Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

WITD 20. PERJALANAN YANG MENYEDIHKAN

DEMANIA saat itu masih baik-baik saja, sudah Yusril katakan, jika kota kelahirannya akan tetap baik-baik saja meski penduduk di kota tersebut tak lain dari buruan liar tanpa pemilik. Hidup bahagia, tidak pernah memiliki beban hati. Itu yang Yusril ingat, ketika dirinya masih bersama dengan keluarga harmonis tanpa konflik meski jarang sekali berbicara, tetapi Yusril selalu percaya pada rumahnya. Walau pada akhirnya ia sadar, semua yang terjadi hanya sekadar formalitas belaka.

Yusril pernah menjadi anak baik dan penurut kala itu, tetapi pernah kecewa karena diabaikan. Dia pernah terluka karena disalahkan. Dia juga pernah dibuang karena ketidakadilan. Dia pernah menjadi salah satu korban atas tindak kekerasan masa lalu. Di hatinya hanya terukir nama Mandala, adik kecil yang selalu menjadi penguat di saat semua orang pergi, anak itu datang menjadi penyelamat hidup.

Ia tidak pernah sedikit pun memiliki dendam pada kedua orang tuanya, ia hanya tahu kalau kedua orang tuanya lelah. Sesekali marah, tetapi masih tetap bersama, masih mendapat usap hangat juga sentuh lembut setiap kali hati gelisah. Yusril rindu, walau tidak sepenuhnya ia dapat.

Hingga ia sadar kalau keindahan rumah tinggalnya hanya sekadar pigura, Yusril pun diam. Ia terjebak dalam masa lalu rumit yang selalu membuatnya cemas bahkan ia juga selalu mendengar suara dari balik kegelapan ketika dirinya duduk termenung di sudut kamar Mandala yang begitu sunyi.

Yusril kembali pada kenangan masa lalunya, ia kembali mengingat bagian paling manis saat dirinya memberikan sebuah kado pada seorang gadis, teman masa sekolahnya ketika DEMANIA  dalam keadaan sejahtera saat itu.

Yusril tahu, dirinya bukan pemuda romantis dan penuh kasih, tetapi dirinya selalu ingin berusaha agar tidak mengecewakan siapa pun. Namun, tidak dengan penghianatan yang dilakukan oleh orang yang sudah dianggapnya sebagai kerabat. Bahkan, lebih dari sekadar teman. Yusril selalu menjadikan orang itu tempat bersandar, mencurahkan keluh kesahnya setiap kali dimarahi oleh sang ibu, diabaikan oleh sang ayah dan dijauhi oleh neneknya sendiri.

Ia masih sangat ingat ucapan sederhana yang dikatakan oleh orang yang dianggapnya belahan jiwa itu. Ia juga masih menyimpan beberapa surat yang ditulis sebelum amarahnya memuncak dan membiarkan emosi mengendalikan hati juga pikirannya.

Kini, Yusril kembali memandang wajahnya sendiri di depan cermin besar yang ada di tengah kota. Ia meraba setiap inci bagian wajah dengan beberapa luka kecil di sana. Tak tahu kapan dirinya mendapat luka itu.

"Kakak sudah rapi saja, mau ke mana lagi? Berkencan dengan Kak Rubi?"

Yusril tersentak, ketika suara Mandala terdengar bahkan anak itu sudah melangkah masuk ke dalam kamarnya. Bukannya menjawab, Yusril justru berbalik, ia perlihatkan wajah tampannya sambil menunjuk beberapa luka di bagian kening juga pipi sebelah kiri. Mandala yang memandangnya sedikit bingung saat itu. Tetapi, anak kecil yang tingginya tak seberapa dengan Yusril itu pun akhirnya menyipit sambil memajukan wajahnya agar dapat melihat luka yang dimaksud oleh sang kakak.

Namun, keningnya sudah diberikan hadiah lebih dulu, sampai si pemilik mengaduh kesakitan. "Sakit."

Yusril terkekeh, memandang wajah teduh Mandala selalu berhasil membuatnya tenang, tak hanya tatapan. Matanya yang membuat candu, tetapi usap hangat dari tangan adiknya pun mampu membuat Yusril damai.

"Aku  bertanya, belum Kakak jawab," gerutunya sambil mengusap kening yang terasa panas.

"Rubi hanya teman biasa," balas Yusril. Pemuda itu juga sudah duduk di atas tempat tidurnya sambil memakai sepatu.

Sementara Mandala mengikuti saja, bahkan anak itu sudah mengambil tempat duduk di sebelah Yusril. Membuat pemuda itu tersenyum saat meliriknya sebentar. Sambil menggeleng, Yusril mengubah posisi duduknya menghadap sempurna ke arah Mandala.  Bahkan Pemuda itu terdiam, saat kedua mata Mandala memandang dengan penuh kebingungan.

"Ada apa Kak?" tanya Mandala pelan.

"Saya hanya heran kenapa kamu selalu baik pada saya, padahal kamu tahu kalau saya begitu menyebalkan."

Ucapan Yusril berhasil membuat Mandala tertawa, sampai anak itu hampir terjungkal ke belakang kalau Saha Yusril tidak menahan tangannya.

"Kakak bicara apa? Aku ini adiknya Askara,  yaitu Kakak. Kakak habis terbentur pintu kamar mandi, ya?"  balas Mandala.

Tak hanya suaranya yang membuat tenang telinga jika sedang berbicara, tetapi tatapan matanya selalu mampu membuat Yusril terdiam lebih lama seperti patung bernyawa. Walau Mandala sering membuatnya gemas, tetapi Yusril selalu bersyukur bisa melihat senyum dengan bentuk bibir seperti hati. Ia tak pernah menyesali kehadiran Mandala meski setiap melamun Mandala akan menjadi perusak momen, Yusril akan memberi hadiah kecil sampai akhirnya suara teriakan Mandala kembali terdengar dan membuat Yusril tertawa puas.

"Kak!"

"Saya hanya takut kehilangan kamu, Mandala. Kamu tahu di dunia ini tak ada orang baik yang bisa dipercaya selain diri kita sendiri."

"Kakak kenapa bilang begitu? Kan, masih ada aku, aku masih di sini dan siap menemani ke manapun Kakak pergi."

Yusril terkekeh, lalu menggeleng dan kembali memandang wajah Mandala begitu lekat.

"Kata memang mudah diucapkan, Mandala, tetapi melakukannya, tidak semua orang bisa apalagi harus menunggu."

Mandala menggeleng, saat Yusril menundukkan kepala bahkan memalingkan wajahnya ketika Mandala hendak menyentuhnya. Pemuda itu seakan ragu untuk bicara, tetapi tidak dengan Mandala yang memilih berjongkok di depannya sambil menggenggam kedua tangan dingin juga gemetar milik Yusril.

"Ada apa Kak?"

"Saya hanya takut kamu berbohong untuk tidak meninggalkan. Padahal kamu tahu, kehidupan seseorang tidak selamanya harus tetap bersama. Bagaimana mungkin saya menghalangi kamu untuk melakukan semua hal itu, Mandala."

Lirih suara Yusril membuat Mandala diam, bahkan anak itu sempat mengusap sebelah pipinya yang terasa basah. Melihat sikap Mandala, Yusril kembali menatap wajah adiknya dengan tatapan sendu, sebelah tangannya kembali ia ulurkan untuk menyentuh pipi basah Mandala dengan pelan.

"Kamu tahu, Rubi bukan gadis yang saya suka. Tetapi faktanya, gadis itu yang selalu membuat saya tersiksa. Apa kamu pikir saya sudah gila?" katanya pelan, bahkan menghela napas pun terasa berat bagi Yusril.

"Saya pikir, saya sudah berhasil membuat gadis itu menyerah mendekati saya. Tapi, pada akhirnya gadis itu yang membuat saya menyerah. Saya terluka Mandala, saya tersiksa. Saya tidak suka dibohongi. Apa kamu pernah bertanya, mengapa Papa dan Ibun selalu diam, padahal kita sedang berkumpul." Lanjutnya.

Mandala terdiam. Ia tidak mengingat bagian sederhana itu. Jika bukan Yusril yang mengatakannya, anak itu tidak akan tahu bagaimana isi rumahnya padahal lengkap dan terlihat baik-baik saja.

"Kak," Panggil Mandala pelan.

Yusril menggeleng, lalu menarik tubuh Mandala pelan agar dapat memeluknya.

"Tidak Mandala, saya yang salah di sini. Saya yang sudah terlalu berharap pada orang lain, padahal orang itu belum tentu ingin. Saya yang sudah menaruh harapan besar pada mereka yang pernah saya temui. Bahkan, saya selalu berharap Papa dan Ibun tidak pernah memiliki konflik apa pun," ucapnya pelan. Yusril juga menjeda ucapannya sebelum akhirnya Mandala memberi usapan pada punggungnya. 

"Aku cuma nggak mau Kakak sendirian, kota ini hanya sejahtera, tapi semua penghuninya selalu peduli pada diri mereka masing-masing. Bahkan, Ibun dan Papa juga begitu."

"Tolong jangan pergi, Mandala. Saya sendirian. Saya rela menukar nyawa saya jika kamu dalam bahaya sekali pun."

Mandala tersentak, sampai melepaskan peluknya hingga membuat Yusril terdiam. Pemuda itu juga masih menunduk, tak membiarkan adiknya memandang wajah menyedihkan.

"Enggak. Kakak hanya boleh pergi, kalau Kakak memang tidak bisa menemukan aku meski sudah menjadi jasad sekali pun."

Mendengar Mandala mengatakan hal yang tidak terduga, Yusril pun mengangkat kepalanya sambil menggeleng."Tidak. Bahkan untuk itu rasanya sangat berat, Mandala."

Mandala mengangguk, bahkan di dalam kamar ber-AC pun terasa begitu panas, saat suara ledakkan terdengar di seluruh dari dalam kamar. Membuat Yusril dan Mandala saling bertatapan. Keduanya bangkit dan berlari mendekat ke arah jendela. Dilihatkan keadaan kota yang sama sekali tidak terlihat baik sampai membuat Mandala gemetar ketika memegang lengan Yusril.

"Ibun dan Papa di bawah, Kak," katanya pelan dengan suara bergetar.

"Kamu tunggu di kamar, jangan keluar sebelum saya datang, oke?"

Mandala menggeleng, lalu memeluk Yusril begitu erat. "Enggak. Aku nggak mau Kakak  keluar, kita di sini aja, Kak."

"Tidak bisa Mandala, saya harus melihat keadaan di luar," balasnya.

Meski terpaksa, Yusril pun melepaskan tangan adiknya dan membawa anak itu ke kamarnya sendiri, sebelum akhirnya suara tembakkan terdengar begitu kuat juga teriakan seorang wanita membuat Yusril kembali mendekat ke arah jendela. Kedua matanya melebar sempurna saat kedua orang tuanya tergeletak di depan halaman rumah.

"Tidak. Ini hanya mimpi."

"Kamu pikir ini, kamu sedang berada di mana Askara?"

Yusril tersentak, saat dirinya berbalik sudah tak ada Mandala di sana,  bahkan suasana kamar pun terasa jauh lebih dingin dan begitu gelap. Hanya sedikit cahaya yang masuk melewati ventilasi udara di ruangan itu.

"Kak Askara, "panggil Mandala.

"Kamu di mana Mandala, saya di sini, ayo keluar, kita pergi dari sini."

"Kak Askara," panggil Mandala sekali lagi, sampai akhirnya kedua matanya memandang tajam ke arah seseorang yang berdiri di dekat meja lusuh di sana.

"Jangan!"

Teriak Yusril ketika terdengar sekali lagi suara tembakkan terakhir. Dan bersamaan dengan itu kedua matanya kembali terbuka lebar. Bahkan napasnya tersengal, begitu keringat yang sudah membasahi seluruh tubuh termasuk wajah Samapi menetes.

"Bagaimana? Sudah melihatnya, bukan?"

"Lo siapa sebenarnya? Keluar!"

"Aku sudah katakan, aku adalah kamu, masih belum percaya juga ternyata," katanya sambil tertawa, hingga suara tawanya pun menghilang menyisakan Yusril yang sendiri di tempat yang tidak lagi bisa disebut kota.

"Di ujung hutan ini, iya saya yakin kamu di sana."

⚓⚓

Hallo, kembali lagi sama Yusril. Bentar lagi ketemu Mandala nih, kayaknya. Jangan lupa tinggalkan jejak supaya aku makin semangat nulisnya. Terima kasih sudah berkunjung salam manis Yusril yang paling ganteng. 🤭

Publish, 22 Oktober 2024





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro