akal.
"Saya akan berhenti, setelah kamu menjadi bagian tinta terakhir dalam lukisan, saya."
Mendengar rengek seseorang yang kini sudah hampir mati karena tercekik oleh Yusril, pemuda itu seakan tidak mendengarkan apa pun, beberapa kali menggeleng, mengendalikan kesadarannya yang tiba-tiba diambil alih oleh suara gila dalam kegelapan.
"Kak, aku akan temani Kakak, aku akan temani Kakak, aku janji."
Ucapan orang di depannya membuat Yusril terdiam, walaupun begitu menyeramkan, beruntung trisula miliknya sudah di lemparkan, mungkin kepala seseorang kini sudah berpisah dari anggota tubuhnya.
"Saya hanya akan mendengarkan, jika itu tentang Mandala."
Ucapan Yusril membuat seseorang yang masih berada di genggamnya kembali memberi isyarat melalui tepuk pelan pada tangan yang hampir membuatnya kehabisan napas. Dengan cepat Yusril melepaskannya hingga seseorang itu terjatuh sambil terbatuk-batuk karenanya.
"Katakan, di mana Mandala kalian sembunyikan?"
"Dia sudah mati. Kakak sendiri yang melakukannya."
Yusril terdiam, ia kembali berdiri setelah beberapa menit berlalu usai membuat seorang gadis hampir mati tercekik. Ia hampir tumbang karena pusing di kelapa membuatnya tidak bisa berpikir tenang, tetapi sedetik berikutnya ia kembali disadarkan oleh sentuh lembut pada bahu, hingga tangan yang semula kaku, kini terlihat jauh lebih baik.
"Bagaimana bisa kamu akan melukainya, Askara? Dia sepupumu, dia Bumi."
Ucap sosok berjubah putih berdiri tak jauh dari tempat Yusril berada. Meski terhalang kabut, Yusril berusaha melebarkan kedua matanya agar dapat melihat. Namun, sosok itu justru menutup kepalanya dengan jubah, bahkan setengah wajahnya terhalang oleh masker berwarna senada.
"Askara, putraku. Tolong hilangkan dendam dalam hatimu, berdamai-lah dengan luka masa lalu-mu. Apa kamu tidak lelah, Nak?"
Yusril masih diam, ia seakan memikirkan sesuatu sampai kepalanya kembali menunduk, begitu pun dengan pisau yang siap mencari teman baru pun, kini terjatuh ke tanah. Jembatan berbatu yang memiliki memiliki pegangan pada kedua sisinya membuat Yusril semakin terlihat seperti orang putus asa. Ia seperti berada di atas langit yang diselimuti oleh awan tebal.
Kedua matanya memang terbuka, tetapi tubuhnya seolah kehabisan tenaga untuk melawan. Seakan ada banyak jarum yang tengah menusuk-nusuk punggungnya, hingga ia sulit untuk mengendalikan diri.
"Askara, Putraku. Tolong dengarkan sekali ini, percaya pada dirimu dan kembali lah tersadar. Mandala sudah pergi bersama kami, apa kamu sama sekali tidak mengingatnya, Nak?"
"Tidak, Mandala masih bernapas di dalan hutan ini dia berada. Saya akan tetap mencari keberadaannya. Ya, saya akan tetap mencari keberadaan adik saya, Mandala."
Suara yang berbeda lagi-lagi terdengar jauh berbeda dari sebelumnya, kali ini suaranya begitu lembut, seakan mampu membuat Yusril kembali mengangkat kepalanya, meski tanpa senyum, pemuda itu terlihat menyedihkan dengan tetes air mata yang mulai membasahi pipinya.
"Askara anakku, kembali lah pulang, tanganmu sudah terlalu lelah bukan? Sudahi petualangan mengerikan ini. Kami baik-baik saja, Nak."
"Maafkan saya Bun, apa pun yang saya lakukan, itu karena saya ingin Mandala kembali."
"Tidak apa, Nak. Kami tahu tujuanmu baik, tetapi rasanya tidak adil jika kamu juga harus memisahkan pohon dari akarnya. Dunia ini terlalu keras untuk kamu,kan? Cobalah untuk bisa menerima kenyataan, Nak."
Yusril menggeleng, meski tidak tahu siapa yang mengatakan kalimat-kalimat penyejuk itu. Ia hanya bisa diam tetapi pandangannya terus menatap ke bawah. Seakan tanah kering di bawahnya jauh lebih menarik dibanding memandang ke depan yang tidak terlihat siapa pun di sana.
"Tapi saya benci dikhianati, saya benci dibohongi, dan saya tidak suka siapa pun menyentuh apa yang saya punya."
"Niatmu baik, Nak. Kami tahu kamu begitu menyayangi Mandala. Begitu pun sebaliknya. Tetapi ingatlah baik-baik, setiap orang memiliki hak untuk bernapas, jika kamu ingin mencari apa yang kamu ingin, kamu hanya mendapat lelah, padahal musuh terbesarmu bukanlah manusia."
"Saya tahu," katanya. Tak lama, Yusril kembali diam membisu seperti patung bernyawa.
Pemuda itu berusaha berdiri sambil memejamkan kedua matanya. Dengan perlahan, tangan kanannya ia bawa ke depan dada dengan menarik napas cukup panjang barulah ia kembali hembuskan perlahan.
"Ril, syukurlah Lo baik-baik aja."
Yusril masih diam membisu, kepalanya begitu sakit sampai ia meringis memeganginya dengan kedua tangan. Bahkan tubuhnya begitu pegal dan begitu sakit saat disentuh. Ia sudah seperti orang mati dengan jantung berdebar, begitu melihat sekeliling di mana ada dua orang yang begitu familiar di ingatannya.
"Kalian di sini?"
"Kami memang di sini, sejak lama, ada apa? Bagaimana kepalamu? Sakit?"
Yusril mengangguk, memang cukup sakit dan begitu pusing. Terbukti saat ia ingin bangun tetapi kembali berbaring karena tak mampu menahan beban tubuhnya yang lemah.
"Jangan dipaksa, luka kepalamu masih belum pulih. Kata dokter, luka di lengan dan telapak tanganmu cukup parah, jadi perlu waktu untuk sembuh."
Yusril diam, tetapi pandangannya ia alihkan kedua telapak tangan yang kini sudah dibalut perban. Ia gerakkan perlahan, terasa nyeri dan begitu ngilu. Ia kembali memandang dua orang yang berdiri di sebuah kirinya. Matanya mengedar ke seluruh ruangan, berharap apa yang dicarinya ada di sana, tetapi tepuk pelan pada bahunya membuat Yusril tersentak dan mendongak memandang wajah sendu milik Nadeva.
"Gue pikir lo udah nggak mau bangun lagi, Ril. Malam itu gue takut, dan gue panik, asal lo tahu."
Yusril mengerutkan keningnya, ia memandang pemuda tidak begitu jangkung yang selalu membuatnya emosi.
"Bukannya sudah mati?"
Nadeva cukup terkejut saat Yusril mengatakannya begitu tenang dengan wajah dingin juga tatapan tajam, pemuda itu seakan tak merasa bersalah.
"Lo pikir, gue ke mana bisa mati gitu aja?"
"Saat di hutan. Lo udah mati, Va."
Nadeva menggeleng, lalu mendekatkan wajahnya pada Yusril, membuat kedua pemuda itu saling beradu tatap sampai suara nyaring Rubi membuat mereka saling membuang muka.
"Kalian tuh, ya. Baru ketemu, udah bertengkar. Yusril, apa kamu nggak merasa kalau kamu udah tidur terlalu lama? Apa badan kamu tidak pegal? Bahkan dokter saja bilang kamu tidak selamat, bagaimana bisa kamu sudah mengajak Nadeva berkelahi lagi?"
Yusril melirik tajam pada Rubi, gadis yang sejak tadi diam, meski sempat bertanya, tetapi diabaikan olehnya.
"Gue rasa hari ini gue masih hidup, karena satu dan lain hal," jawabnya enteng. Dengan senyum bangga Yusril mengangkat kedua tangannya ke atas, memerhatikan balutan perban itu lalu kembali melihat dua orang yang kini saling pandang.
"Harusnya lo bersyukur, karena waktu penembakan di musium Lo masih bisa ketolong, bahkan ada yang bilang lo hampir mati gara-gara menyelamatkan lukisan tua."
"Benar, lukisan tua. Dan sekarang, lukisan itu sudah ada di tempat yang semestinya. Bahkan di dalam lukisan itu, ada warna favorit paling Mandala suka."
"Yusril?" panggil Rubi pelan.
Namun, ketika pandangannya beralih pada Nadeva suasana ruangan yang semula tenang berubah suram. Hanya ada lumut juga daun jalar yang memenuhi tembok.
"Harusnya kalian tidak ikut campur."
Gumam Yusril ketika kedua matanya kembali terbuka. Ia kembali memandang ke depan dengan begitu tajam. Ia ingat saat di mana dirinya tengah berada dalam situasi mendesak malam itu.
⚓⚓
Hallo, aku rasa cerita ini akan selesai dalam dua kali pertemuan lagi. Terima kasih sudah menemani perjalan Yusril sampai hari ini. Jangan lupa tinggalkan jejak agar aku makin semangat nulisnya, sampai ketemu di chapter berikutnya bye bye 😘🥰🥰🥰
Publish, 27 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro